Saturday 10 June 2023

Wardah Dimana?

 Jadi aku memasuki ruang Ketua Jurusan dengan dua orang kakak kelasku. Kami sedang berdiskusi untuk mengikuti lomba penelitian yang akan diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kebetulan untuk tahun ini tuan rumahnya adalah salah satu institut teknologi terbesar di Surabaya.

            “Gini bu, kita pilih judul ini karena memang jarang diangkat di masyarakat. Kalo judul yang satunya udah banyak yang tau juga kan bu?” ucapku dalam diskusi dengan salah satu dosen yang membimbing kami.
            “Iya juga.” Jawab dosen singkat dengan melihat dan sedikit mencoret-coret ejaan yang (mungkin) kurang tepat.
            Bu dosen langsung mengangkat kepalanya perlahan sambil bertanya, “Leadernya siapa?” ucapnya dengan gaya MLM lagi nanya.
            Serentak kedua kakak kelasku langsung menunjukku yang duduk ditengah-tengah. “Agus bu.” Dengan sangat kompaknya.
            “Kenapa dia? Dia kan junior kalian.” Ucap dosenku dengan nada yang meremehkanku.
            “Nggak bu, karena dia yang ngajak kami. Lagipula kan hanya dia sendiri laki-laki dikelompok kami.” Ucap Kak Nova seorang perempuan berjilbab lebar.
            Aku sangat menyukai sosok Kak Nova seorang perempuan alim yang nggak pernah marah. Bahkan nggak bisa berkata kasar sedikitpun, mungkin beliau bisa disebut dengan teladannya para wanita jaman sekarang. Hehehe.
            “Kak Nova sekarang gimana?” ucapku sambil berjalan meninggalkan ruang kajur dengan Kak Nova dan Kak Silfia.
            Kak Nova menjawab dengan gaya khasnya, “Yaudah dek. Gini aja, adek buat BAB Satu, kakak buat BAB Dua, Kak Sifi buat BAB Tiga.” Jawabnya memberikan sedikit solusi tentang pembagian tugas, “Gimana dek?”
            Kak Silfi langsung menjawab, “Sip. Gitu aja Nov, udah bagus kok.” Jawab Kak Silfi menyetujui pembagian tugas tadi.
            Kami pulang kerumah masing-masing dengan membawa tugas yang harus diselesaikan dua hari dari sekarang. Aku harus menyelesaikan BAB Satu yang isinya latar belakang, pertanyaan penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfat. Pekerjaan yang sulit bagi seorang mahasiswa yang belum pernah belajar metoda penelitian.
            Tapi, dengan modal internet aku mencoba untuk membuka banyak situs yang isinya makalah sama skripsi. Disana saya belajar, jaman sekarang nggak kayak jaman dulu dimana kita harus cari katalog dan menyusunnya dengan berurutan untuk dapat mencari referensi. Kalo sekarang gimana? Aku denger ada mesin canggih yang bisa nyari bahan hanya dengan cara mengetik satu atau beberapa kata. Kalo nggak salah namanya Googlee.
            Berjam-jam aku nongkrong diwarnet, berkeringat, mata kantuk dan aku tetap semangat memencet keyboard komputer warnetnya. Iya, akhirnya pemainku mati lagi. Memang sih main DOTA sedikit ribet, kadang-kadang kita bisa diincar oleh musuh sampai kita mati.
            Sekarang aku menutup permainanku dan kembali melihat BAB Satu yang aku buat. Eh.... ternyata baru ada tulisan “1.1. Latar Belakang” doang. Mampus deh sana, yang penting aku bisa main game sepuasnya.
            Sekarang aku serius mengerjakan tugasku, karena ini amanah yang luar biasa jadi aku nggak boleh main-main lagi.
            Tak terasa sudah beberapa minggu terlewati, akhirnya Deadline pendaftaran dan pengumpulan Karya Ilmiahpun telah tiba. Aku langsung berangkat ke kantor pos untuk mengirimkan karya kami yang telah ditanda tangani oleh Ketua Jurusan.
            Aku langsung mendatangi kak Silvi yang sedang duduk dikursi yang ada dibawah pohon dipinggir kampus. Aku langsung mengejutkan kak Silvi, “Daar!” bunyi teriakanku.
            Kak Silvi yang terkejut langsung memukulku dengan bukunya yang memiliki tebal lima centimeter (kayak judul buku). “Kenapa kamu nih dek! Mengejutkan aku saja.” Ucak Kak Silvi.
            Aku hanya merespon dengan tawa seolah-olah itu lucu.
            “Kak, punya kita udah aku kirim ke panitia.” Ucapku dengan lugasnya
            “Bagus dong.” Ucap Kak Silvi, “Kita tunggu aja hasil dari perlombaannya dengan sabar?” lanjut Kak Silvi.
            “Oke kak!” jawabku singkat sambil meninggalkan Kak Silvi.
            “Ku harap kita nggak dapet apa-apa. Aamiin!” ucap Kak Silvi.
            “Lho, kenapa kak?” tanyaku.
            “Yah, kakak mau fokus dek. Ngerjain skripsi, capek banget tau nggak ngerjain skripsi. Tapi, Skripsi itu terkadang memberikan kita dua pelajaran. Pertama pelajaran duniawi, kedua adalah pelajaran batin yaitu kesabaran.” Ucap Kak Silvi berceramah.
            Iyah, Skripi memang mengajari kita tentang dua ilmu. Pertama Ilmu Dunia, tentang apa yang kita teliti, bagaimana cara kita meneliti dan hasil yang kita teliti. Kedua adalah ilmu batin, tenang kejujuran kita dan kesabaran kita. Banyak orang yang tidak jujur sehingga malas mengerjakan, sampai-sampai membayar orang lain untuk membuat skripsinya, bahkan ada juga yang memalsukan data. Banyak juga orang yang tidak sabar hingga akhirnya dia putus asa.
Beberapa hari kemudian...
            Aku stand by didepan komputer perpustakaan kampusku untuk membuka internet. Disana aku duduk dengan harap-harap cemas, sedikit grogi. Mataku melihat satu-persatu nama dari beberapa nama orang yang lolos ke final lomba karya ilmiah di Surabaya.
            Aku langsung terhenti pada tiga nama yang ada didalam tabel itu, “Ternyata aku masuk.” Tak lama kemudian aku juga terkejut ketika membaca nama “WARDAHTUL JANNAH” yang ada dibawah namaku, aku lihat asal kampusnya “UNS”.
            Aku langsung tertegun dan mengeluarkan keringat dingin. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba nama itu muncul? Tanyaku dalam hati dengan perasaan yang sangat dramatis.
            Aku segera mengirimkan SMS ke Kak Nova dan Kak Silvi. Tak lama kemudian aku langsung keluar perpustakaan, sungguh berbeda aura didalam dan luar perpustakaan. Mungkin karena perpustakaan memiliki AC yak, makanya agak dingin.
