Terlalu banyak dongeng yang diceritakan oleh orangtua jaman dulu tentang
sikap kepahlawanan seseorang, ntah itu benar atau tidak. Yang jelas kita
dipaksa mempercayainya, kita dipaksa mendengarkan dan mengagumi mereka tanpa
meniru dan mencontoh mereka.
Bukankah kita bisa menjadi apa yang akan diceritakan oleh
orang lain sebagai inspirasi hidup anak bahkan cucunya bila perlu.
Pagi Kota Bari dengan sayup-sayup udara malam mengundang
ceria.
Aku melakukan banyak hal yang memang dilakukan oleh
mahasiswa pada umumnya. Pergi kuliah, pulang kuliah, kongko-kongko, dan
lain-lain. Tapi, jangan salah! Kuliah nggak segampang kayak di filem-filem
remaja yang kerjaannya Cuma pacaran dan main-main doang. Iya kalo orangtuamu
kaya raya! Kalo orangtuamu biasa-biasa aja sadar bung sebelum terlambat.
Yang jelas, dari kuliah Cuma dua yang bisa buat kita
senang. Pertama saat masuk kuliah dan dinyatakan diterima jadi mahasiswa. Kedua
saat kamu dinyatakan sudah jadi sarjana. Itupun belum dapet kerjaan atau
mendapatkan penghasilan yang layak.
Dulu, memang aku nggak pernah ikut organisasi dan nggak
kenal dengan yang namanya organisasi di kampus. Banyak yang udah ngajak masuk
BEM, DPM atau apalah namanya tapi aku nggak pernah peduli.
Yang jelas aku Cuma ikut Pramuka dan itu juga Cuma buat
asik-asikan aja, nggak ada niat buat mendalaminya lebih jauh. Namanya juga anka
kantin, bukan anak Mushala. Begitulah kiasan yang sering diucapkan oleh
orang-orang.
Tapi kita nggak perlu ribut kamu anak kantin atau anak
mushala kayak ributnya bubur ayam fraksi diaduk sama nggak diaduk. Anehnya, ada
juga orang yang sampe adu jontos hanya gara-gara bubur ayam diaduk atau nggak
diaduk. Inilah perlunya yang namanya “Saling Menghargai”. Nggak perlu ribut
sana sini deh. Apalagi perkara anak kantin atau anak mushala, kenapa nggak
dibuat aja anak mushala yang punya kantin? Atau anak kantin yang punya mushala?
Biar aman coy!
Oke, berhenti dulu marah-marahnya karena tiba-tiba Wardah
menelponku. Jarang-jarang dia nelpon pagi-pagi buta, baru bangun tidur belum
sempat kucek-kucek mata juga di WC.
“Assalamualaikum mas.” Ucapnya lewat telpon yang langsung
membuatku berhenti mengantuk.
“Waalaikumsalam, ada apa Wardah?” tanyaku karena sangat
aneh dia nelpon pagi-pagi kayak mbak-mbak jual lontong buat bangunin pelanggan.
“Nggak ada, Cuma mau bilang aja.” Jawabnya sedikit
berbelit.
“Bilang apa?” tanyaku penasaran.
“Nanti malam jam tujuh, jangan lupa nonton TV ya.”
Ucapnya sambil menyebutkan salah satu stasiun televisi yang ngetop banget.
“Emangnya ada apa?” tanyaku heran.
“Pokoknya nonton aja, harus janji. Assalamualaikum.”
Ucapnya sambil menutup telepon tanpa banyak bicara lagi.
Iya, begitulah perempuan selalu banyak teka teki. Mungkin
itulah sebabnya sampul TTS selalu gambar cewek, mungkin karena perempuan penuh
teka teki.
“Di, boleh aku pinjam buku Kimia Analitiknya?” ucapku
sambil mengambil buku Kimia Analitik yang ada dimeja temanku.
“Ambil aja Gus.” Ucap Sandi yang sedang asiik SMS
pacarnya.
