terlalu sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan, jadi udah lama nggak nulis.
mohon kritik dan saran dari cerita ini ya. :D hahaha
baru chapter I-nya kok. hahaha
semua yg ada dicerita ini hanyalah diksi belaka, jadi jika ada kesamaan tempat, latar, manusianya juga mungkin hanya kebetulan aje. eh salah, nggak ada yg namanya kebetulan didunia ini, semuanya udah diatur oleh Allah.
hohohoho
PIPI MERONA DIBALIK LAMPION
Asrama teduh dirindangi pepohonan yang menghiasi jalan menjadikannya sebagai penghijau alami.
Sebuah ruh terasa terbang akan kenangan dibalik serenade-serenade kelumpuhan yang masih teringat didalam memori yang tak seberapa Megabite-nya.
Kehidupan asrama yang keras memang tidak bisa membuat kami yang sudah terbiasa tiga tahun diasrama untuk menjadi lembek kayak kerupuk disiram air. Tiap hari kami mengendarai sepeda dari asrama menuju ke sekolah yang jaraknya sejauh 3 kilometer. Yah, jarak yang cukup jauh ditempuh dan membutuhkan cucuran keringat yang extra.
Tapi, bagi sebagian manusia yang memiliki akal bulus. Jalanan panjang ini dapat menjadi tempat yang menumbuhkan benih-benih cinta maupun virus-virus merah jambu yang seharusnya tidak kami rasakan saat SMA.
Aku berjalan sambil tertawa dengan sahabat karibku. Menuju tempat yang menjadi “gudang” tumpukkan sepeda ontel tua.
Aku melihat ke arah selatan dari pandanganku, kepada seorang sahabat yang telah aku kenal dekat dan memang dari SMP dulu bersahabat erat denganku.
“Kenapa Latifah?” aku bertanya kepada Latifah yang sepertinya sedang sibuk melihat kondisi sepedanya yang lumpuh.
Latifah menjawab sambil mencoba memompa ban sepedanya, “Nggak tau kak, kenapa juga bisa gini. Padahal setengah jam lagi masuk sekolah.” Jawab Latifah dengan lembutnya. Maklum saja, memang logat jawa dan bahasa ibunya membuatnya seperti itu.
“Oh, yaudah. Ikut kakak aja yok.” Dengan besar hati aku membantunya dengan cara memboncengnya naik sepeda.
Awan-awan yang mengikuti kami saat bercerita diatas sepeda sepanjang perjalanan yang ramai akan lalu lalang masyarakat yang tersenyum ramahnya kepada kami. Tawa canda yang ada latifahtara kami menjadi obat yang efektif sebagai penghilang lelah.
Hari demi hari berlalu, sudah beberapa hari ini aku selalu pergi berboncengan dengan si Latifah.
Tak terasa sudah masuk minggu kedua, aku selalu melihat keluar sebelum pergi menuju gudang sepeda. Aku sudah melihat Latifah keluar dari Gedung Auditorium menuju gudang sepeda. Keluar bak pahlawan kesiangan menuju TKP, seperti biasa senyuman itu selalu aku lihat disetiap aku masuk kedalam gudang sepeda untuk mengambil sepeda.
“Kak An!” panggil seorang wanita yang dari tadi ternyata berteriak dibalik lapangan hijau sambil membawa setumpuk buku, dengan mata yang memiliki garis hitam.
Aku menghampirinya dengan membawa sepedaku, “Ada apa Latifah?” tanyaku dengan singkatnya dengan penuh senyuman.
“Kak An, masih boleh nebeng nggak kak?” tanya dia sambil cengar cengir tak karuan. “Aku juga nggak tau kak, padahal kemarin udah dibenerin Pak Ujang. Sekarang kok malah bocor lagi ya sepeda aku kak. Aneh aja kak.” Ujar Latifah sambil naik ke sepedaku.
Ban bocor mendekatkan kami, mendekatkan aku dengan seseorang yang memang aku kagumi dari kelas 1 SMP dan akhirnya aku bisa dekat dengannya 6 tahun kemulatifah. Sungguh waktu yang lama untuk aku dapat mendekati seorang yang mungkin dapat disebut “Cinta Pertama”.
Ujian Nasional berlangsung seolah-olah menjadi momok paling menakutkan dihidup pelajar. Apalagi bagi sekolah yang memiliki sistem kelulusan ketat seperti sekolah kami.
Beberapa minggu telah berlalu, kami semua berbaring dikamar sebelum menuju kesekolah untuk melihat pengumuman hasil Ujian nasional. “Ujian Nasional Bahasa Inggris aku paling nggak bisa, entah kenapa.” Ucapku kepada teman sekamarku di asrama.
Ahmad yang sedang makan mie langsung mengubris ucapanku, “An, kamu deket sama cewek yang pinter bahasa Arab dan Inggris. Tapi kamunya sendiri nggak bisa bahasa Inggris. Malu sama cewek tu, dimana ditarok mukamu kalo dapet lebih kecil darinya.”
Kerumunan orang-orang yang seperti semut memenuhi papan pengumuman yang terpajang dikantor asrama. “Yah, paling-paling bahasa inggrisku dapet 70.” Gumamku dalam hati denga nada kesalnya.