            “Kak Silvi, Kak Nova.” Aku melihat mereka berdua dengan sedikit tidak percaya. “Kita lolos final kak.” Ucapku dengan sok dramatis.
            “Ha? Kita menang? Alhamdulillah....” teriak Kak Nova sambil lompat-lompat dan nari tor-tor kayak orang batak.
            Kak Silvi terdiam sambil mengibas-ngibaskan kepalanya, sesekali mengusap wajahnya, “Mampus aku. Skripsi bentar lagi.” Ucap Kak Silvi dengan kecewa.
            Tiba-tiba saja aku teringat dengan wajahnya yang ada dianganku, wajahnya yang pernah aku kenal beberapa tahun yang lalu. Perempuan disudut ruangan, yang dulunya masih menjadi misteri tentang nama dan tujuanku mengenalmu.
            Tinggal tiga hari lagi menuju presentasi karya tulis ilmiah yang di lombakan di Surabaya. Aku, Kak Nova dan Kak Silvi lagi sibuk-sibuknya buatin presentasi dan proposal agar bisa berangkat ke Surabaya.
Satu.... dua... tiga.... hari telah berlalu
            Di Surabaya, Kotanya Bu Risma. Kota ini agak panas dari pada kota-kota yang pernah aku datangi di Pulau Jawa. Tapi, aku sedikit tertarik datang ke kota ini karena kota ini memiliki banyak daya tarik. Sepeti patung buaya dan ikan, atau Kebun Binatang Surabaya (KBS). Hanya saja ntah kenapa KBS kurang terurus dan koleksi hewan banyak yang mati, padahal kebun binatang ini menjadi kebun binatang terbesar dan terlengkap di ASEAN. Sayang banget kan? Gosipnya, dana makan buat koleksi kebun binatang ini dikorupsi sih. Aneh ya? Manusia makan makanan binatang.
            Aku yang melihat presentasi dari utusan Universitas ternama di Kota Depok itu planga plongo melihat kekiri dan kekanan. Seolah-olah radarku merasakan ada sesuatu yang aneh disini. Beberapa saat kemudian, giliran mereka presentasi sudah habis.
            Panitia memanggil nama universitas kami, akupun langsung maju sebagai utusan universitasku. Aku mempresentasikan bagaimana kondisi masyarakat yang terkena gizi buruk ditambah TBC dan Kusta. Waktu presentasi hanya diberikan 15 menit. Mataku yang melihat slide power point yang menempel didinding dengan nakalnya melihat ke semua sudut ruangan. Kak Nova dan Kak Silvi memberikan kode untuk fokus pada bahan presentasi, walaupun tidak aku hiraukan karena aku tak menyadari kodenya. Emangnya aku kantor intelejen, main kode-kodean. Jangan-jangan mereka menganggapku cabe-cabean lagi pake dikode.
            Tak terasa waktu-waktu telah berlalu. Jam istirahat telah tiba. Aku ingin keluar bergegas dari ruangan ini. Aku berlari menerobos kerumunan orang-orang yang mengantri keluar dari ruangan AC yang memiliki pintu sedikit sempit.
            Ntah apa yang ada dipikiran orang-orang yang melihatku. Mungkin mereka berfikir kenapa ada orang gila yang masuk keruangan presentasi ini.
            Aku berlari melintasi lorong hotel yang berukuran empat meter, berlari ditengah-tengah orang-orang yang mau keluar dari ruangan hotel itu. Aku langsung berdiri dibelakang punggung seseorang yang menggunakan jas biru dan menggunakan rok biru juga.
            “Wardah!” ucapku memanggil namanya dengan lembut.
            Ntah kenapa aku sangat percaya diri bahwa dia adalah Wardah, padahal sudah tiga tahun aku tak pernah melihat wajahnya sejak dia pindah ke Pulau Jawa. Bahkan aku sudah beberapa bulan tidak berhubungan dengannya walaupun dari Handphone, karena handphoneku terjatuh dan kemudian hilang disebuah sungai. Tapi, radarku menyebutkan bahwa itu adalah dia.
            Perempuan berjas biru itu langsung menoleh kearahku, dengan memasang wajah bingung dia menjawab, “Bukan!”
            “Hmmm... maaf, aku salah orang.” Ucapku yang begitu saja langsung meninggalkannya.
            Aku berjalan perlahan meninggalkannya, sambil menoleh kearahnya. Aku bingung, aku ragu-ragu akan keberadaannya. Walaupun dia mengatakan bahwa itu bukan dia, tetapi ntah kenapa naluriku berkata bahwa itu adalah dia.
            Apa mungkin naluriku mulai salah. Padahal aku selalu mengharapkan untuk bertemu dengannya. Diantara beribu bintang, memang hanya dia yang aku tuju untuk mendapatkan perhatiannya. Hanya dialah yang paling terang, hanya dia pula yang membuatku memilih dirinya, walaupun terkadang aku tak tau bahwa apakah dia mengetahui apakah aku menginginkannya. Dan akupun tak tau apakah dia juga menginginkan aku? Yang jelas, aku hanya bisa berusaha. Aku hanya bisa berusaha selalu ada dan selalu mengerti dirinya, tetapi hal itu sangatlah sulit. Sangat sulit untuk selalu ada didekatnya, sehubungan dengan jarak yang tak mau menghubungkan kami berdua. Memang sungguh miris!
            Tapi, bukankah kita tau kalo garam yang didapatkan dilaut dan sayur yang subur ditanam digunung juga bisa ketemu kok didalam kuali masakan. Yah, namanya juga jodoh.
            Didalam ruang presentasi yang telah dipersiapkan untuk memulai kegiatannya kembali, aku melihat perempuan yang tadi kupanggil tanpa sengaja, masuk kedalam dan maju untuk presentasi hasil dari penelitian Universitas mereka. Tapi, ah sudahlah jangan dipikirkan lagi karena tak ada yang perlu dihiraukan jika dia bukan Wardah. Walaupun pada akhirnya aku sedikit terpelongo ketika melihat presentasi dari mereka. Presentasi yang bagus dan memiliki hasil yang bagus pula.
            Tak terasa sang surya sudah mulai lengser dari tahtanya, kami langsung diarahkan ke Masjid untuk melakukan Shalat Ashar disebuah Mushala kecil yang ada didekat hotel. Ibadah memang penting, karena merupakan kebutuhan rohani kita serta penghubung kita dengan Dzat Maha Pencipta Yang Agung. Bukankah orang-orang yang tak mau berdo’a kepada Rabb-nya adalah orang yang sombong?
            Tak lama setelah selesai sholat, “Kenapa kamu begitu bodohnya membohongiku? Dan kenapa dengan bodohnya aku percaya?”
            Perempuan berjas biru itu hanya tersenyum sambil melihatku hanya dengan menolehkan kepalanya. “Maaf. Heheeehe...” kemudian dilanjutkannya dengan tawa.