“Sebenarnya apa sih rasanya pacaran? Apa sih manfaatnya?”
tanyaku kepada temanku itu, dia adalah laki-laki yang sangat baik yah terutama
karena dia sering traktir aku makan siang.
“Ya, aku juga nggak tau Gus. Buat asik-asikan aja” begitu
jawabnya singkat dan menurutku memang tidak memberikan jawaban yang aku butuhkan.
Ntah kenapa, perempuan yang begitu tinggi martabatnya
hanya menjadi bahan untuk asik-asikan oleh beberapa orang yang memang
sepertinya tidak menghargai perempuan. Bukankah kita juga dilahirkan oleh
perempuan?
Memang sih, rata-rata kalo aku perhatikan orang-orang
yang pacaran selalu banyak masalah dengan pacarnya. Bahkan tak jarang yang
menyalahkan teman dekatnya hanya gara-gara berkelahi dengan pacarnya. Tapi
tidak dengan Sandi yang dapat menempatkan dirinya.
Seperti biasa aku jalan-jalan bersama Wicak, sahabat
karibku hingga kami disebut homo oleh orang-orang.
“Cak, jangan lupa ya nanti malem kite nonton TiVi.”
Ucapku kepada Wicak.
“Kenapa?” tanyanya dengan nada adek-adek yang main iklan
bikuit.
“Nggak tau juga Cak, Wardah maksa aku nonton TiVi itu
malem ini.” Jawabku kepada Wicak sambil memakan biskuit yang terlantar dimeja.
Malam Hening, bernoktahkan Bulan Purnama bulat indah
berseri.
Aku duduk manis didepan kotak berwarna yang mengeluarkan
sedikit suara itu. Aku membuka chanel yang tadi disuruh oleh Wardah. Oke tepat
aku membuka chanelnya.
Tak ada sesuatu yang menarik disana, aku hanya melihat
seorang kribo yang biasa duduk di sofa untuk membawakan sebuah talk show
mingguan dichanel itu.
Tiba-tiba, aku melihat seorang yang melangkah masuk ke
ruangan talkshow dan duduk disofa bersama kedua temannya. Ha? Bukannya itu
Wardah? Tanyaku dalam hati terkaget-kaget bukan main.
“Jadi apa yang membuat Wardah melakukanini?” tanya sang
pembawa acara.
“Iya, jadi keprihatinan kami membuat kami untuk membangun
sebuah gerakan kemasyarakatan yang bisa membantu mereka meningkatkan kualitas
ekonominya dengan cara memberikan keterampilan. Bukan dengan cara memberikan
barang-barang yang akan membuatnya menjadi manja dan selalu berharap kepada
kita.” Ucap Wardah.
“Kemudian, jika kita lepas. Mereka sudah bisa mandiri
sendiri.” Tambahnya.
Ternyata dia membuat sebuah komunitas yang bertujuan
untuk membangun ekonomi ibu-ibu yang terkena kusta dengan cara mengajarkan mereka
membuat jilbab dan nuget.
Itu sungguh luar biasa, seorang srikandi jaman kini yang
sangat sulit ditemukan disela-sela jerami. Bagaimana bisa Wardah kecil yang
dulunya pernah terpuruk menjadi bangkit sebangkit-bangkitnya seperti sekarang?
Hidup ini kita yang kendalikan, kita yang memiliki dan
memainkan peranan. Mau seperti apa nanti? Kita harus berjuang untuk mendapatkan
dan menghasilkan sesuatu yang terbaik. Jangan terjebak dengan keadaan.
“Kan sudah kau bilang banyak cara untuk berbakti.” Begitu
kata Wardah ketika aku telpon dan menanyakan motivasinya untuk melakukan hal
gila seperti itu.
Yang jelas sekarang aku tak mau kalah denganmu, aku ingin
berjuang sepertimu. Dapat berjalan sejajar maupun didepanmu, tak ingin aku
mengikutimu karena aku bukan penguntit.
Hingga akhirnya aku ingin menjadi manusia yang
benar-benar berbakti. Kau inspirasiku. J