Panas Terik Kota Palembang
Kota Palembang memang dipenuhi oleh pejalan kaki, karena memang jalan kaki di Kota Palembang sangat menyenangkan. Selain kita bias menikmati keramaian ala negeri barat, kita juga mungkin bias dapet jodoh. Kayak yang dialami oleh salah satu temenku yang dapet jodoh di trotoar samping International Plaza.
Beberapa tahun yang lalu, suasana Kota Palembang sangatlah ramai karena ada dua event sekaligus yang dilaksanakan disini. Siapa yang tau hayooo? Yang bener bakal dapet biscuit rasa kulit manggis.
Aku adalah mahasiswa disalah satu perguruan tinggi negeri di Palembang, aktif juga diremaja masjid. Hobinya foto-foto tapi nggak suka selfie, karena menurutku selfie itu alay kelas tinggi.
Jalan-jalan di Kambang Iwak bareng kawan-kawan sambil dikejar banci itu biasa kok. Nggak ada yang istimewa dengan anak kesehatan yang suka ikut Open Mic Standup Commedy di Palembang tapi sayangnya garing. Kriiik kriiik gitu loh.
Jadi cerita ini dimulai ketika aku masih kurus, sebelum aku jadi laki-laki prenagen. Memang banyak hal yang aku lakukan bersama teman-temanku.
“Pooop, pooop, pooop…” bunyi motor kawanku yang membantu membawa barang-barangku.
Maklum, hari ini aku baru saja pindah rumah dari Kontrakan lama yang letaknya depan kuburan cina ke tempat ditengah-tengah perumahan. Aku tak sanggup tinggal didepan kuburan cina. Kenapa?
Kalo kita buat survey kenapa orang nggak tahan tinggal didepan kuburan pasti 90% bilang takut angker gitu. Jika anda menjawab tidak, berarti anda 10%-nya. Ya, aku juga masuk ke 10%-nya, aku bukan takut sama hantunya, karena aku yakin sesuatu yang masuk kuburan nggak mungkin bangkit trus mengetuk rumah kita sambil numpang kekamar mandi sebentar karena didalam kuburannya nggak ada WC. Tapi yang jelas ini nggak lucu.
Sekarang pertanyaannya, kenapa aku nggak suka tinggal didekat kuburan?
Pertama, aku pernah pulang kerumah jam tiga siang. Tiba-tiba aku melihat udah rame didepan rumah, sampe-sampe ada mobil yang parkir didepan pagar rumah kontrakan aku sampe-sampe aku teriak-teriak “Ini mobil siapa? Ini mobil siapa? Tolong pindahin dong.”, tapi sampai satu jam aku teriak-teriak sampe-sampe pake toa dan buat pengumuman di Masjid tetap aja nggak ada yang mengubris dan memindahkan mobilnya. Oke fine, kali ini aku yang mengalah dan terpaksa memarkirkan motorku diluar pagar.
Kedua, aku pernah kuliah siang. Baru selesai mandi, aku langsung memakai pakaian dinas dan waktu mau mengeluarkan motor dari pagar rumah. “Kok pagarnya keras ya?” tanyaku dalam hati. Saat aku mengintip keluar ternyata pagar rumah kontrakanku tertahan oleh kendaraan truk yang mengangkut peti jenazah. Aku hanya bisa mengangga-ngangga melihat tindak tanduk “Penumpang” yang sering parkir sembarangan didepan rumahku, tak kusangka-sangka ternyata ada acara pemakaman yang dilakukan saat itu juga, akhirnya aku terlambat masuk ke kampus.
Tapi disisi lain aku juga merasa sedikit untung punya rumah kontrakan didekat kuburan cina. Terkadang saat lapar dan haus mendera, kekurangan uang diakhir bulanpun merajalela. Kami segerombolan laki-laki mengendap-ngendap berjalan lewat kuburan dan pura-pura nggak tau. Lihat kiri lihat kanan apakah situasi disekitar kami aman dan akhirnya hap, kami bisa mendapatkan buah gratis yang dipersembahkan untuk kuburan tersebut.
Tapi kini aku harus menerima kenyataan kalo harus pindah kontrakan keperumahan yang letaknya ditengah kota. Rumah bertipe 36B (kayak ukuran apa gitu) yang mungkin nanti akan memberikan cerita yang lebih menantang lagi.
Saat masuk kerumah yang sudah 2 tahun tidak dihuni oleh manusia itu, “Kreeeee….” Bunyi pintu rumah bertipe 36 itu terbuka. Semerbak bau apa aja berkumpul disana dari kaos kaki sampe muntah kucing. Debunya udah kemane-mane tebelnya 5 centi lagi.
Kecoa sama tikus udah pesta pora minum arak didalam dapur rumah kontrakan baru kami. Yah, semoga rumah bertipe 36 ini bisa memberikan cerita baru yang lebih bermakna.
No comments:
Post a Comment