            “Wardah dimana?” aku langsung melanjutkan pertanyaanku.

Merantau Lagi

Hari itu...

"Yah, aku ada panggilan kerja di Jakarta."

Ayahku langsung menjawab "Oh iya? dimana?"

"Ada yah, pokoknya di RS yang bekenlah, selain itu aku juga jadi peneliti disana."

Ayahku langsung bilang "Oke, pikirkan benar-benar dulu ya."

Aku masih diberi kesempatan tiga hari untuk berpikir untuk langsung berangkat ke Jakarta.

Hal ini dikarenakan aku sudah memiliki tempat praktik yang sudah nyaman, dimana pasiennya sudah ramai dan dekat dari rumah orangtua.

Aku masih gundah, karena dulu 3 tahun aku di Asrama di SMA, kemudian aku kuliah 7 tahun di Aceh yang jauh banget dari rumah orangtuaku.

Sambil praktek, aku masih mikir-mikir.

Tiba-tiba aku melihat salah satu nama pasienku, ternyata itu guru biologi-ku. Oke yang dulu sering marah-marahin aku karena aku goblok banget pas SMA.

Aku langsung memanggil beliau...

Saya langsung salam dan cium tangan, apa kabar ibu?

Sampai akhirnya beliau bertanya, "Enak lah ya kau disini?"

"Kayaknya saya akan pindah bu tiga sampai empat hari lagi"

Beliau melanjutkan, "Kemana?"

"Jakarta bu." jawabku singkat "Kebetulan diterima di RS besardisana." 

Sebenarnya, dahulu aku sangat ingin kerja di Jakart. Kenapa? karena aku adalah orang yang sudah lama hidup di kampung, sehingga aku sangat ingin kerja di kota. 

Jakarta di mata orang kampung seperti saya kaya akan gemerlap dan penuh dengan harapan.

"Wah, lanjutlah kalo ke Ibukota Gus. Kapan lagi kita bisa bersaing dengan orang kota." lanjut ibu guruku

Aku membuka handphone-ku, kemudian membalas sebuah pesan Line "Oke, lusa kita ketemu di RS" 

Aku langsung memesan tiket di aplikasi, kemudian membayarnya menggunakan M-Banking-ku.

Dua hari berselang, aku pamit ke ayah dan ibuku untuk langsung ke Jakarta.

Kenapa harus ke Jakarta? aku ingin merantau  lagi, kenapa aku ingin merantau? karena aku ingin menjadi lebih dewasa.

Semua orang dewasa harus merantau, biar dia tau bagaimana mengelola rasa rindu, kemudian bagaimana dia bisa bersosialisasi dengan lingkungan dan orang yang baru.

Thursday 8 June 2023

Bicara tentang aksi sosial

 Bulan Ramadhan yang kita rindukan.

Ramadhan memang membawa keindahan dan menjadikan hati begitu tentram. Begitu kita merindukan bulan penuh rahmad ini. Berkumpul bersama keluarga, dapat bagun sahur dan berbuka bersama. Hal itu sangat jarang terjadi karena aku sekolah di asrama dan tak mungkin bisa selalu berkumpul terkecuali saat Bulan Ramadhan dan liburan kenaikan keals.

Liburan memang membuatku menjadi bosan, tak ada agenda yang menantang dan tak ada kegiatan yang bisa dilakukan. Puasa-puasa hanya guling-guling nggak jelas sambil lihat jam limabelas menit sekali.

Terkadang berlama-lama didalam WC buat ngadem atau berendam di bak. Iya beneran ini serius! Ayahku pernah dobrak pintu kamar mandi hanya gara-gara aku nggak keluar dari kamar mandi. Udah setengah jam lebih dikamar mandi tanpa ada tanda-tanda kehidupan dikamar mandi.

Saat ayahku mendobrak dan kebetulan ada ibuku, kakakku, dan adik-adikku yang menyangka aku telah tiada berkumpul didepan pintu. Saat pintu terdobrak, keadaan berbeda. Aku sedang berendam di bak mandi tanpa menggunakan apapun.

Sangat konyol, memang sangat konyol.

Hari keempatbelas Bulan Ramadhan

HaPeku berdering tanda ada SMS masuk kedalam HaPeku.

Bergegas aku membukanya, lalu aku terkejut karena SMS ini dari temen yang sama-sama peserta Olimpiade kemarin. Kebetulan dia ngajak aku buat ngajar matematika ke anak-anak panti asuhan. Kemudian sorenya kita mau ke kampung kreatif buat ngajarin orang tua buat kerajinan tangan yang bakal dijual nanti.

Aku men-OK-kan penawaran dari temanku itu. Dan berjanji untuk bergabung setiap hari Sabtu dan Minggu setiap minggu Bulan Ramadhan ini. Kebetulan anak-anak SMA Plus Islamic Centre selalu libur saat Bulan Ramadhan, sehingga mereka bisa keluyuran kemana-mana.

Jarak dari rumahku ke lokasi sekitar satu jam setengah, cukup jauh kalo naik bus. Tapi aku pengen nekat naik motor ajalah, walaupun belum punya SIM. (jangan ditiru ya, ini contoh nggak baik. Karena mengemudi tanpa memiliki SIM adalah pelanggaran hukum, tapi sekali-kali nggak apa-apa sih).

            Keesokan Harinya

            Aku langsung siap-siap menggunakan helm dan alat pengaman lainnya seraya langsung pergi menuju Panti Asuhan lokasi yang jaraknya agak jauh. Ingat ya, setiap mau berpergian kita harus selalu safety dan mematuhi aturan lalu lintas. Kenapa? Agar kita terlindung dari kecelakaan, terutama dari polisi yang pengen nilang kita.

            Tidak seperti yang aku bayangkan, ternyata panti asuhan yang dimaksud cukup memprihatinkan. Kondisinya sedikit mengenaskan, sepertinya tidak diperhatikan oleh pemerintah. Untuk kita ketahui, bahwa rata-rata anak panti asuhan tidak bisa menyelesaikan studinya dengan baik. Bukan karena mereka kurang uang atau kurang kebutuhan, tapi karena kurang kasih sayang.

