Tuesday, 25 December 2012

AKU AKAN KE SRAGEN


“Horeee, akhirnya aku masuk final.” Teriakku didalam kelas petak yang sepi. Langsung teman-temanku banyak yang terbangun dari tidurnya, maklum jika nggak ada guru kebanyakan dari kami tidur di dalam kelas.
            Herpi yang terbangun dari tidurnya langsung bertanya kepadaku, “Wahai Agus yang sedang senang, ada apa gerangan. Final apakah yang Agus ikuti?” dengan nada lebainya
            “Nggak ah Pi, kemaren aku ngirim karya ke UNS. Karyaku masuk final Pi.” Teriakku, sambil menuju kantor untuk membuat dispensasi. Dikarenakan aku akan pergi ke Solo besok.
            Banyak orang yang bertanya-tanya. Mereka bingung kenapa aku sangat senang dan girang, karena biasanya jika aku pergi-pergi ke level nasional biasa-biasa aja, nggak senang dan segirang ini. Hingga salah satu temanku bertanya kepadaku yang sedang membawa surat dispensasi.
            “Gus, kenapa kau senang sekali ikut final lomba itu? Kan Cuma ke Solo.” Ujar Wahyu sambil melihat surat dispensasi yang ada ditanganku.
            Aku langsung memasukkan surat dispensasi kedalam tasku. Aku langsung diam sejenak menenangkan diri. Menarik nafas sambil melihat ke arah luar jendela. “Aku bukan senang dengan pergi ke Solonya Yu. Aku senang, nanti aku bisa ke Rumah Sakit Kariyadi untuk melihatnya, dan bertemu dengannya lagi. Kemaren nggak sempet ketemu Yu, dia keburu pergi.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut aku langsung pergi ke asrama untuk membereskan pakaian lalu memasukkannya kedalam tas eiger milikku.
            Seperti biasa aku menunggu di ruang keberangkatan Bandara Depatiamir Kota Pangkalpinang. Akhirnya pesawat Sriwijaya Air yang akan aku tumpangi datang juga, semua penumpang langsung masuk kepesawat. Aku baru tahu kalau nggak ada pesawat yang langsung ke Solo. Aku harus transit dahulu ke Soekarno Hatta, barulah langsung meluncur ke Bandara Adi Soemarmo Solo.
            Aku langsung dijemput oleh kakak-kakak yang berasal dari UNS. Suasana klasik Kota Solo yang sangat menghormati buadaya aslinya. Aku langsung digiring kesebuah wisma yang letaknya tak jauh dari UNS. Didalam wisma itu aku bersama dengan beberapa peserta lainnya, ada yang dari Jakarta, Manado, Palembang, Medan dan Bogor. Aku langsung berbaring sejenak dikamarku, aku membayangkan sebentar lagi aku bisa bertemu dengan Intan. “Bagaimana ya kabarnya sekarang? Aku jadi penasaran.” Lamunanku langsung dikacaukan oleh seorang yang kurus ceking, seingatku namanya Petrik, ya dia Petrik seorang pria yang kayak homo berasal dari manado. Ya, mungkin anda bisa membayangkannya seperti Mongol Standup Comedy.
            “Kok kita senyum-senyum sendiri dari tadi?” anak kurus ceking itu langsung mengalihkan permasalahan, setelah dia tusuk pantatku dengan sebatang pena tadi.
            Sambil memegang pantat yang kesakitan aku langsung menjawab perkataannya, “Kita senyum? Kalo aku senyum karena ada deh. Mau tau aja kamu.” Seruku.
            Dia langsung tersenyum kepadaku, “Kita dari mana bang? Saya dari Manado.” Sambil mengajakku berjabat tangan.
            Aku langsung menggaruk kepalaku sambil tersenyum, “Kita? Bukannya kita baru kenal. Kok nanya kita dari mana.” Aku langsung bingung kenapa dia bilang “kita”.
            “Kita itu artinya, kamu bang. Jadi kamu dari mana?” jelasnya kepadaku sambil tertawa terbahak-bahak.
            “Aku dari Bangka, kamu dari Manado? Jauh kali ya.” Aku terkagum melihat orang jauh ini. terlihat dari matanya cerminan orang pintar.
            Setelah mengakhiri percakapan konyol kami, makan malam pun dimulai. Kami langsung keruang pertemuan untuk memulai menyantap makan malam yang telah disediakan. Aku dan Petrik langsung mengambil makanan yang dihidangkan secara prasmanan. Suasana ruangan yang mewah, dihadiri para tamu undangan. Termasuk Rektor UNS saat itu, setelah habis menyantap makan malam. Kami kembali ke meja prasmanan dan mengambil makanan lagi untuk yang kedua kalinya. Ya, memang kami berdua memiliki jiwa yang sama.
            Kami melalui lorong terang yang disana terbentang karpet merah, kami langsung pergi ke kamar tanpa mendengarkan pengarahan dari Rektor UNS yang sedang memberikan pengarahan.
            Sambil berjalan dan membuka pintu kamar wisma, Petrik langsung bicara kepadaku, “Kamu kok langsung masuk ke kamar Gus?”
            Aku langsung tersenyum dan menjawab pertanyaannya dengan kalimat yang simpel. “Sampean kenapa masuk?” serentak kami berdua langsung tertawa sambil berguling-guling di kamar.
            Ruang redup yang luas, dihadiri oleh ratusan penonton, tiga dewan juri dan penanya. Akhirnya hari ini kami berkumpul di aula untuk mempresentasikan hasil penelitian kami. Aku mendapatkan nomor urut dua, ya sesuai dengan nomor kesayanganku. Akhirnya waktuku maju telah tiba, aku mempresentasikan tentang nasib anak penambang timah yang ada di Bangka. Waktu yang diberikan kepadaku hanyalah sedikit, cuma limabelas menit karena masih banyak peserta yang ngantri.
            Setelah selesai membacakan sebanyak lima puluh tiga slide selama duabelas menit. Aku langsung dihujani pertanyaan oleh para penguji yag notaben adalah Profesor dan ahli atau pakar.
            Pertanyaan pertama yang sangat membuatku terdiam sejenak adalah, “Kenapa anda memilih dan tertarik untuk judul ini?” sang penguji langsung bertanya.
            Aku terdiam, menarik nafas dan berkata, “Karena, dulu waktu sekolah saya adalah anak nakal, dan banyak berteman dengan orang-orang yang seperti ini.” begitulah dengan singkatnya aku menjawab.
