Perjalanan terkadang akan menyisakan jejak perjalanan yang beragam.
Tergantung bentuk sepatu maupun luas alas penampang sepatumu. Begitulah
hidupmu, kau akan meninggalkan jejak ataupun sesuatu yang entah itu akan dikenang
sesuai dengan apa yang telah kau lakukan selama ini. Tak perduli siapapun kamu,
karena manusia tak dilihat dari cara dia hidup, melainkan dari cara dirinya
meninggalkan dunia ini.
Terkadang aku merasakan
kita memiliki satu kesamaan, masih hidup disiklus yang sama dan terkadang
apakah yang aku pikirkan itu benar?
“Hey, harusnya kamu
sudah ada disini setengah jam yang lalu!” ucap perempuan itu kepada laki-laki
yang sedang menelpon nan jauh disana.
Dulu kau sering
bercerita uring-uringan kepadaku, tentang sesuatu yang memang menimbulkan
sebuah perasaan tak terduga. Tapi siapa yang tau dan bagaimana jika kau yang
membuatku jatuh cinta.
Laki-laki yang sedang
dalam perjalanan di Demang Daun Lebar itu langsung menyela, “Iya, sabar
sebentar ya. Macet dijalan.” Sambil mematikan HP-nya yang sendari tadi ditelpon
oleh seorang perempuan galak yang menunggu di tumpukan buku itu.
Memang terkadang
sedikit menyebalkan ketika dirimu harus tahu bahwa perempuan terkadang lebih
dewasa dari pada laki-laki, bahkan lebih on
time dari pada laki yang selalu oon time.
Di Perpustakaan
Propinsi yang megah itu dia sendirian mencari buku diantara rak buku yang
berjajar rapi dari pintu masuk ke pintu keluar. Bahkan disini kita ditemani
oleh lagu-lagu yang menambah harmoni akan kecintaan kita kepada suasana yang
tenang dan merdu.
Tertatih laki-laki itu
berlari setelah memarkirkan motornya diantara deret motor yang tersusun seperti
di show room.
Aku langsung masuk ke
perpustakaan melepaskan sepatuku, karena lantai disini dilapisi oleh karpet
merah yang tebal. Bahkan sangat nyaman kalo kamu tidur disini. Seandainya
pemerintah bisa memberikan “Kartu Indonesia Sabar” kepada seluruh wanita yang
ada didunia ini, mungkin aku tak perlu lagi berlari terburu-buru seperti ini.
“Haloo Qunut!” ucapku
mengejutkannya dari belakang.
Qunut yang memang
sepertinya tidak terkejut itupun langsung pura-pura terkejut seperti
mengejekku. “Hahaha, mana bisa kamu mengejutkan perempuan!”.
“Kenapa?” tanyaku
penasaran.
“Perempuan memiliki
banyak mata tau, bahkan dia bisa mengetahui apa yang tidak terlihat. Bahkan
hanya bisa merasakan sesuatu yang Cuma bisa dirasa!” ucap Qunut berteori.
Sejenak kami berdua
diam setelah saling membuang senyum. Aku sangat penasaran sekali dengan
perempuan yang ada didepanku ini. Hanya saja, dia tak pernah membuka dirinya
untuk aku ketahui lebih dalam.
Padahal dia adalah perempuan idola banyak kaum Adam disini. Ntah kenapa
dia lebih berat dekat denganku padahal banyak laki-laki yang lalu lalang diluar
sana menanti. Bahkan memperjuangan dengan banyak cara, tapi tak pernah
dihiraukannya.
“Eh… tumben ngajak ketempat yang kayak gini.” Ucap Qunut sambil
mencari-cari buku yang ada didekat rak.
Aku kurang mengerti kenapa perempuan selalu bisa menghabiskan waktunya
dengan membaca, menghabiskan waktunya dengan sesuatu yang menurutku
membosankan. Bahkan mereka sangat marah ketika diganggu membaca.
“Lho, emangnya kenapa?” ucapku yang sedang mengikutinya dari samping.
Qunut mengambil salah satu buku dari raknya, kemudian dia seolah-olah
memberikan pesan tersirat untuk mengikutinya duduk dikursi sambil membuka
bukunya. “Kamu biasanya kan malas membaca?” ucapnya tenang.
Aku hanya tertegun melihatnya berbicara, dia tetap focus membuka
lembaran kertas yang ada ditangannya. “Aku tau ini bukan tempatmu.” Ucapnya singkat.
aku menyela pembicaraannya, “Kamu kenal sama Susi?” ucapku mencoba
mengalihkan pembicaraan yang semakin ngawur ini.
“Kenal, kenapa? Itu kan teman dekatku sewaktu kecil Gus.” Ucap Qunut
bersemangat.