Latifah langsung berdiri didepanku, dia menyodorkan sesuatu dan langsung berucap, “Ini ambil ya, terimakasih atas bantuannya selama ini. Selamat ya, perkiraan kamu salah, kamu dapet nilai bahasa inggris terbesar. Kamu dapet 9,8 lho An.”
Ruangan yang dipadati oleh tamu undangan, saat-saat yang menyedihkan pada fase SMA pun datang juga. Malam perpisahan yang dihadiri oleh seluruh orangtua siswa itu membawa keramaian dalam keheningan. Seolah-olah tak ada yang bisa berbicara saat itu.
“... Asramaku yang tercinta, disanalah kami dibina...” tim paduan suara telah turun dari panggung setelah menyanyikan beberapa bait lagu. Barisan yang pecah bagaikan semut yang sarangnya terbakar. Semua orang berjalan keluar Gedung Cassiterite bersama orangtuanya, ada yang langsung pulang, ada yang balik keasrama untuk mengambil baju dan masih banyak lagi. Sebelum kami pulang ke kampung masing-masing, ada tradisi yang sering terjadi di sekolah kami di malam perpisahan, yaitu tukar-tukaran jaket Kuskusa antar sahabat. Aku menukarkan jaketku kepada Latifah dan diapun memberikan jaketnya kepadaku.
Aku melihat Latifah yang sedang berbicara dengan kedua orang tuanya, aku berfikir dia pasti akan langsung pulang dan tidak membaca tulisanku itu.
Orangtua Latifah mengajaknya untuk pulang sekarang, tapi Latifah menjawab ucapan ayahnya, “Ayah, aku belum mau pulang. Ada urusan yang mau aku selesaikan dulu.” Dia langsung meninggalkan orangtuanya, ntah dia menuju kemana. Membuatku bingung.
Aku berjalan melewati lapangan Bung Hairul yang ada dipusat asramaku itu, aku melihat sosok wanita yang sedang berdiri ditengah-tengah Hellypad yang ada didekat Pusdiklat asramaku itu.
“Haha.. sesuai tulisan yang ada dikertas ini! aku menunggumu jam satu malam. Sudah telat lima menit!” ucapnya sambil melihat jam dan membawa sebuah kertas yang tadi aku masukkan kedalam jaketku sebelum aku tukarkan dengannya. “Apakah ini tulsisanmu?”
Aku hanya mengangguk dan mengeryitkan dahi.
“Sudah tiga tahun aku sekelas samamu, tapi baru kali ini aku melihat tulisanmu. Cukup jelek ya. Hehe.” Dia tertawa kecil sambil memasukkan kertas itu kekantong bajuku. “Sudah, mau ngomong apa ni?” dia langsung duduk di hellypad itu.
Kami berdua duduk berdua diantara bintang-bintang yang seolah-olah menjaga kami dari gelapnya langit hitam dimalam hari. Tak ada satupun makhluk yang menggangu keheningan kami berdua dimalam itu.
Setelah lama kami berbincang, Latifah langsung melihat kearah jam tangannya, “An, sekarang sudah jam 4 pagi, bisakah kita pulang sekarang.” Dia bertanya kepadaku.
“Bisa, tapi aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Ini sangat penting.” Ucapku serius melihat kearah matanya.
“Serius? Seriusan?” dia setengah tersenyum dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Aku mau mengakui sesuatu. Boleh nggak Tif?” lanjutku.
Dia langsung menutup mulutnya menahan tawa, “Ih, kayaknya serius amat. Apa sih?”
“Sebenarnya akulah yang membuat sepedamu bocor. Setiap malam aku ke gudang sepeda dan membocorkan ban sepedamu.” Aku langsung tertawa.
Dia berhenti tertawa dan keempat matanya langsung melihat ke arahku, “Buat apa kamu bocorin ban sepeda aku? Nggak ada kerjaan lain kah?” ejeknya.
“Yah, dengan aku bocorin ban sepeda kamu kan jadinya aku bisa boncengan sama kamu. Aku bisa jalan berdua sama kamu, aku bisa cerita-cerita sama kamu dan aku bisa sama-sama kamu hanya karena itu. Selebihnya aku belum pernah dekat-dekat denganmu selain boncengan karena ban sepedamu pecah.” Jawabku sambil memasukkan tanganku kekantong jaketku.
“Yah, seharusnya kamu tidak harus melakukan itu, ini buktinya kamu bisa dekat aku tanpa bocorin ban sepedaku. Hehe.” Dia tertawa sambil mengeluarkan sisa-sisa lampion yang dia simpan didalam tasnya, “Kita kan akan berpisah hari ini, aku ingin kita berdua membakar lampion ini agar dia bisa terbang tinggi setinggi-tingginya.”
“Berpisah? Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan yang tak enak.
“Rahasia.” Ucapnya sambil membakar lampion itu sampai apinya menyala. Api yang akan membuat lampionnya terbang menyinari pipi merona yang ada dibalik lampion itu, tidak ragu lagi dia mulai bicara, “Hitungan ketiga kita lepaskan lampionnya sama-sama ya.”
Satu....
Dua....
Tiga...
No comments:
Post a Comment