            Setelah beberapa pertanyaan dilontarkan bertubi-tubi kepadaku. Giliranku selesai dan sekarang adalah giliran Petrik yang maju kehadapan penonton. Ternyata judul yang dia ajukan lebih aneh dari pada judul yang aku ajukan, “Belajar Fisika Lebih Menyenangkan” begitulah judul yang dia ajukan ke UNS. Beberapa menit berlalu, dia langsung dihujani pertanyaan oleh penguji.
            Salah satu Profesor yang ada disana langsung mengambil kaca matanya dan akan mulai membunuh Petrik, “Ya dek, saya lupa bawa buku. Jadi pertanyaan saya mudah, anda bisa membuat persamaan benda jatuh dengan ditahan oleh papan yang bengkok kearah kiri dan kanan dengan sudut enam puluh derajat? dan hukum apa yang digunakan?” setelah bertanya bapak itu tiba-tiba tertawa.
            Mungkin karena bingung atau kenapa, Petrik langsung terdiam memasang wajah pucat dan mulai menjawab. “Maaf pak, saya kurang mengerti fisika.” Sambil tersenyum kecil dan memegang belakang lehernya.
            Bapak itu sepertinya mau marah, “Judul kamu kan Fisika mudah, kenapa kamu sendiri kurang mengerti fisika? Bagaimana kamu ini.” cercanya.
            Setelah tampil kami berdua langsung pergi jalan-jalan keluar, aku langsung mencari tahu dimana letak Rumah Sakit Kariyadi. Aku langsung bertanya dengan orang sekitar. Ternyata tak jauh juga dari sini.
            Sambil berjalan keliling Petrik berkata, “Gus, kamu mau kemana sih?” sepertinya Petrik mulai kelelahan karena mengikutiku.
            “Aku nyari Rumah Sakit Kariyadi, katanya disekitar sini.” Ujarku sambil meneruskan perjalanan kami.
            Dia sepertinya bingung dan bertanya lagi kepadaku, “Nyari siapa disana Gus? Kerjaanmu aneh-aneh sekali Gus.”
            “Mencari seseorang.” Aku langsung tersenyum dan melihat kearahnya. “Kau tak akan mengerti, karena kau belum tahu masalahnya.” Aku langsung merangkulnya dijalanan yang ramai sekali dengan pedagang yang menjajakan dagangannya.
            Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam dengan jalan kaki, kami langsung mencari mobil bus menuju ke arah Rumah Sakit tersebut. Aku langsung masuk dan mencari kursi yang enak buat kami istirahat. Beberapa saat diperjalanan kami langsung mencari bejak, tanpa bertanya dan nego harga lagi kami langsung naik dan menuju Rumah Sakit Kariadi.
            Aku langsung menuju ke resepsionis dan bertanya, belum mendapatkan jawaban dari resepsionis aku belum puas. Aku tetap mencari dimana dirinya bertanya kepada perawat lalu keliling Rumah Sakit. Tapi hasil yang aku dapatkan nihil. Didalam hiruk pikuk sarana medis ini aku hampir saja putus asa. Aku langsung duduk dikursi tunggu sambil menunduk karena putus asa.
            Petrik langsung memegang pundakku dan berkata dengan bijaknya, “Aku mengerti sekarang, bagimu dia seorang yang berharga ya.” Sambil melihat kearah wajahku, “Tegakkan kepalamu, aku akan bantu mencari. Coba hubungi dirinya, bisa kan?”
            Aku langsung tersadar dengan ucapannya, aku langsung menegakkan kepalaku dan mengambil handphoneku. Aku langsung menelpon nomor HP-nya, “Kenapa nggak diangkat.” Desah susahku dalam hati, diantara keramaian aktivitas rumah sakit.
            Sudah sepuluh kali aku menelpon, tapi nggak diangkat juga olehnya. Aku bingung, aku langsung menelpon Ibunya, meminta keterangan dimana sekaang dia berada. Ternyata sekarang dia tidak dirumah sakit lagi, dia sekarang ada di Solo.
            “Dispensasiku tinggal dua hari lagi, ya wajarlah kan hanya untuk ikut kegiatan ini saja. Nggak untuk jalan-jalan.” Ungkapku kepada Petrik.
            Petrik langsung memotivasiku, “Aku juga Gus, tapi yang jelas kita harus menemukannya dulu.”  Petrik langsung mulai menarik tanganku agar bergegas kembali ke Solo. Kami langsung naik bus lagi untuk kembali ke Solo.
            Perjalanan Solo Semarang yang sangat melelahkan hari ini, ditengah bisingnya suasana kota klasik itu kami bergegas berlari menuju ke alamat yang diberikan oleh ibu Intan. Akhirnya kami memintabantuan kepada teman kami salah satu peserta yang berasal dari Solo.
            Aku langsung menunjukkan sebuah alamat kepadanya, “Tolong antarkan aku kealamat ini, tolong banget ya. Kamu tahu kan?” sepertinya aku agak memaksanya untuk membantuku, karena perasaanku sudah agak panik.
            Akhirnya laki-laki itu iba kepadaku, “Baiklah, ayo kita cari. Nanti ya, kita cari angkot dulu.” Ucap Dimas yang sudah siap membantuku. Dimas langsung mengajakku naik angkot yang ada diterminal. Kami langsung mencari dimana alamatnya, Jalan Asoka.
            Hilir mudik, sekarang matahari sudah mulai bersembunyi. Tik... tik..., kami langsung berlari mencari tempat teduh di Alun-alun Kota Solo karena air yang keroyokan udah turun dari langit.
            Aku langsung mengambil HP-ku untuk mengirimkan pesan singkat kepada Intan, sambil menoleh kearah Dimas aku berkata, “Kira-kira masih jauh Dim?” tanyaku kepada Dimas yang sedang membersihkan bajunya dari percikan air hujan.
            Dia langsung melihat dan menunjuk kearah utara dengan jari jempolnya, “Saya rasa disana lalu belok kanan.” Dengan bahasa yang medoknya.
            Petrik pun mulai berkata ngawur, “Ayo sekarang kita kesana, sebentar lagi akan gelap ni.” Sambil berlari kearah utara. Kami melihat Petrik yang berlari hanya bisa terdiam sejenak karena bingung, lalu berlari mengikuti Petrik yang sedang melawan hujan.
            Kami terus berlari kearah Utara. “Belok kanan, ayo ikuti aku.” Ajak Dimas yang ada didepan sambil memimpin kami berlari. “Asoka 7B. Ini tempatnya.” Dimas langsung menunjuk sebuah rumah yang ada disana.