Aku tertawa kecil sambil berkata licik didalam hati, “Akhirnya
pengalihan perhatianku berhasil juga.”
Aku melanjutkan pembicaraan, “Susi kan temen bimbel aku kemarin. Orangnya
asik kok diajak bicara. Apalagi diajak bercanda, pokoknya TOP banget deh.” Ucapku
menceritakan temannya yang ternyata temanku juga.
Akhirnya hari ini kami habiskan dengan bercerita tentang teman-teman
yang ternyata adalah irisan dari teman kami berdua. Jika ternyata temanmu
adalah irisan dari temanku juga, bukankah berarti kita berada diantara
lingkaran pertemanan yang sama bukan?
Tak terasa setengah jam telah berlalu, aku masih menggunakan seragam
kampus begitupun dia menggunakan baju putih dengan rok panjang dan jilbab
panjang berwarna krem. Sejanak kami terdiam sebentar, saling melihat sambil
tersipu malu setelah tertawa lama bersama.
“Kenapa kita tidak bertemu dari dulu ya?” ucapku kepada Qunut yang sudah
mulai menutup bukunya.
Qunut mulai merapikan meja tempat dia membaca, “Hmmmm, kenapa ya?” dia
diam sejenak kemudian memecah keheningan, “Eh… tunggu dulu, maksudnya apa ya?”
ucapnya seperti orang yang salah tingkah.
“Hmmm…. Kalo temanmu adalah temanku juga, bukankah itu artinya ternyata
kita selama ini ada dalam satu lingkaran pertemanan yang sama bukan?” ucapku
dengan kalimat yang susah dicerna oleh otak cerdas Qunut.
Qunut hanya tersenyum, “Hmmmm….”. dia langsung berdiri dan merapikan
kursinya.
“Ya, kalo memang pertanyaanku tak bisa dijawab.” Aku ikut berdiri dan
memasukkan kursi kelorong yang ada dibawah meja. “Kamu sudah makan siang?”
tanyaku kepada si gadis.
“Hmmmm… belum sih.” Jawabnya kembali cuek sambil berjalan menuju lemari
tempat dia mengambil buku tadi, dengan perlahan dia masukkan kembali bukunya.
“Bagaimana kalo kita keluar.” Ajakku kepadanya hanya untuk sekedar makan
keluar.
Qunut langsung kaget dengan ekspresi yang kaku, “Lho?”, kemudian dia
tersenyum sejenak sebelum akhirnya dia menuju pintu keluar.
“Iya, aku tau kalo kamu memang bukan tipe anak yang suka makan diluar,
jalan-jalan nggak jelas dan bahkan hanya untung menghirup udara segar sebentar
di Kambang Iwak?” ucapku kepadanya. “Ayok!” ajakku.
Qunut mengambil tasnya yang ada diloker, “Emangnya kamu pikir sekarang
aku mau kemana?” dia melihat kearahku, “Ayok, jangan banyak bicara lagi.”
Melihat dia yang menjadi seperti itu sungguh membuatku bingung, “Lho? Tumben?”
Perempuan itu tak banyak bicara lagi, “Terimakasih.”
“Terimakasih untuk apa?” aku minta kejelasan ucapan Qunut barusan.
“Aku tau ini bukan tempat yang kau sukai, tapi kau mau kesini hanya
untuk memasukkan kado tidak karuan ini kedalam tasku. Sedangkan aku terkadang
terlalu egois untuk mengerti.” Dia terdiam sejenak, “Terimakasih untuk
semuanya, bahkan kau melakukan banyak hal yang tidak kau suka. Dan itu memang
terkadang terlihat bodoh bagiku.” Dia berjalan menuju pintu keluar
perpustakaan.
Meninggalkan aku yang hanya berdiri karena efek dari perasaan yang tidak
karuan dibuatnya. Entah ini pertanya dia menyukaiku ataukah dia merendahkanku. Tapi
kata-kata terakhirnya mengajakku untuk melayang, “Hai! Dasar bodoh, ayok kita
cepat pergi! Sebelum aku berubah pikiran.”
Yah, pertemuan memang pertemuan. Antara anak bodoh yang hobinya buat
onar dengan perempuan kutu buku yang memang selama ini hanya dirumah. Tapi,
pertemuan memang pertemuan siapa yang mengira kita bisa bertemu?
Seperti pertemuan pertama saat lomba debat bahasa Arab waktu itu, akan
menyisakan sebuah cerita yang memang sangat berarti. Hingga akhirnya disadari
atau tidak kamu sadari Qunut, aku mendo’akanmu disetiap Shubuhku.
No comments:
Post a Comment