Saturday, 22 November 2014

IRISAN LINGKARAN PERSAHABATAN

Perjalanan terkadang akan menyisakan jejak perjalanan yang beragam. Tergantung bentuk sepatu maupun luas alas penampang sepatumu. Begitulah hidupmu, kau akan meninggalkan jejak ataupun sesuatu yang entah itu akan dikenang sesuai dengan apa yang telah kau lakukan selama ini. Tak perduli siapapun kamu, karena manusia tak dilihat dari cara dia hidup, melainkan dari cara dirinya meninggalkan dunia ini.
            Terkadang aku merasakan kita memiliki satu kesamaan, masih hidup disiklus yang sama dan terkadang apakah yang aku pikirkan itu benar?
            “Hey, harusnya kamu sudah ada disini setengah jam yang lalu!” ucap perempuan itu kepada laki-laki yang sedang menelpon nan jauh disana.
            Dulu kau sering bercerita uring-uringan kepadaku, tentang sesuatu yang memang menimbulkan sebuah perasaan tak terduga. Tapi siapa yang tau dan bagaimana jika kau yang membuatku jatuh cinta.
            Laki-laki yang sedang dalam perjalanan di Demang Daun Lebar itu langsung menyela, “Iya, sabar sebentar ya. Macet dijalan.” Sambil mematikan HP-nya yang sendari tadi ditelpon oleh seorang perempuan galak yang menunggu di tumpukan buku itu.
            Memang terkadang sedikit menyebalkan ketika dirimu harus tahu bahwa perempuan terkadang lebih dewasa dari pada laki-laki, bahkan lebih on time dari pada laki yang selalu oon time.
            Di Perpustakaan Propinsi yang megah itu dia sendirian mencari buku diantara rak buku yang berjajar rapi dari pintu masuk ke pintu keluar. Bahkan disini kita ditemani oleh lagu-lagu yang menambah harmoni akan kecintaan kita kepada suasana yang tenang dan merdu.
            Tertatih laki-laki itu berlari setelah memarkirkan motornya diantara deret motor yang tersusun seperti di show room.
            Aku langsung masuk ke perpustakaan melepaskan sepatuku, karena lantai disini dilapisi oleh karpet merah yang tebal. Bahkan sangat nyaman kalo kamu tidur disini. Seandainya pemerintah bisa memberikan “Kartu Indonesia Sabar” kepada seluruh wanita yang ada didunia ini, mungkin aku tak perlu lagi berlari terburu-buru seperti ini.
            “Haloo Qunut!” ucapku mengejutkannya dari belakang.
            Qunut yang memang sepertinya tidak terkejut itupun langsung pura-pura terkejut seperti mengejekku. “Hahaha, mana bisa kamu mengejutkan perempuan!”.
            “Kenapa?” tanyaku penasaran.
            “Perempuan memiliki banyak mata tau, bahkan dia bisa mengetahui apa yang tidak terlihat. Bahkan hanya bisa merasakan sesuatu yang Cuma bisa dirasa!” ucap Qunut berteori.
            Sejenak kami berdua diam setelah saling membuang senyum. Aku sangat penasaran sekali dengan perempuan yang ada didepanku ini. Hanya saja, dia tak pernah membuka dirinya untuk aku ketahui lebih dalam.
Padahal dia adalah perempuan idola banyak kaum Adam disini. Ntah kenapa dia lebih berat dekat denganku padahal banyak laki-laki yang lalu lalang diluar sana menanti. Bahkan memperjuangan dengan banyak cara, tapi tak pernah dihiraukannya.
“Eh… tumben ngajak ketempat yang kayak gini.” Ucap Qunut sambil mencari-cari buku yang ada didekat rak.
Aku kurang mengerti kenapa perempuan selalu bisa menghabiskan waktunya dengan membaca, menghabiskan waktunya dengan sesuatu yang menurutku membosankan. Bahkan mereka sangat marah ketika diganggu membaca.
“Lho, emangnya kenapa?” ucapku yang sedang mengikutinya dari samping.
Qunut mengambil salah satu buku dari raknya, kemudian dia seolah-olah memberikan pesan tersirat untuk mengikutinya duduk dikursi sambil membuka bukunya. “Kamu biasanya kan malas membaca?” ucapnya tenang.
Aku hanya tertegun melihatnya berbicara, dia tetap focus membuka lembaran kertas yang ada ditangannya. “Aku tau ini bukan tempatmu.” Ucapnya singkat.