            “Assalamualaikum, assalamualaikum.” Aku langsung memencet bel  rumahnya. Aku menunggu, dan “Tap!” bunyi knock pintu rumahnya, seperti sudah dibuka oleh seseorang berjilbab lebar, gemuk dan tingginya hampir sebahuku.
            “Intan? Benar?” aku memastikannya, karena delapan bulan sudah kami tak bertemu, ternyata membuatnya telah jauh berbeda. Dia sakit selama delapan bulan, sempat koma selama dua bulan. Dia diam sejenak, memasang wajah bingung sambil berkata, “Iya, kamu siapa ya? Mau cari siapa?” dia balik bertanya dengan nada datar dan dingin.
            “Aku Agus, tau nggak? Temenmu dulu dari SMP. Kita dulu deket lho Tan, sering main sama-sama dan jalan sama-sama.” Aku coba meyakinkan, aku bingung kenapa dia tiba-tiba bisa lupa denganku. “Apakah dia hanya main-main.” Tanyaku dalam hati.
            “Aku nggak kenal siapa kamu. Sungguh! Aku nggak kenal.” Sepertinya dia sudah mulai ketakutan, karena nada bertanyaku tadi seperti memaksa. Aku langsung menjadi agak panik dan kesal, aku langsung memgang bahunya sambil mengoncang tubuhnya, “Hey, aku Agus, temen dekatmu. Kita dulu kesekolah sama-sama, pulang sama-sama. Kita dulu main sama-sama. Kamu dulu nganterin aku ke asrama, jalan bersama ... bla.... bla... bla...” rentetan kata-kataku yang panjang dengan nada kasar sambil mengoncang badannya.
Tapi dia hanya diam, tak membalas kalimat rentetan yang panjang dariku, “Dan aku menyayangimu, aku berjuang sampai sekarang untuk bertemu denganmu, untuk melihat wajahmu, kenapa? Apa sekarang kau sudah lupa denganku? Kenapa?” banyak kalimat tanya yang keluar dari mulutku untuknya. Tiba-tiba air mataku menetes satu persatu.
Tiba-tiba Intan langsung memasang wajah marah dan berteriak, “Mbah, tolong ada orang aneh menganggu Intan. Mbah tolong!” setelah dia berteriak, datanglah sosok wanita tua akan keluar rumah. Setelah melihat wanita tua itu kami langsung berlari mejauh karena takut dikira orang jahat. Aku berlari sambil meneteskan air mataku, melewati alun-alun kota.
Setelah dua hari berlalu aku langsung pulang keasrama. Aku mengambil sebuah album usang yang berisikan foto-foto ketika aku dan dia ketika masih berseragam putih biru. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi dengannya sekarang. “Apakah dia pura-pura ataukah memang begitu?”
Aku punya ide untuk bertanya kepada ibunya dirumah, aku langsung menelpon kendati apa yang sedang terjadi pada buah hatinya itu. Setelah berbincang selama setengah jam, aku baru tahu kalo waktu MOS SMA dia terjatuh dan kepalanya terbentur. Memang awalnya tidak berdampak apa-apa. Hingga akhirnya dua bulan kemudian dia terkena sebuah penyakit yang menyebabkan pembuluh darah diotaknya pecah, hingga membuat dia koma selama dua bulan di RS Kariyadi.
Setelah beberapa bulan dari koma dia mengalami Transiet Global Amnesia, yaitu kehilangan ingatan sementara. Dia seharusnya sudah kelas dua sama sepertiku, tapi sekarang dia mengulang dari kelas satu SMA kembali, dikarenakan dia sudah lebih dari delapan bulan tidak masuk sekolah karena sakit. Akhirnya dia dipindahkan di sebuah sekolah negeri yang ada di Surakarta.
Setelah mengetahui hal tersebut aku langsung searching di mas google tentang cara pengobatan amnesia sementara tadi, ternaya salah satu cara membuat dia bisa kembali mengingat adalah membuat pola ingatannya kembali. Aku mengambil album kenangan kami yang sepertinya sudah tampak usang, aku berniat untuk mengirimkannya kepada Intan, agar dia bisa mengingatku kembali.
Aku hanya bisa berharap, Semoga album klasik yang tersisa diantara kami berdua dapat mengingatkan dia akan kenangan klasik yang dulu telah kami lalui. Aku hanya bisa berharap sambil meneteskan air mata sambil memasukkan surat dan album kedalam amplop buram.
Mozaik-mozaik hati itu akan membuat sebuah kekuatan yang hampir serupa dengan keajaiban yang tiada tara, bahka akal sehat dan logikamu tak akan mampu menjangkaunya.
****

Friday, 30 November 2012

KISAH KLASIK MOZAIK CINTA


Saat aku harus pergi kesini dan kau pergi ke kairo...
banyak hal yang ingin kukatakan, aku ingin lebih lama bertemu denganmu.
jam 13.40, aku berlari terus dan berlari menuju ke perpustakaan propinsi, aku dan kami terburu-buru karena jam 15.00 kau akan pergi ke bandara untuk ke kairo, dan aku pun akan pergi kepelabuhan jam 15.00 untuk berangkat. setellah bertemu diperpustakaan kita pergi ke kambang iwak, taukah saat itu kita berbicara berdua, berbincang mengenai hidup kita. aku dan kamu hanya baru kenal bebeapa bulan, tapi kita sudah dekat sekali.
Mungkin perpisahan yang sementara inilah yang akan menjadi peluntur dosa kita yang saling mencintai. mungkin memang Allah yang berkehendak kita terpisah jauh, tanpa bisa berkomunikasi. Aku akan memantaskan diriku untukmu, karena dirimu adalah wanita yang sangat beriman dan berilmu, dan akupun harus seperti itu.
Jam menunjukkan 14.12 WIB, kita masih asik berbicara, ngobrol masalah hidup dan masa depan. kita masih sempatnya bercanda untuk yang terakhir kalinya, aku masih ingat beberapa bulan yang lalu. tak taukah aku merindukanmu? tapi kau belum halal bagiku, tak mungkin aku menyebutkan kata "Kangen" untuk org yang bukan mahramku, aku hanya bisa melampiaskannya kepada Tuhanku dalam tahajudku. "Allah pertemukanlah kami lagi" doaku dalam shalat sambil meneteskan air mata. pada 14.30 kita masih bercanda, makan-makan dan selalu tertawa.
"Aku mau kebandara." ucap dirimu, "Aku juga mau kepelabuhan" aku ikut menjawab. kita sama-sama akan berangkat ke tempat jihad kita masing-masing. aku ingin waktu menjadi berjalan lambat, aku ingin kita lebih lama berdua. Aku tak sanggup untuk pergi sekarang.
