Tuesday, 21 April 2015

UKHTI BELUM TERPECAHKAN


Malam indah di Kota Bari yang tak pernah kunjung mati, menyimpan asa dan cita-cita tengang harapan yang ingin ditempuh didepan. Masa-masa bimbel adalah masa yang sangat krusial untuk dilalui karena disinilah keseriusan kita diuji untuk memasuki suatu perguruan tinggi yang notabene-nya akan mempengaruhi masa depan.
Hari-hari yang telah berdebu, merajut anyaman benang angan yang ingin aku tawarkan ke dirinya. Sejak lama aku tak mengerti, kenapa dirimu masih menjadi misteri untuk diketahui nantinya.
Misteri yang masih belum terpecahkan ini tetap saja membawa kebahagiaan hatiku yang tak bisa terlukiskan walaupun dengan tinta sebatang pelangi. Namun, terkadang cinta itu tidak harus diketahui oleh orang yang bersangkutan, dan tak perlu pula kita mengetahui banyak hal tentang dirinya. Cukup! Optimis untuk memperbaiki dan memantaskan diri agar kamu bisa bersama dirinya.
Sejuta asa yang ingin aku titipkan dan aku bisikkan ke telingamu. Sosok sederhana dirimu membuatku mengiginkan dirimu untuk digengam dan saling memilik.
Tak ingin menambah misteri yang lain selain misteri kehidupan, akupun ingin memecahkan misteri siapa nama si ‘Ukhti’ itu sebenarnya.
Perjalanan pun dimulai saat kami sudah menginjak pulau yang berbeda. Bersebrangan, tidak menyatu satu sama lain dan hanya disatukan oleh samudera yang tidak mengizinkan kita menginjakkan kaki kita diatas pundaknya.
Palembang Kota Bari menghembuskan angin laut di malam hari. Aku duduk sendiri di tepi sungai itu sambil mengenggam HaPe-ku. Terlalu banyak rahasia yang dia sembunyikan, terlalu sedikit ucapan yang dia ucapkan.
Tapi, tak perlulah kalau diamnya dirimu menjadi masalah. Karena kita kenal dalam kesunyian, sedikit sekali suara dan bahasa yang kita lemparkan. Kita berbicara dari hati ke hati. Menikmati indahnya diam ini sambil memikirkan perasaan satu sama lain.
“Kamu kenapa? Setiap ditelpon selalu diam.” Ucapku membujuknya untuk aktif berbicara kepadaku.
“Tidak ada kok, hihihi.” Ucapnya dengan dilanjutkan tawa kecil.
“Ya sudah kalo kamu memang lebih suka diam, silahkan diam. Aku menunggumu menjawab pertanyaanku.” Ujarku dengan sedikit ngambek.
Dia langsung balik bertanya, “Pertanyaan apa?”
“Sudah berapa kali aku tanya siapa namamu hah?” tanyaku kepadanya.
“Lima puluh kali mungkin?” jawabnya.
Iya, nama si’ukhti’ yang selalu meneror hatiku belum terpecahkan. Belum jelas siapa namanya, tapi kami sudah seperti menyatu tanpa mengenal nama. Kenapa dia sangat merahasiakan namanya itu? Apa masalahnya?
Apa karena dia adalah salah satu gembong teroris ternama?
Apa karena dia adalah salah satu pengedar narkoba yang sangat terkenal? Hingga namanya sangat dirahasiakan olehnya?
Atau jangan-jangan dia adalah laki-laki yang berganti kelamin? Hingga namanya lupa diubah dan masih “Yanto, Jono atau Anto”? sehingga dia malu kalo aku tahu bahwa sesungguhnya dia adalah laki-laki.
Kenapa kau selalu diam? Itu pertanyaanku. Kenapa tawa kecilmu itu sangat menjengkelkan? Kenapa kau tak mau memberi tahu namamu siapa?
Tapi, bukankah dibalik diam ini memiliki seribu arti yang tak bisa diprediksi. Sangat sulit diprediksi karena kau tak memberikan satu kisi-kisi atau hint sedikitpun kepadaku.