            Sekarang, di era hidup yang serba susah ini. Orang-orang banyak mencari keuntungan dari membuat panti sosial maupun yayasan, tidak untuk berdarma yang baik maupun berdarma dengan tulus. Seandainya ada orang yang penuh kasih sayang menjaga anak-anak di panti asuhan, In Sha Allah akan banyak anak panti asuhan yang menjadi orang yang sukses.

            Mari kita cintai anak yatim, karena nabi kita juga terlahir dalam kondisi yatim dan nabi menyukai orang yang menyayangi anak yatim. Betul kan?

            “Ade, dimana anak-anak yang mau aku ajarin?” tanyaku kepada Ade.

            Ade langsung mengajakku menuju suatu tempat yang memang sepertinya sering dijadikan aula pertemuan anak-anak di panti asuhan ini, “Ayok Gus.”

            Saat aku masuk, aku kaget bukan main. Aku melihat perempuan yang aku temui saat Olimpiade kemarin. Sedikit kaget karena tidak menyangka dia ada disini, dia sepertinya membaca sebuah buku disudut ruangan itu.


            Ntah apa yang dia baca dan ntah kenapa dia ada disana. Aku bergumam didalam hati didekat kebingungan yang melanda. Aku mencoba tersenyum kepadanya, aku ingin menyapanya tapi aku tak tahu namanya.

            Dia seolah-olah tak memperdulikan aku yang sedang berdiri, dan akan berjalan melewati jarak pandang matanya. Ntah apa yang membuatnya terlalu fokus melihat tulisan yang ada dibuku yang sedang dia pegang.

            Aku mengajarkan IPA dasar, kemudian matematika dasar ke anak-anak, dan masih banyak lagi yang saya ajarkan. Disinilah saya mulai menyukai anak-anak, terutama anak-anak yang membutuhkan uluran tangan kita. Meskipun tidak bisa memberikan uang, kita masih bisa memberikan yang lain kan?

            Tak perlu kita meminta-minta mengemis seperti pengemis dijalan. Kita orang berinteleq, kita memiliki wawasan dan pemahaman serta pengalaman yang bisa kita bagikan ke orang banyak. Dan sepertinya itu bisa lebih berharga daripada uang yang sekali pakai sudah habis.

            Hingga akhirnya aku bercerita sedikit pengalamanku saat mengikuti berbagai kegiatan, seperti memberikan motivasi ke mereka kalo sekolah jangan Cuma sekolah. Jadilah pelajar yang turut aktif membangun mayarakat, entah bagaimana kontribusinya, sekecil apapun aku yakin itu bermanfaat.

Saya sangat menyukai adik-adik yang semangatan seperti mereka hingga akhirnya waktu kami bersama telah habis. Dan aku masih penasaran dengan dia yang tadi membaca sesuatu disudut ruangan ini.

“De, siapa sih namanya?” tanyaku dengan penasaran.

“Nggak boleh dibilang katanya.” Jawab Ade yang sepertinya tidak memberikan jawaban.

“Kok kayak gitu sih? Main rahasia-rahasiaan.” Lanjutku dengan sewot.

Ade tertawa sambil menutup mulutnya, “Tanya saja langsung ke orangnya Gus. Hahahahaha.”

Walaupun aku sedang berbicara dengan Ade, ntah kenapa mataku selalu autofokus ke perempuan disudut sana yang sedang membaca.

Sekarang dia berjalan sambil dikerumuni anak-anak yang ingin menyalami tangannya yang terbalut gamis pink itu. Kenapa anak-anak begitu mencintainya? Kenapa anak-anak berebutan untuk bersalaman dengannya? Jangan-jangan dia yang punya panti asuhan.

“De, kenapa dia tu? Kerjaannya Cuma baca buku disudut ruangan tadi. Tapi dia baru berdiri dan melangkah beberapa kali udah dikerumuni sama anak-anak.” Tanyaku yang sudah tak sabar lagi melihat dirinya yang selalu diam.

“Jadi kamu belum tau Gus?” tanya Ade balik.

“Ha? Tau apa?” aku bertanya lagi dengan wajah yang agak bloon.

“Iyah, kan dia koordinator dan punya ide buat program kayak gini.” Jawab ade singkat. “Kalo kami mah ikut-ikut aja Gus, hehehe.” Dilanjutkan dengan tawanya.

Aku langsung terdiam sambil tersenyum, kenapa kamu begitu menjengkelkan menurutku, ditanya nama hanya diam dan saat aku lembarkan senyum malah seperti tak melihat apa-apa. Tapi, disisi lain dia begitu mengagumkan ketika bermain dengan anak-anak.

Hingga saat ini aku termotivasi untuk tumbuh menjadi laki-laki yang menyayangi anak-anak, mengajar adalah hobiku dan tak akan aku jadikan sebuah profesi. Berkumpul, bercanda ria, dan memberikan banyak pengalaman ke anak-anak sekarang menjadi ruhku. Sepertinya lebih tepat aku bilang sebagai sedikit ruhmu yang menempel pada ruhku, karena itu semua tak jauh dari apa yang kau contohkan kepadaku. Terimakasih untuk dirimu yang ada disudut ruangan itu disaat itu.

Bicara Masalah Ulangan

 

“Hosh.. hosh... hosh..” desah nafasku berlari dari rumah ke SMP untuk mengikuti upacara setiap hari senin pagi. “kamu terlambat lagi, setiap hari selalu terlambat. Mau jadi apa kamu nanti?” ucap guruku dengan kata-kata kasar.

            “Anu... bu, saya lupa nyetrika baju semalam, angkot kesini pun jarang bu.” Sebisa mungkin aku mengeluarkan alasan agar diringankan dari beban hukuman. Walaupun telah mengeluarkan seribu jurus dan alasan tetap saja aku mendapatkan hukuman.

            Dihari itu aku sangat dipermalukan oleh guruku, disuruh untuk berdiri di dekat tiang bendera, sambil hormat, berteriak “Aku berjanji tidak akan terlambat lagi” dan mengangkat satu kaki. Selama kelas satu SMP aku tak pernah merasa bersalah dengan sikap nakalku ini. Aku menganggap apa yang aku lakukan adalah hal yang biasa-biasa saja dan wajar dilakukan oleh anak SMP. Mungkin para pembaca juga memiliki pemikiran yang tak jauh berbeda denganku bahkan sama.

            “Tiap hari dihukum, tiap upacara bendera dihukum. Mau jadi apa kamu nak? Kalo kamu kayak gini terus lebih baik kamu keluar dari sekolah ini” hardik wali kelasku.

            “Tapi bu, jarak dari rumah ke SMP jauh. Mau gimana lagi bu? Kendaraan jarang kesini, orang tua ngak bisa mengantarkan, dan saya hidup berdua dengan adik-adik saya bu.” Jawabku guna membela diri.