Aku sekarang menanti sendiri setiap bulan febuari, karena kesempatanku hanya febuari untuk bertemu denganmu. Lama sekali ya bulan febuari. hanya Al-quran kecil yang kau tinggalkan kepadaku. "Jadi hafiz ya, jadilah dirimu sendiri, tetap menjadi orang yang berani. karena belum pernah kulihat org seberanimu. tetaplah jadi mutiara didalam lumpur" pesannya kepadaku.  "Kau pun jadilah hafizah, jangan lupa makan ya." Aku berucap seperti itu sambil memberikan satu al-quran juga. Hari itu memang Indah, tapi mungkin aku tak mau kesurga sendirian, dan kaupun begitu. Ku harap kita bisa kesurga bedua.
Sekarang kita hanya bisa saling berkirim surat, dari photo yang kau kirimkn sekarang kepadamu, dari surat yang sekarang kukirimkan padamu...
15.00 WIB aku berangkat kepelabuhan dan kau langsung menuju bandara untuk kekairo. Kita berpisah, dari awalnya kita tertawa, hingga sekarang kita menanggis karena perpisahan ini. pertemuan terakhir kita, walau indah untuk dilupakan, tapi terlalu pahit untuk dikenang...
Kebersamaan kita bukanlah tentang raga, tapi tentang mozaik-mozaik kecil yang tersusun rapi didalam hati. :)
semoga kisah ini bukan hanya mjd kisah usang klasik album kita dan akan merubah paradigma klasik kisah cinta yang ada. 
Menjadi kisah Klasik pelengkap Romeo juliet, Qais-laila, Taj mahal, Loro jograng dll. kisah aku dan kamu.
aku merindui wajahmu yang bulat dan badanmu yang kayak beruang. hahahaha
Cinta kita berhijabkan Samudera Hindia. Antara Kairo Afrika dan Sumatera

Wednesday, 21 November 2012

Bertajuk Mimpi


Sekolah begitu sepi hari ini, yah ini hari minggu. Aku datang kesekolah dengan terburu-buru. Membawa banyak buku dengan judul FIM (Fisika Itu Menyenangkan), kumpulan soal-soal olimpiade, dan banyak buku lainnya.
“Aduhhhh... badanku rasanya capek sekali, kepalaku pusing tau ngak? Kenapa tiap hari harus begini? Bimbingan terus bimbingan terus.” Keluhku, aku merasa tak kuat lagi jika tiap hari harus begini. “Iya, gus. Olimpiade udah didepan mata tau ngak? Kalo menang kan kamu juga yang bangga, bisa gagah-gagahan didepan Intan.” Ucap Maulidya. “Iya juga ya Gink.” Aku sudah mulai semangat sekali. Entah kenapa, setelah mendengar namanya disebut oleh Maulidya, semua derita yang aku alami hilang semua (alah lebay lo). Aku berusaha untuk kembali fokus, karena yang ada difikiranku bagaimana membuat Intan bangga terhadapku. “Gink, kira-kira aku bisa menang ngak? Gimana kalo ternyata nanti aku kalah? Aku takut.” Dengan nada banci aku mengatakan itu kepada Maulidya. “Ya, menang kalah itu urusan biasa Gus, jangan takutlah. Yang penting kita semangat dan sportif.” Maulidya memberiku ceramah sekaligus motivasi.
            Besok akan dimulai perlombaan, tapi aku sudah santai dan tidak lagi mau belajar. Pada hari itu, aku hanya berbaring didekat ruang tamu. Menemani ayahku yang sedang mengetik tugas Tesisnya. Aku bertanya pada ayahku, “Ayah, kenapa ayah tidak pernah bosan berteman dengan rumus fisika?” Ayahku adalah seorang insinyur jembatan senior. Beliau sangat tekun dalam mempelajari banyak hal, bahkan setiap aku memiliki game baru dia berusaha untuk menamatkan game tersebut. “Kenapa ya? Karena hobi ayah mungkin.” Ayahku menjawabnya dengan pandangan keatas seperti agak mikir. “Kalo hobi kenapa ayah?” Agak bingung mendengar jawaban ayah. “Kalau Hobi, kamu pasti akan menekuni dan menyenanginya. Sama seperti ayah, menekuni dan menyenangi pekerjaan ayah.” Setelah mendengar pencerahan dari ayah aku menjadi semangat kembali. “Ayah, besok kan aku mau lomba. Bagaimana caranya agar aku bisa sukses dalam lomba itu yah?” aku merangkak mendekati ayah. “Cari aja motivasimu, apa alasanmu untuk menang? Kau harus punya. Itu akan menjadi pemicu perjuanganmu nak.” Sambil memukul bahuku dan tersenyum. “mengerti?” Ayahku meyakinkanku. “Mengerti ayah. Doakan aku ya, aku mau tidur.” Sambil tersenyum dan mengacungkan jempol.
            Kukuruyuk, bunyi ayam jantan yang sedang memecah keheningan subuh. Aku memulai shalat subuh dan sedikit membaca. “Aku harus menang.” Gumamku dalam hati. Akhirnya hari pesakitan tiba, kami berkumpul di SMP 2 Sungailiat untuk mengikuti Olimpiade Sains Kabupaten. Aku sangat terkejut dan gugup saat kulihat pemandangan disana penuh dengan siswa berpakaian baju putih biru yang sedang membaca buku fisika. “Gawat ni, kalau sainganku rajin-rajin seperti ini, aku bisa kalah.” Sambil bergumam dalam hati aku melihat kekiri kananku. “Gink, aku gugup. Aku gak belajar semalam.” Sambil tertawa Maulidya menjawab “Kau kira aku belajar? Aku asik main game semalam.” Tiba-tiba datang seorang wanita melambaikan tangannya “Agus, Gink. Ternyata kalian disini. Aku cari kesana kesini muter muter, ternyata kalian disini. Mana Bu Novi?” Tanya Mega sambil menarik nafas panjang. “Ibu Novi lagi brifing di ruang pembimbing.” Serempak aku dan maulidya menjawab. “Ibu Eli dimana Gus?” Tanya Mega lagi. “Yah mau gimana lagi Ibu Eli sibuk, Ibu Siti sibuk, Cuma Ibu Novi yang bisa bimbing kita disini. Gak asik ni, kalo ada Bu Eli kan aku bisa belajar fisika dan bertanya-tanya.” Jawabku sedikit bete. “Ya udah sabar, semoga ada sisi baiknya.” Cletuk Mega dengan gaya sok dewasanya.