Aku akan tetap memecahkannya walaupun harus menebak seribu kali, bahkan jika otakku tak mungkin lagi bisa berfikir tentang kemungkinan namamu.
Tak tahu apa yang sedang kau lakukan di Solo sana, kau bimbel disana memberikan aku sedikit kekhawatiran akan apa yang sedang kamu lakukan? Bersama siapa dirimu? Dan ah entahlah tak perlu aku bahas lagi. Yang jelas sekarang kau sedang bertelponan denganku dibawah rembulan yang memantulkan cahayanya.
Siang Bolong, Terik Kota
Aku berjalan dengan cepat karena tak kuat menahan panas yang menjatuhkan cahayanya keleherku. Begitu menyengat sekali hingga aku tak mampu menahannya. Tiba-tiba HandPhoneku berdering, langsung aku angkat dengan sigapnya.
“Assalamualaikum.” Ucapku memberikan salam.
“Wa’alaikumsalam.” Balasnya salamku.
Kemudian dia bercerita panjang lebar tentang masalah yang sedang dia hadapi. Tentang dia yang pengen menjadi dokter anak tapi hasil dari Try Out SNMPTN-nya tidak memungkinkan dia untuk dapat menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran alias nggak sampe grade-nya.
Dia menanggis ditelpon sambil berbicara, “Aku takkut nggak lulus FK nanti.”
Aku menjawab dengan tenang dan mencoba untuk menenangkannya, “Kamu santai ajalah, jangan sampai sedih hanya gara-gara nggak lulus FK nanti. Kan rejeki itu udah diatur sama Allah, kalo kamu nggak lulus itu artinya Allah sudah menyiapkan jalan yang lebih baik untukmu.” Ucapku.
“Tapi aku memang ingin sekolah FK, Gus.” Ucapnya kepadaku.
“Tapi jika Allah berkehendak lain kamu mau bilang apa? Mau melawan kehendak-Nya?” tanyaku balik sok religius.
Dia terdiam sejenak tak menjawab pertanyaanku yang memang tak perlu dijawab.
“Allah Maha Tahu apa yang kita butuhkan. Jangan terlalu egois dengan keputusan Allah nanti, trima dengan syukur tetapi tetap berjuang dari sekarang agar kau tetap dapat masuk ke FK nanti.” Celotehku panjang.
Suara tangisnya sudah mulai hilang, Baguslah fikirku. Dan sepertinya doktrinku sudah masuk ke kepalanya.
Aku melanjutkan celotekanku kembali, “Dan terkadang kita harus paham bahwa apa yang kita inginkan belum tentu menjadi apa yang kita butuhkan.”
Dia hanya terdiam, dan sesekali bersuara, “Tapi kan aku mau jadi dokter biar bisa menolong banyak orang, biar bisa membantu sesama.” Ucapnya keras.
“Emangnya harus jadi dokter?” tanyaku seakan-akan menyudutkannya.
Nampaknya tiada yang perlu kita takutkan lagi tentang kehidupan didunia ini. Karena Allah telah mengaturnya secara rinci dan detail, kita manusia hanya tingga menjalani step by step kehidupan dengan indah dan menikmatinya dengan Syukur.
Banyak jalan menuju Roma, banyak jalan pula untuk mengabdikan dirimu ke masyarakat. Banyak jalan pula untuk menjadi manusia yang berguna. Cara untuk membantu dan menolong orang lain bukan hanya satu. Untuk menolong dan membantu orang lain, anda bisa menjadi apapun bahkan menjadi badut dengan cara menghibur dunia agar tidak ada lagi peprangan, bukankah itu baik?
Menajdi guru dan mengajari banyak orang hingga mereka kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarkat. Bukankah itu baik?
Nampaknya tiada lagi yang perlu kita diresahkan, untuk apa kita gelisah? Lebih baik kita syukuri dan nikmati secara bersama dengan dikhayati bersama selamanya. Untuk itu aku harap kau mengerti “Wardah”. :)
:)

No comments:

Post a Comment