aku menyela pembicaraannya, “Kamu kenal sama Susi?” ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan yang semakin ngawur ini.
“Kenal, kenapa? Itu kan teman dekatku sewaktu kecil Gus.” Ucap Qunut bersemangat.
Aku tertawa kecil sambil berkata licik didalam hati, “Akhirnya pengalihan perhatianku berhasil juga.”
Aku melanjutkan pembicaraan, “Susi kan temen bimbel aku kemarin. Orangnya asik kok diajak bicara. Apalagi diajak bercanda, pokoknya TOP banget deh.” Ucapku menceritakan temannya yang ternyata temanku juga.
Akhirnya hari ini kami habiskan dengan bercerita tentang teman-teman yang ternyata adalah irisan dari teman kami berdua. Jika ternyata temanmu adalah irisan dari temanku juga, bukankah berarti kita berada diantara lingkaran pertemanan yang sama bukan?
Tak terasa setengah jam telah berlalu, aku masih menggunakan seragam kampus begitupun dia menggunakan baju putih dengan rok panjang dan jilbab panjang berwarna krem. Sejanak kami terdiam sebentar, saling melihat sambil tersipu malu setelah tertawa lama bersama.
“Kenapa kita tidak bertemu dari dulu ya?” ucapku kepada Qunut yang sudah mulai menutup bukunya.
Qunut mulai merapikan meja tempat dia membaca, “Hmmmm, kenapa ya?” dia diam sejenak kemudian memecah keheningan, “Eh… tunggu dulu, maksudnya apa ya?” ucapnya seperti orang yang salah tingkah.
“Hmmm…. Kalo temanmu adalah temanku juga, bukankah itu artinya ternyata kita selama ini ada dalam satu lingkaran pertemanan yang sama bukan?” ucapku dengan kalimat yang susah dicerna oleh otak cerdas Qunut.
Qunut hanya tersenyum, “Hmmmm….”. dia langsung berdiri dan merapikan kursinya.
“Ya, kalo memang pertanyaanku tak bisa dijawab.” Aku ikut berdiri dan memasukkan kursi kelorong yang ada dibawah meja. “Kamu sudah makan siang?” tanyaku kepada si gadis.
“Hmmmm… belum sih.” Jawabnya kembali cuek sambil berjalan menuju lemari tempat dia mengambil buku tadi, dengan perlahan dia masukkan kembali bukunya.
“Bagaimana kalo kita keluar.” Ajakku kepadanya hanya untuk sekedar makan keluar.
Qunut langsung kaget dengan ekspresi yang kaku, “Lho?”, kemudian dia tersenyum sejenak sebelum akhirnya dia menuju pintu keluar.
“Iya, aku tau kalo kamu memang bukan tipe anak yang suka makan diluar, jalan-jalan nggak jelas dan bahkan hanya untung menghirup udara segar sebentar di Kambang Iwak?” ucapku kepadanya. “Ayok!” ajakku.
Qunut mengambil tasnya yang ada diloker, “Emangnya kamu pikir sekarang aku mau kemana?” dia melihat kearahku, “Ayok, jangan banyak bicara lagi.”
Melihat dia yang menjadi seperti itu sungguh membuatku bingung, “Lho? Tumben?”
Perempuan itu tak banyak bicara lagi, “Terimakasih.”
“Terimakasih untuk apa?” aku minta kejelasan ucapan Qunut barusan.
“Aku tau ini bukan tempat yang kau sukai, tapi kau mau kesini hanya untuk memasukkan kado tidak karuan ini kedalam tasku. Sedangkan aku terkadang terlalu egois untuk mengerti.” Dia terdiam sejenak, “Terimakasih untuk semuanya, bahkan kau melakukan banyak hal yang tidak kau suka. Dan itu memang terkadang terlihat bodoh bagiku.” Dia berjalan menuju pintu keluar perpustakaan.
Meninggalkan aku yang hanya berdiri karena efek dari perasaan yang tidak karuan dibuatnya. Entah ini pertanya dia menyukaiku ataukah dia merendahkanku. Tapi kata-kata terakhirnya mengajakku untuk melayang, “Hai! Dasar bodoh, ayok kita cepat pergi! Sebelum aku berubah pikiran.”
Yah, pertemuan memang pertemuan. Antara anak bodoh yang hobinya buat onar dengan perempuan kutu buku yang memang selama ini hanya dirumah. Tapi, pertemuan memang pertemuan siapa yang mengira kita bisa bertemu?

Seperti pertemuan pertama saat lomba debat bahasa Arab waktu itu, akan menyisakan sebuah cerita yang memang sangat berarti. Hingga akhirnya disadari atau tidak kamu sadari Qunut, aku mendo’akanmu disetiap Shubuhku.

No comments:

Post a Comment