            Kriiing.... kriiing... bunyi bel tanda masuk ruangan pun berbunyi. “Agus masuk ke ruang F disitu peserta Fisika, Maulidya di ruang A disitu Biologi kalo Mega keruang G untuk matematika. Cari teman kalian, isi jawaban dengan benar ya. Yang jelas jangan ceroboh, harus teliti, jangan keluar cepat dan jangan buat gaduh terutama Agus.” Bu Novi memberi pengarahan sambil menunjukku. Maulidya dan Mega langsung melihat dan memukul pundakku, sambil berkata “Dengerin tuh.” Setelah mendapatkan pengarahan kami menuju ruangan kelas masing-masing untuk mengikuti lomba. “Seperti biasa, tiga jam untuk lima soal. Kalo sudah selesai silahkan dikumpulkan, tidak ada saling mencontek.” Semua mulai terdiam dan mengisi biodata peserta. “Silahkan Dimulai!” tegas panitia olimpiade. Waduh, aku sepertinya kebingungan mengerjakan lima soal ini. Selama diruangan aku melihat banyak kecurangan. “Bagaimana ini, mereka semua banyak yang saling kerjasama.” Mentalku agak kendor akibat melihat dua orang dari SMP unggulan itu kerja sama menyelesaikan soal. Akhirnya baru satu jam waktu berjalan, aku langsung berdiri dan mengumpulkan lembar jawabanku. Disinilah pilihan antara “Menang” dan “Kalah Terhormat”. Dari pada aku menang dengan cara yang tidak benar lebih baik aku kalah terhormat, pikirku dalam hati.
            Akhirnya aku keluar ruangan dan bertemu Ibu Novi. “Agus, kok udah keluar baru satu jam kan?” sambil mengeluarkan air mata tanda putus asa. “Iya bu, Agus ngak tau lagi. Mau gimana lagi bu?” Dengan wajah tanpa dosa aku berkata seperti itu. “Ya udah, namanya juga udah terlanjur. Mau gimana lagi ya!” Dengan wajah agak kecewa Ibu Novi tersenyum sinis. Akhirnya tiga jam berlalu, semua peserta olimpiade keluar dari ruangan. “Gus, gimana tadi?” Tanya Mega kepadaku. “Hmm, ya gitulah Meg. Kamu Gimana? Mana Gink?” Aku agak tertawa menjawab pertanyaannya. “Aku, kayak gitulah. Bingung soal matematikanya susah. Gink itu, lagi muntah-muntah abis ngerjain soal biologi tadi.” Jawab Mega dengan agak tertawa. “Lho, kok Gink muntah-muntah?” Sambil menahan tawa aku menunjuk kearah Maulidya. “Iya nih, mabok didalam ruangan tadi, soal ujiannya buat puyeng ni.” Jawab Gink menahan muntah. Setalah bercanda bersama kami pulang kerumah masing-masing membawa uang saku yang diberikan oleh Dinas Pendidikan.
            Keesokan paginya aku sangat senang, hari ini hari libur. Setelah dua tahun di SMP tak terasa sekarang sudah libur untuk kenaikan kelas tiga SMP. Aku sudah beranjak lebih dewasa, di hari libur yang indah ini aku punya rencana jalan-jalan dengan Intan. “Intan, jadi jalan-jalan ke pantai hari ini?” SMS ku ke Intan. “Oke, tapi aku bantu ibu dulu ya. Jam sembilan kita berangkat.” Balas Intan dengan SMS.
            Hari ini hujannya lebat, aku selalu berdoa didalam hati. “Ya Allah, redakanlah hujan ini. Hambamu pengen jalan-jalan dengan Intan.” Walaupun doaku agak tidak bener, tapi selalu ku ulangi. Aku sangat berharap hujan hari ini reda. Harap-harap cemas aku mondar mandir di teras rumah dengan penuh harapan. Tak terasa, sudah jam sembilan tapi hujan belum reda juga, “Ada apa ini? Apakah doaku tidak terkabulkan?” Aku jengkel sekali dan berbicara sendiri dalam hatiku. Tiba-tiba, hujan reda dan aku mulai bersiap-siap untuk meluncur kerumah Intan dengan SupraX milik kakakku. “Assalamualaikum.” Dengan gembira dan semangat aku mengetuk pintu rumah Intan. “Iya Agus tunggu. Ayo kita pergi sekarang.” Dengan wajah ceria dia naik ke motorku.
Pertama-tama perjalanan kami ke perpustakaan daerah. Kami membuat kegaduhan disana karena suara kami terlalu besar, akhirnya kami keluar dari sana karena sepertinya petugas perpustakaan sudah mau ngusir kami. Dijalan ke pantai kami bersanda gurau dan bercerita tentang pengalaman kami selama dikampung halaman dulu. Hingga sampai diperempatan lampu merah, “Oh, iya kamu gak pakai helm Tan.” Aku lupa membawa helm satu lagi untuk Intan, diperempatan jalan itu sedang ada polisi lalu lintas yang udah siap menangkap. “Sekarang, kamu turun aja. Jalan kaki sampai ke sana, ntar kita ketemu lagi disana. Oke.” Sambil mengacungkan jempol. “Oke!” jawab Intan percaya diri. Setelah beberapa menit kami pun bertemu lagi ditempat yang kami janjikan tadi.
Waktu tak terasa berlalu, jam telah menunjukkan angka sebelas kurang. Kami telah sampai dipantai. Setelah memarkirkan motorku, kami berlari ketepi pantai, membuat istana pasir. Sepertinya awan sudah mulai mendung, cumolonimbus sudah mulai hilang dari pantai. “Kayaknya mau hujan Tan.” Aku mengingatkan. “Tunggu dulu, ada yang belum selesai ni.” Intan menegaskan. “Apa ya?” dengan wajah bingung aku bertanya padanya. “Tara, ini yang udah selesai.” Ternyata Intan menuliskan nama “Intan” dan “Agus”. Tak lama kemudian ombakpun datang seakan-akan menghapus nama yang telah kami buat ditepi pantai.