            “Banyak alasan kamu, kalau sudah salah itu diam saja. Jangan banyak alasan, jangan kurang ajar sama guru kamu.” Setelah mendapat banyak omelan dari guru wali kelasku, aku dihukum lagi. Didepan kelas dengan memakai papan yang digantungkan dileher dengan tulisan “Tukang Telat”. Memang masa kelas satu SMP adalah masa paling suram yang pernah aku alami, kenapa tidak? Setiap tingkahku selalu menjadi ulah dan perhatian guru.

            Satu minggu terlewati, akhirnya ulangan semester dilaksanakan juga. Walaupun tidak belajar, aku tetap saja percaya diri mengerjakan ulangan semester. Karena kalau menurutku, dalam mengerjakan soal ujian atau ulangan cukup menjawab apa yang kita tahu, selebihnya ya jawab asal-asalan. Siapa tau saja memang nasib kita untuk mendapatkan nilai besar. Bahkan saat ujian aku selalu keluar lima belas menit bahkan sepuluh menit saat ujian dimulai. Akhirnya masalah lainnya datang, karena aku yang selalu keluar cepat saat ujian. Aku dipanggil ke ruang guru, disana aku dimarahi oleh hampir semua guru karena cepat keluar disaat ujian berlangsung. Mereka mengatakan kalau aku tidak menghargai hasil jerih payah guru yang sudah membuat soal dengan susah payah.

            “Kamu jangan sok pintar ya? Kenapa kamu cepat keluar saat ujian?” teriak guruku dengan rasa kesalnya.

            “Daripada aku nyontek, lebih baik aku cepat-cepat keluar. Karena aku gak mau lama-lama diruang ujian.” Gumamku dalam hati. Aku kesal sekali, kenapa semua yang kulakukan menjadi masalah? Kenapa aku menjadi siswa yang banyak masalah? Semua pertanyaanku tak bisa terjawab. Padahal aku hanya ingin semua orang mengerti kalau aku memang begini, aku tidak bisa mengikuti gaya hidup orang-orang yang selalu patuh pada peraturan.

            “Kamu belum tahu berapa lama kami buat soal, betapa susahnya. Kamu menghancurkan semua usaha kami hanya dalam waktu lima belas menit.” Ucap guruku dengan nada emosi.

            Pada saat pelajaran Ekonomi, mulailah perdebatanku dengan guru IPS-ku. Pada saat itu mereka bilang tujuan hidup manusia itu adalah uang. Disitu aku bertanya dan menyanggah “Kenapa harus ada uang? Kalau kenyataannya uang dapat membuat orang menjadi serakah, rakus bahkan engan berbagi.” Disitu mulailah pertanyaan besar dalam hidupku. Apa tujuanku hidup didunia? Apakah demi uang, apakah sekolah yang kita lalui ini semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan uang yang banyak. Kalau begitu betapa rendahnya makna hidup insani, jika hanya demi uang.

            Pada hari itu, Departemen Pendidikan mengadakan kegiatan penelitian kemampuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan Teknologi), semua siswa di SMP diikutsertakan. Seperti biasa, aku anak bandel yang hanya bisa buat masalah dan terlambat disekolah udah jatuh mental karena ngak percaya diri. Aku terlambat lagi setengah jam, dan langsung diizinkan masuk tanpa dihukum karena ada kegiatan Iptek. “Hmm, tumben ngak dihukum.” Gumamku dalam hati. Seperti biasa, aku keluar lima belas menit setelah aku masuk ruangan. Aku hanya cuek dengan hasil dari kegiatan Iptek tadi, “Mau menang, mau kalah. Aku gak peduli.” Begitu ucapanku kepada teman-temanku saat kami nongkrong dibawah tenda kantin di SMP kami. Seperti biasa, hari senin cerah selalu diawali dengan upacara bendera. Dan aku selalu memecahkan rekor dalam absen siswa terlambat. Hari itu aku memang capek setelah mengikuti kegiatan hiking dan halang rintang pramuka. Aku sudah malas beralasan lagi, aku udah pasrah dan gak peduli lagi mau dihukum, karena aku rasa udah kebal sama hukuman yang diberikan oleh guru-guruku. Akhirnya dihukum juga, dan ada yang aneh dengan hukuman hari ini. Tiba-tiba seorang wanita mendatangiku dan berkata “Agus, bukan?”

            “Iya, aku Agus. Ada apa?” jawabku ketus dengan mengantungkan papan yang bertuliskan “Saya Selalu Telat.”

            “Agus, dipanggil sama Pak Alwi, sekarang ya.” Jawabnya sambil tersenyum lembut.

            “Kamu jangan ngejek ya, mana mungkin aku dipanggil kepala sekolah? Apakah cuma karena sering terlambat?” Aku sangat geram dengan cewek berambut pendek, anggun, manis, cantik dan dia adalah ranking satu disekolah kami.

            “Ya udah, kalo gitu sama-sama dengan Intan pergi ke ruang Kepala Sekolah.” Sambil tersenyum dan menarik tanganku. Aku agak bingung dengan wanita satu ini, dia adalah satu-satunya wanita yang mau bicara dan tersenyum padaku. Biasanya aku selalu dijauhi dan dicuekin cewek-cewek sekolah karena aku hanyalah seorang pria yang kaya akan masalah dan sifat nakal di sekolah.

            Setelah berjalan beberapa meter, melewati kantor dan ruang guru. Akhirnya kami masuk ke ruang kepala sekolah. Ruangan dingin, agak gelap, disana seperti kursi pesakitan, seperti tempat introgasi yang biasanya kita lihat di film aksi. “Jadi kamu yang namanya Agustiawan ya?” tiba-tiba terdengar suara yang agak menggelegar, maklumlah karena kepala sekolah kami orang batak.

            “Iya, iya Pak.” Jawabku agak takut.

            “Kamu tahu kenapa kamu dipanggil kesini.” Dia bertanya, membuatku penasaran. Ada sedikit perasaan takut karena aku adalah siswa bermasalah. “Selamat ya, berdasarkan hasil kegiatan Iptek dari Departemen Pendidikan kemaren, kamu mendapatkan nilai terbesar di SMP kita.” Gleger, rasanya bumi gonjang ganjing, tiba-tiba keluar kerak bumi dari bawah. “Maaf pak, bapak jangan bercanda ya.” Jawabku dengan suara lirih. “Iya benar, selamat ya, saya juga ngak nyangka. Karena nama kamu terkenal diforum guru sebagai siswa bermasalah.”