            Tik... tik.. tik... gerimis tajam kembali menggangu kebersamaan kami di pantai. Kamipun bergegas berlari menuju pondok makan untuk berteduh. “Mau makan apa ni Tan? Dingin sekali hujan ini.” Aku memulai membuka percakapan. “Aku mau bakso ah. Kamu?” sambil tersenyum dan memegang sendok dan garpu. “Dasar kamu ondel-ondel, pantes aja wajahmu bulat kayak bakso. kayaknya udah gak sabar lagi ya? Sampe-sampe langsung pegang sendok dan garpu. Kalo gitu aku mau makan pipimu deh.” Sambil tertawa dan mencubit pipinya. “Dasar kamu, kalo aku bakso. kamu sotonya ya?” sambil memukul sendok dan garpu di bahuku kami tertawa bersama.
            “Intan, aku pengen kamu tau.” Aku agak serius.
            “Iya, pengen aku tau apa ya?” Intan agak tertawa, sepertinya dia menganggapku main-main.
            “Tau ngak? Semenjak aku kenal kamu...” aku belum selesai bicara, Intan langsung memotong pembicaraan.
            “Kenapa? Semenjak kau kenal aku, kau jadi suka bakso gitu. Ayo,,, ngaku.” Sambil tersenyum dia menunjuk hidungku.
            “Dengerin dulu Tan, aku belum selesai.” Aku agak serius dan hampir mau ngambek dengan Intan. “Aku suka kamu Tan, semenjak kenal kamu sepertinya aku mulai menemui hidup baruku, aku berubah, aku menjadi baik dan menemukan hal baru Tan.”
            “Terus gimana Gus?” Dengan wajah bloon dan melongo dia bertanya lagi kepadaku.
            “Kalo kamu gimana?” aku balik bertanya kepada Intan.
            “Aku sebenarnya senang si melihat kamu, kamu selalu mengusir orang-orang yang jahil padaku, kamu mengajarkan aku banyak hal, tapi....” Intan belum selesai berbicara, aku langsung memotong pembicaraannya. “Maukah kamu jadi pacarku Tan?” dengan gugup aku bertanya.
            “Tidak. Aku tidak mau pacaran, dengan siapapun.” Jawabnya tegas, sambil tetap tersenyum kepadaku.
            “Kenapa? Kenapa tidak mau Tan? Kamu ngak suka denganku?” Aku kurang puas dan bertanya kepadanya.
            “Pacaran itu dilarang agama Gus. Untuk apa kita pacaran coba? Nambah dosa tau. Aku dapat menerima cinta dan sayangmu. Tapi aku ngak bisa pacaran dengan siapapun sebelum aku menikah.” Dia mencoba menjelaskan agar aku mengerti.
            “Tapi Tan, aku ingin kita selalu bersama. Aku punya gambaran kita jadi pacar sampe nikah nanti.” Aku mencoba membujuk, walaupun hatiku sudah mulai terasa remuk karena kecewa.
            “Hmmm, ya udah. Kamu boleh anggap aku apa aja. Tapi aku ngak mau pacaran. Tapi kita harus tetap menjadi sahabat. Oke?” Dia mengacungkan jempolnya untukku.
            “Hmmmmm...” Aku hanya diam seribu bahasa. “Kenapa gitu Gus? Ngambek? Jangan ngambek dong.” Pinta Intan.
            “Aku kecewa Tan, aku kira kamu segalanya.” Dengan perasaan kecewa dan membuang muka darinya. “Oh, gini aja Gus. Kalo kita jodoh pasti kita ketemu lagi kan? Kalo ngak, kamu pasti dapetin perempuan yang sama bahkan lebih baiknya dari pada aku. Intinya kalo kita jodoh bertemu lagi kok.”
            “Iya, semoga kita jodoh ya.” Aku mulai senyum kembali kepada Intan. “Ya Aamiin, semoga ya.” Dia pun tersenyum kepadaku. “Ayo baksonya udah jadi, makan yok.” Intan mulai mengajakku makan. Setelah perbincangan tadi, kami makan bakso bersama. “Tau ngak Tan? Pipimu bulet sekali seperti bakso ini.” Sambil tertawa aku mulai bercanda dengannya. “Ih, kamu. Ngejek aku terus ya.” Ucap Intan sambil tertawa dan menutup mulutnya. Setelah makan, aku mengantar Intan pulang walaupun dalam kondisi gerimis yang tajam. “Gus, ini jaketku. Pakailah dulu, nanti kamu sakit gimana?” sambil menyodorkan jaket kearahku. “Ngak ah Tan, ntar jaketmu hilang lagi.”  Aku menolak karena udah dua jaket miliknya yang pernah aku hilangkan. “Ngak apa-apa, aku ikhlas kok.” Menyodorkan lagi. “Oh iya aku pulang dulu ya.” Aku langsung ngabur tanpa mengambil jaketnya.
            Setelah sampai dirumah, mamaku menyambut dengan wajah yang sangat gembira. “Nak, kamu tau ngak?” Mamaku dengan wajah ceria dan jingkrak-jingkrak, untung aja ngak nari tor-tor. “Tau apa ma?” aku balik bertanya dengan wajah jutek. “Ini ada surat dari dinas nak.” Sambil menyodorkan surat dari Dinas Pendidikan. “Kamu juara satu waktu olimpiade kemaren.” Dengan wajah ceria mamaku. “Haha, masak sih ma?” Aku langsung masuk kekamar sambil tertawa. Sedikitpun aku tak menyangka, karena tanpa persiapan yang matang, dan aku pun mengerjakannya dengan waktu yang sebentar. Ternyata terkadang suatu yang lebih hebat dari pada kecerdasan adalah Percaya diri dan selalu mempasrahkan diri kepada Tuhan. Kenapa begitu? Karena suatu hal yang membuat orang menjadi kuat adalah keberuntungan dan ketegaran hati.
            Besoknya aku datang ke Dinas Pendidikan untuk memastikan dan mengambil uang pembinaan. “Assalamualaikum, maaf bu. Mau nanya pengumuman olimpiade dimana?” Tanyaku dengan sopan. “Iya dek, silahkan keruangan disebelah kanan.” Jawab seorang bapak-bapak dengan kumis yang garang sambil menunjuk sebelah kanan. “Permisi pak, mau tanya pengumuman olimpiade sains.” Tanyaku sambil tersenyum menunduk. “Oh iya, bidang apa dek?” Tanya bapak itu sambil mengeluarkan banyak kertas. “Fisika pak.” Sambil mendekat dan ikut melihat isi kertas tersebut. Ternyata informasi selama ini benar, aku juara satu. Setelah itu aku menelpon Intan, “Intan, aku juara satu olimpiade fisika. Horee... aku menang” Sambil berteriakk gembira. “Alhamdulillah, selamat ya Gus. Aku sangat senang, ternyata usaha kita ngak sia-sia.” Terdengar suara Intan yang agak batuk-batuk. “Kamu batuk Tan? Kenapa? Kamu sakit ya.” Aku mulai sedikit parnoan. “Ngak juga, Cuma batuk biasa aja.” Sambil tertawa kecil. Tiba-tiba telponnya mati, aku sedikit bingung kenapa telponnya mati. Setelah aku memeriksa pulsaku, ternyata pulsa handphoneku habis. “Hmmm, pantas saja telponnya mati, pulsaku tingal seratus rupiah lagi.” Setelah dari Dinas Pendidikan, aku mengirimkan pesan singkat ke Intan. “Tan, ke BBG yo.”. Tak lama kemudian ada pesan balasan dari Intan, “Ayo, tapi jam sebelas ya.”
            “Ok.” Jawabku singkat. Tak terasa sekarang sudah jam sebelas, aku langsung menghampiri Honda-ku. Bersiap-siap kerumah Intan dengan kecepatan tinggi. “Assalamualaikum.” Sambil mengetok pintu aku berteriak didepan rumahnya. “Waalaikumsalam, Ayo Gus kita berangkat.” Dia langsung naik ke sepeda motorku. BBG adalah Bangka Botanikal Garden, yaitu sebuah taman wisata yang hampir menyerupai mekarsari. Di BBG kami memarkirkan motor dan berjalan-jalan keliling BBG. “Intan, kamu tau itu?” Aku mulai membuka pembicaraan. “Balon? Atau yang lain?” Jawabnya sambil menunjuk ke arah balon. “Iya balon, kamu tau kan balon?” Tanyaku. “Taulah, kenapa?” jawabnya sambil tersenyum melihatku. “Ya, kepalamu bulat kayak balon Tan.” Sambil tertawa, saat melihat dia mulai cemberut aku pun menambah perkataanku. “Ngak ah, aku bercanda Tan. Kau tau? Balon itu ngak bisa terbang. Tapi dia bisa melayang, sesuai dengan tekanan yang ada.” Aku menjelaskan kepada Intan. Intan sepertinya bingung, dia balik bertanya kepadaku. “Maksudnya? Aku belum ngerti Gus.” Sambil melihat balon yang ku pegang. “Coba lepaskan semua beban dan tekanan hidupmu Tan, hidupmu akan terasa indah. Kau akan bisa berprestasi setinggi mungkin.” Jelasku sambil memegang tali balon yang sudah mengembang besar. “Sama seperti balon ini, jika dia besar dia akan melayang. Sedangkan jika dia kecil tak akan bisa melayang. seperti itulah tekanan.” Tambahku.
            Setelah melihat balon, kami melihat sapi. “Aku punya kisah buruk lho dengan sapi.” Tiba-tiba Intan mulai berbicara dan termurung. “Emangnya ada pengalaman apa Tan? Kayaknya sedih banget ya.” Aku mencoba menghibur dia. “Iya, dulu kami punya sapi. Aku pernah ditendang anak sapi gara-gara narik ekornya. Terus, aku pernah juga dikejar-kejar sapi.” Ujarnya dengan wajah yang sedih. “Hahahaha, itu namanya lucu Tan, kenapa sedih?” Sambil tertawa aku mulai memperhatikan wajahnya lagi. “Iya, kamu ngingetin aku dengan sapi yang kemaren dijual bapak.” Sepertinya dia sedikit meneteskan air mata. “Maksudmu?” Dengan wajah bloon aku bertanya lagi. “Kamu mirip sapi bapakku Gus.” Tambahnya. Gubraaak, rasanya bumi gonjang ganjing dajal keluar dari perut bumi, baru kali ini aku disamakan dengan sapi.
            “Hmm. Intan, tau ngak besok aku mau ke Pangkalpinang, buat ke olimpiade sains Propinsi?” Aku memulai pembicaraan serius. “Oh ya? Wow, aku juga pengen sekali ikut. Tapi kemaren aku gak lolos.” Dengan gaya anak alay dia sedikit memukul bahuku. “Tapi, aku senang dan bangga kalo kamu ikut. Kamu harus menang ya, semangat.” Ucap Intan sambil mengacungkan tangannya kepadaku. “Eh, ngak terasa ya, kita udah dua tahun kenal. Semenjak aku sering dihukum sampai aku ngak pernah dihukum. Kamu adalah titik balik hidupku Tan.” Sambil tersenyum dan melihat wajahnya. “Alhamdulillah, kamu juga baik. Sering mengusir anak-anak jahil yang sering ngejek dan menggangguku.” Dia agak menunguk malu ketika mengucapkan itu kepadaku. “Tan, aku ingin kita ketemu selamanya.” Sambil tersenyum aku memegang tangannya. “Iya, tapi bukanlah aku tak mau, aku hanya tak mau pacaran Gus. Dilarang agama sama orang tua, dan aku sendiri gak mau pacaran sebelum aku nikah Gus.” Dia membalas senyumku. “Bukankah, banyak cara agar kita bisa tetap bersama, selain pacaran kan bisa Gus?” Sambil memegang tanganku. “Kita bisa bersahabat, hingga akhirnya nanti kita besar dan dijodohkan oleh tuhan.”.
            “Semoga sesuai apa yang kita inginkan Tan.” Aku tersenyum dan melihat kearah danau yang luas. “Semoga, dan diberikan yang terbaik. Eh, udah sore ni, kamu kan mau siap-siap ke Pangkalpinang besok. Pulang yok.” Ajaknya.
            Siang itu menunjukkan jam dua, kami bergegas pulang kerumah agar sampai kerumah tidak kesorean. Setelah sampai dirumah Intan, “Doakan aku ya, besok aku akan mulai berjuang.” Sambil berjabat tangan dengan Intan. “Pasti, aku akan mendoakan selalu. Kau harus membuat semuanya bangga.” Serunya kepadaku. “Aku pergi dulu ya Tan.” Aku mulai memutar hondaku. Tiba-tiba “Tunggu dulu, pakailah jam ini agar kau selalu ingat kepadaku, dan gunakan sapu tangan ini agar setiap kau lelah bisa semangat dengan mengingatku.” Sambil menyodorkan jam tangan dan sapu tangan. Aku tidak bicara banyak, sambil mengacungkan jempol aku langsung menarik gas motorku untuk langsung pulang.
            “Darimana saja kamu nak? Kok baru pulang, beresi dulu bajumu. Kan besok mau berangkat. Masukkan bajumu ke koper.” Teriak mamaku. “Iya ma, nanti. Lagi capek ni.” Sambil berbaring dikamar yang tidak terlalu luas. Akhirnya aku beranjak dari ranjang dan mulai memasukkan barang-barangku ke koper. Setelah memasukkan barang-barangku ke koper, aku melanjutkan tidurku kembali.