            Akupun sedikit heran dengan apa yang terjadi, beberapa kali aku minta tampar sama teman-teman, apakah ini benar. Semenjak saat itu, aku agak menjaga image dari anak yang nakal, berangsur-angsur memperbaiki diri. “Tapi aku hanyalah anak yang bemasalah, susah untuk memperbaiki diriku.” Aku selalu mengatakan itu kepada ayah saat ditelpon. Aku sebenarnya ingin menjadi anak yang baik, tapi mungkin belum bisa.

            Semenjak saat itu, kacaupun berlanjut menjadi sebuah keselarasan. Aku pulang dengan membawa kertas hasil tes tersebut. Saat ibuku pulang mengajar, kutunjukkaan hasil tes tersebut. Hingga akhirnya, ibuku berkata kepadaku “Nak, kertas ini kamu buat dimana? Kok ada cap Dinasnya? Hati-hati nanti dikira pemalsuan surat.” Ibuku sangat tidak percaya dengan hasil yang ada, karena dari SD sampai SMP aku hanya mendapatkan rangking 20 keatas.

            Setiap manusia memiliki sisi baiknya, seburuk-buruknya manusia, dia memiliki waktu untuk berubah. Karena kita semua memiliki masa depan untuk diisi dengan hal-hal yang berguna.

Tuesday 6 June 2023

Bicara Tentang Aksi Mahasiswa

 Terkadang siapa yang belum tau akan bertindak seenaknya, terkadang yang belum tau tidak akan peduli.

Kita sangat perlu untuk mendapatkan banyak halangan agar kita tahu bagaimana rasanya dihalangi, agar nanti kita tidak menghalangi orang lain. Terlalu banyak orang yang menghalangi orang lain untuk maju, terlebih lagi jika dia mampu melampaui empunya.
Terkadang kita harus terlalu sabar alias membutuhkan kesabaran ekstra dalam menghadapi orang yang aneh. Aneh dalam hal susah melihat orang lain senang, susah melihat orang lain berkembang. Itu sangat aneh, tak jarang orang-orang tidak ingin memberikan panggung kepada kita untuk berpentas, karena dia tahu bahwa pentas kita lebih baik daripadanya.
Tapi, untuk orang antimainstream selalu punya solusi yang baik untuknya. Solusi dimana dia mendapatkan panggung dengan cara tidak menghancurkan panggung orang lain.
Tahun ini aku sangat prihatin melihat kondisi organisasi kampusku. Kondisi mahasiswa yang hidupnya hanya itu-itu saja, tiada pengembangan dan tiada pengabdian. Saat aku mau masuk ke satu lembaga dikampusku, aku langsung didepak keluar jauh-jauh agar tidak mengganggu sistem yang telah mereka buat.
Memang tak ada jalan lain, ketika kamu sudah dibuang jauh-jauh hanya karena kamu ingin membuat sesuatu menjadi lebih baik. Hanya ada satu cara! Menyingkir dan membuat sesuatu yang memang bisa engkau kendalikan dengan sesuka hati.
Itulah cerminan ruhmu, sesuatu yang kau gagas sendiri tanpa rasa takut. Tak perlu takut untuk melakukan yang benar, tak perlu malu untuk mengekspresikan diri, dan tak perlu ragu untuk melangkah lebih maju. Bukankah semuanya kamu yang menentukan?
Kesalahan umum yang sering dilakukan mahasiswa adalah bangga menjadi EO. EO? Iya, Event Organizer! Mahasiswa itu bukan EO, tetapi Agent of Change and Development. Sangat rugi jika mahasiswa hanya menjadi tempat kampanye partai politik, menjadi tempat menyalurkan bantuan dan menjadi tempat untuk hura-hura.
Saat kita seperti EO, seolah-olah apa yang kita pelajari saat kuliah tidak berguna sama sekali. Contohnya, anda mahasiswa ekonomi tetapi membuat kegiatan atau aktivitas yang hanya membantu LSM atau pemerintah untuk menyalurkan bantuan. Lalu, dimana letak ilmu anda? Kecuali jika anda membuat proyek pembangunan ekonomi masyarakat.
Anda mahasiswa kedokteran, tetapi anda hanya membuat kegiatan donor darah masal. Dimana skills anda mainkan? Kecuali anda membuat sosialisasi donor darah, atau langsung mengambil darah pasien. Baru itu bisa disebut dengan membuat kegiatan, bukan menjadi EO.
Sadarlah kawan, buatlah kegiatan yang efeknya memandirikan masyarakat, bukan memanjakan masyarakat dengan cara membagikan ini itu. Lakukan program yang bisa membuat mereka mandiri, yang bisa memberikan manfaat kepada diri mereka sendiri apabila kita lepas disuatu hari nanti.
Terlebih, kurangnya rasa peka mahasiswa terhadap lingkungan sekitar lama-lama akan membawa bencana kemanusiaan. Apakah kita pernah berfikir jika nanti, kedepannya kita dipimpin dan hidup bersama pemuda-pemuda yang tak peduli dengan nasib sesamanya.
Oke, akhirnya aku mengumpulkan beberapa temanku yang memiliki visi yang sama dengan tujuan membuat perkumpulan yang bisa membendung kreatifitas mahasiswa untuk dapat mengabdikan dirinya ke masyarakat.
“Kawan-kawan ayok kita bergabung membentuk sesuatu yang bisa mengubah nasib masyarakat masa kini!” seruku didepan mengajak semua teman-temanku.
“Ah, buat apa juga?” celetuk sinis dari seorang perempuan yang duduk dibangku baris kedua.
“Begini, melihat kondisi negara kita sekarang. Apa yang bisa kita lakukan? Hanya diam? Ayoklah kita buat sesuatu yang kecil tapi memiliki imbas yang baik kepada masyarakat.” Ajakku berceloteh.
Jadi, kenapa kita begitu kurang peka dengan kondisi yang ada sekarang?
Apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia?
Sehingga pelajarnya begitu cuek dengan banyak fenomena yang ada di masyarakat. Bahkan yang ada ditengah-tengah kehidupan mereka. Aku sangat prihatin, bahkan sekarang serasa prihatinnya udah jadi double (ke masyarakat dan mahasiswa), bahkan mungkin bentar lagi aku bakal jadi prihatinni atau prihatinawati.
Tapi, percayalah dan yakinlah semua kondisi akan membaik. Selalu optimis dan berfikiran positif adalah kekuatan mahasiswa alias pemuda.
Respon negatif dari temanku sontak membuatku menjadi sedih, aku merenung sendiri. Semuanya seakan-akan pupus, aku berputus asa. Tiba-tiba telponku berbunyi dan aku langsung mengangkatnya.
“Assalamualaikum Wardah.” Salamku di telpon menyapanya.
Wardah langsung mulai bicara, “Waalaikumsalam, apa kabar kamu?”
“Sedikit bete.” Jawabku singkat.
“Kenapa seperti itu? Kok laki-laki pake bete segala. Kayak cewek aja.” Ejek Wardah di telpon menghiburku.
Aku langsung bercerita kepada Wardah perihal apa yang aku alami hari ini. Tak lama kemudian Wardah langsung tertawa, dia sedikit memberiku motivasi. “Berapa orang yang menolak?” tanyanya.
Aku langsung menjawab, “Ratusan.”
“Berapa orang penduduk Indonesia? Dari sekian juta, yang menolak baru ratusan.” Jawabnya.
Dia melanjutkan nasihatnya, “Coba cari orang lain, yakinlah setiap tindakan baik pasti akan ada yang mendukung. Kamu jangan takut.” Ucapnya sok bijak.
Kami berdua terdiam sejenak.
“Pasti ada satu orang yang seisi pikiran denganmu. Kamu harus yakin.” Ujarnya dengan menarik nafas sambil melanjutkan, “Aku juga mau ikut.”
“Sudahlah, aku masih ingin sedih.” Jawabku ngambek.
“Boleh kamu sedih, asal kesedihan itu tidak membuatmu larut dalam keputus-asaan dan bahkan tidak menjerumuskanmu dalam keterpurukan.” Ucapnya sambil tertawa kecil. “Ayok, come on boy! Masa depan itu indah. Cari orang yang bisa diajak bergabung. Itu lebih baik.”
Kami terdiam sejenak hingga akhirnya dia mengakhiri ucapannya, “Ayo kita lanjutkan perjuangan.”

Bangkitlah, ayo bangkit memperbaiki kondisi negerimu. Membuat semua yang tak mungkin menjadi mungkin, menghilangkan keresahan dan kerisauan serta melalukan yang terbaik untuk menolong kehidupan.

Monday 5 June 2023

Bicara Tentang Kontrakan Baru

 Panas Terik Kota Palembang

            Kota Palembang memang dipenuhi oleh pejalan kaki, karena memang jalan kaki di Kota Palembang sangat menyenangkan. Selain kita bias menikmati keramaian ala negeri barat, kita juga mungkin bias dapet jodoh. Kayak yang dialami oleh salah satu temenku yang dapet jodoh di trotoar samping International Plaza.
            Beberapa tahun yang lalu, suasana Kota Palembang sangatlah ramai karena ada dua event sekaligus yang dilaksanakan disini. Siapa yang tau hayooo? Yang bener bakal dapet biscuit rasa kulit manggis.
            Aku adalah mahasiswa disalah satu perguruan tinggi negeri di Palembang, aktif juga diremaja masjid. Hobinya foto-foto tapi nggak suka selfie, karena menurutku selfie itu alay kelas tinggi.
            Jalan-jalan di Kambang Iwak bareng kawan-kawan sambil dikejar banci itu biasa kok. Nggak ada yang istimewa dengan anak kesehatan yang suka ikut Open Mic Standup Commedy di Palembang tapi sayangnya garing. Kriiik kriiik gitu loh.
            Jadi cerita ini dimulai ketika aku masih kurus, sebelum aku jadi laki-laki prenagen. Memang banyak hal yang aku lakukan bersama teman-temanku.
            “Pooop, pooop, pooop…” bunyi motor kawanku yang membantu membawa barang-barangku.
            Maklum, hari ini aku baru saja pindah rumah dari Kontrakan lama yang letaknya depan kuburan cina ke tempat ditengah-tengah perumahan. Aku tak sanggup tinggal didepan kuburan cina. Kenapa?
            Kalo kita buat survey kenapa orang nggak tahan tinggal didepan kuburan pasti 90% bilang takut angker gitu. Jika anda menjawab tidak, berarti anda 10%-nya. Ya, aku juga masuk ke 10%-nya, aku bukan takut sama hantunya, karena aku yakin sesuatu yang masuk kuburan nggak mungkin bangkit trus mengetuk rumah kita sambil numpang kekamar mandi sebentar karena didalam kuburannya nggak ada WC. Tapi yang jelas ini nggak lucu.
            Sekarang pertanyaannya, kenapa aku nggak suka tinggal didekat kuburan?
            Pertama, aku pernah pulang kerumah jam tiga siang. Tiba-tiba aku melihat udah rame didepan rumah, sampe-sampe ada mobil yang parkir didepan pagar rumah kontrakan aku sampe-sampe aku teriak-teriak “Ini mobil siapa? Ini mobil siapa? Tolong pindahin dong.”, tapi sampai satu jam aku teriak-teriak sampe-sampe pake toa dan buat pengumuman di Masjid tetap aja nggak ada yang mengubris dan memindahkan mobilnya. Oke fine, kali ini aku yang mengalah dan terpaksa memarkirkan motorku diluar pagar.
            Kedua, aku pernah kuliah siang. Baru selesai mandi, aku langsung memakai pakaian dinas dan waktu mau mengeluarkan motor dari pagar rumah. “Kok pagarnya keras ya?” tanyaku dalam hati. Saat aku mengintip keluar ternyata pagar rumah kontrakanku tertahan oleh kendaraan truk yang mengangkut peti jenazah. Aku hanya bisa mengangga-ngangga melihat tindak tanduk “Penumpang” yang sering parkir sembarangan didepan rumahku, tak kusangka-sangka ternyata ada acara pemakaman yang dilakukan saat itu juga, akhirnya aku terlambat masuk ke kampus.
            Tapi disisi lain aku juga merasa sedikit untung punya rumah kontrakan didekat kuburan cina. Terkadang saat lapar dan haus mendera, kekurangan uang diakhir bulanpun merajalela. Kami segerombolan laki-laki mengendap-ngendap berjalan lewat kuburan dan pura-pura nggak tau. Lihat kiri lihat kanan apakah situasi disekitar kami aman dan akhirnya hap, kami bisa mendapatkan buah gratis yang dipersembahkan untuk kuburan tersebut.
            Tapi kini aku harus menerima kenyataan kalo harus pindah kontrakan keperumahan yang letaknya ditengah kota. Rumah bertipe 36B (kayak ukuran apa gitu) yang mungkin nanti akan memberikan cerita yang lebih menantang lagi.
            Saat masuk kerumah yang sudah 2 tahun tidak dihuni oleh manusia itu, “Kreeeee….” Bunyi pintu rumah bertipe 36 itu terbuka. Semerbak bau apa aja berkumpul disana dari kaos kaki sampe muntah kucing. Debunya udah kemane-mane tebelnya 5 centi lagi.

            Kecoa sama tikus udah pesta pora minum arak didalam dapur rumah kontrakan baru kami. Yah, semoga rumah bertipe 36 ini bisa memberikan cerita baru yang lebih bermakna.

Tangga

 Tak ada yang salah bagi kamu yang tak bisa, selama kamu masih memiliki kesempatan untuk mencoba. Tak ada masalah juga ketika kamu gagal, selama kamu masih punya semangat untuk menikmatinya bahkan mengubah kegagalan menjadi keberhasilan dihari mendatang.

2011 Akhir, musim hujan yang sangat panjang di Kota Palembang. Bahkan kantor Gubernur Sumatera Selatan yang megah dan kuno itupun terendam oleh banjir. Otomatis aku harus memutar lewat Istana Griya Agung yang menjadi tempat tinggal Penguasa Propinsi terbesar kedua di Sumatera.
            Melihat Qunut yang menunggu mobil Transmusi didekat halte kampus sontak membuatku berhenti sambil menawarkan tumpangan untuknya. Tak menunggu banyak waktu, dia langsung duduk menyamping di motorku.
            “Eh… Malaysia, tumben pulang cepat? Biasanya pulang jam lima atau enam.” Ucapku sambil memegang gas motor.
            “Dosennya rada-rada Gus, jadi nggak ada praktik hari ini.” Jawabnya singkat.
            Seharusnya kita berbicara lebih dalam dari hati ke hati. Tentang sesuatu yang susah untuk dijelaskan saat ini. Oke, sampai saat ini.
            Aku sering bertaya dengan temanmu, tentang statusmu saat ini, “Qunut masih single kok Gus, dia masih sendiri.” Begitu jawab teman-temanmu.
            Tapi apakah benar kau masih sendiri? Ku lihat gerak gerikmu saat ini, seperti kau sedang menunggu seseorang.
            Dibawah derasnya hujan kita mengendarai motor bebek itu, menikmati derai hujan yang tidak bisa dielakkan. Dinginnya hujan menusuk tulang, tapi tetap memberikan banyak waktu untuk kita berdua. Bahkan memberikan ruang yang nyaman untuk saling memandang.
            Sesampainya di Masjid Agung Palembang, kita berhenti untuk berteduh sembari menunaikan ibadah Sholat Ashar. Kita berpencar karena tempat Wudhu laki-laki dan perempuan memang berlawanan arah.
            Tak ada kata yang bisa aku ucapkan, memasuki masjid besar dipusat kota sedikit mencari solusi untuk menjadi tempat berteduh dan beristirahat.
            Berapa bulan yang sudah kita pijak tanpa ada kejelasan tentang hubungan ini, bahkan sepertinya kamu hanya menganggapku teman. Hal itu tentu membuat aku menjadi putus asa, sampai-sampai kau uring-uringan bercerita tentang sesosok laki-laki yang kamu dambakan, walaupun kamu tak menyebutkan identitasnya.
            Keluar dari Masjid Agung Palembang setelah melaksanakan Shalat Ashar. Aku bertanya padamu, “Kok lama keluar dari masjidnya Qunut?”
            Qunut hanya tersenyum sambil membawa ranselnya, “Tidak ada, do’aku panjang banget.”
            “Wah… apakah ada sesuatu hal special yang kau doakan?” tanyaku penasaran.
            Qunut menjawab, “Nggak ada kok, Cuma mendo’akan seseorang saja.” Sambil memakai sepatunya. Melihat sosok perempuan dengan pipi dan mata yang besar menunduk memakai sepatu.
            Begitu eloknya dirimu ketika kulihat biasanya bermain dengan anak-anak di tempat kostmu yang berada didalam komplek perumahan itu. Tertawa bercanda, berlari-lari dan membawa mereka dan diriku hanyut terhipnotis keindahan elok dirimu.
            Aku hanya terdiam sejenak dan kembali tersenyum, “Ayok kita pulang.”
            Pikiranku melayang kemana-mana, ntah aku tak tahu kemana arah perginya isi kepalaku. Apakah benar kamu masih sendiri? Jika benar, maka siapa yang kau sebut dalam do’a-mu yang begitu tadi.
            Hari hari berlalu, bahkan untuk perasaan ini untuk ujungnyapun aku tak pernah tahu. Tapi aku selalu memandang tingah lakumu, memandang gerak gerikmu. Ku lihat kau begitu pandai menjaga diri, kau selalu tersenyum bertanya pada guru-guru untuk mempersiapkan ilmu.
            Kau begitu anggun jika tertawa bersama anak-anak, begitu aku mengagumimu. Tapi untuk kali ini membuatku bertanya-tanya.
            Mereka bilang kamu dekat dengan anak STAN, ada pula yang bilang anak-anak dari almamater terkenal dan tentunya anak-anak orang kaya mendatangi rumahmu. Meminta agar dirimu mau hidup bersamanya.
            Tapi, tak satupun dari mereka yang kau terima. Apakah yang membuatmu memagar dirimu dari mereka? Pantaskah jika kau harus berbuat seperti itu? Pantas tak pantas hanya kau yang bisa menjawabnya.
            Jadi, siapa orang yang selalu ada dalam do’amu? Jika tidak ada siapa-siapa yang pernah menarik perhatian hatimu. Mungkinkah kamu mendo’akan…. Tapi aku tak perlu berfikir sampai kesana.
            Diding dan labirin kau buat agar para lelaki tak mudah mendekatimu, untuk apa? Apakah terlalu banyak laki-laki yang ingin mendekatimu? Jangan ke ge-eran deh, atau memang kamu sangat diinginkan oleh banyak orang Qunut.
            Terlalu lama aku hanya memikirkan saja tanpa Action ya berarti percuma dong. Ayok-ayok kita coba berfikir realistis, untuk menembus dinding yang kau buat. Berikan dan pinjamkan aku sebuah mortar dari Korem terdekat, ataupun sebuah palu untuk merobohkan dindingnya.
            Hingga akhirnya aku bertanya pada teman dekatmu, mereka bilang “Aku”. Apakah mereka bercanda atau hanya sekedar menyenangkan hatiku saja?
            Hati tak da yang bisa membaca. Yakin? Serius? Janji? Ikhlas? Siapa yang tahu?
            Ayoklah sekali lagi berfikir realistis, validitas diperlukan disini. Untuk menggapai pelangi yang terdiri dari tujuh sampai empat belas warna Me-Ji-Ku-Hi-Bi-Ni-U, sepertinya hampir sama dengan tangga. Ujung pelangi tak selalu telaga, bisa saja harta karun yang berisi banyak harta.
            Tapi bukan itu yang kita tuju, dimana tangga?

            Tolong pinjamkan tangga agar aku bisa memasuki dinding dan labirin itu degan cara yang baik-baik, karena aku mantan orang brengsek.