            Malam yang indah, bertabur bintang. Kriiing... suara handphoneku berbunyi. Kulihat nama Intan yang memanggilku. “Assalamualaikum, ada apa Tan?” aku mulai membuka percakapan. “Waalaikumsalam, Agus, coba lihat Supermon. Indah sekali kan?” Sambil teriak-teriak di handphone. “Wah, besar sekali bulannya, indah.” Aku kaget melihat supermon. “Ya, kenapa bulannya bisa begitu? Indah sekali ya. Adakah benda langit yang lebih indah dari itu.” Tanya dirinya kepadaku. “Alfacentury dan Avena, bintang yang paling terang. Eh, aku mau tidur dulu ya. Besok mau pergi ni ke Pangkalpinang.” Ucapku kepadanya. “Iya deh, selahkan. Sukses ya besok.” Seru Intan. “Pasti, aku janji.” Setelah aku mengucapkan itu, Intan langsung mematikan telepon.
            Pagi yang cerah, aku langsung pergi ke Dinas Pendidikan. Aku pergi dangan penuh harapan, aku ingin harapan ku tercapai. Setelah menunggu semua orang berkumpul, kami langsung berangkat ke Pangkalpinang untuk menuju hotel Seratta tempat kami akan mengikuti lomba. Aku menemukan banyak teman baru, ini adalah awal dari perjuanganku untuk menuju tingkat nasional. Dari Kabupaten kami mengirimkan tiga orang laki-laki, yaitu aku, Putra dan Rozi. Awalnya kami bertiga muter-muter hotel, kami bingung dimanakah letak kamar kami. Kamar nomor empat puluh dua, angka yang cukup bagus. Setelah sampai dikamar, kami baring-baring seperti orang kampungan di kamar hotel itu. “Eh, ada telepon. Kita nelpon orang yok.” Ucapku kepada Putra dan Rozi. Akhirnya kami menelpon resepsionis, teman-teman dikamar lain bahkan menelpon cleaning service.
            Hari yang membingungkanpun berubah menjadi malam, kami mulai bersiap untuk mengikuti upacara pembukaan. “Eh, tau ngak Gus itu siapa?” ujar Putra kepadaku. “Yang mana? Orang yang makannya disuap itu bukan?” Aku balik minta penjelasan. “Itu Ali, yang menjadi langganan juara olimpiade matematika.” Jawab Putra dengan mental yang agak down. “Sudahlah, jangan terlalu seperti itu.” Kita positif thinking aja. Aku yakin kok kamu mampu.” Aku mencoba memberinya semangat. Terkadang sebelum kita bertanding kita sudah mulai bicara dia hebat, atau dia begini. Seharusnya dengan melihat saingan kita lebih hebat, kita haruslah lebih giat belajar, jangan menjatuhkan mental sendiri dengan cara seperti itu.
            Tak terasa, olimpiade sains propinsi sudah dimulai. Kami masuk lagi keruangan yang berisikan 24 siswa/siswi terbaik (baca:beruntung). Aku agak gugup, tapi aku ingat orangtuaku. Aku kembali memiliki semangat untuk menang. Akhirnya, lembaran soal mulai dibagikan, penjelasanpun mulai dibacakan. “Mulai!” Seru perintah panitia olimpiade. Kami langsung mulai mengerjakan soal Fisika level tinggi itu. “Akh, bisa stres aku lama-lama.” Ujarku dalam hati. Tak sadar kertas ujianku tercoret, “Terpaksa ni aku minjem tipe-X.” Gumamku dalam hati. Aku langsung memanggil wanita yang ada dibelakangku, “Maaf, bolehkah saya minjem tipe-X.” Serentak wanita yang ada dibelakangku mengangkat kepalanya, subhanallah cantik sekali gadis kota satu ini. Aku langsung salah tingkah, sambil meliat wajahnya aku mengucapkan terimakasih. Tak terasa waktu sudah habis, saat-saat yang ditunggu sudah tiba. Yah, siapa yang tidak menunggu saat-saat seperti ini, yaitu makan siang. Makan siang kali ini adalah kelas VIP dan memakai table manner. “Ini dek sendok dan garpunya.” Kata salah seorang pelayan hotel kepadaku. “Oh, maaf pak. Saya ngak bisa memakai garpu, simpan aja pak.” Ucapku polos, tersentak semua peserta yang ada disana tertawa.
            Saat kami makan siang, piagam penghargaan dan uang pembinaan dibagikan. Saat namaku dipanggil “Agustiawan dari kabupaten Bangka.”. Aku agak dongkol, karena aku belum selesai makan siang. Akhirnya aku langsung maju dengan tangan yang masih kotor dengan bau udang, cumi dan bau makanan yang kusantap. Saat sudah didepan aku ambil piagam, uang pembinaan dan sebagai anak yang baik hati aku bersalaman dengan bapak panitia dengan tangan kotorku. Terlihat disana sontak wajah panitia langsung berubah mengkerut seperti tape basi.
            Setelah keluar semua, aku menemui wanita tadi. “Hay, boleh ngak kita menjadi teman?” Harap-harap cemas aku bertanya kepadanya. “Boleh aja, aku Maria, kalo kamu?” dia bertanya balik. Hore, dia telah memberikan lampu hijau. “Namaku Agustiawan, aku anak baik.” Sambil tertawa aku bersalaman dengannya.
            “Kamu lucu sekali ya, dari semalam aku melihat aksimu. Gokil sekali.” Sambil tertawa dan memukul dadaku. “Oh, iya boleh minta nomor HP Maria ngak?” sambil mengeluarkan HP Nokia 7610 milikku. “Ini nomor HP-ku, 08116788XXX. Miscol aku dong.” Pinta Maria. “Ini ya, aku coba.” Setelah beberapa sengit perbincangan kami, akhirnya kami menjadi dekat. Aku baru tahu kalo dia berasal dari SMP Unggulan yang paling bagus di Propinsi kami, maklum anak kota. Tak terasa kebersamaan kami di olimpiade sains, perpisahan telah dimulai. Akhirnya aku dan Maria berpisah, kami sama-sama meneteskan airmata kami, sebagai kenang-kenangan kami bertukaran Pin Nama. Sampai saat ini Pin Namanya masih aku simpan sebagai kenangan tak terlupakan.
            Beberapa hari setelah mengikuti kegiatan olimpiade, aku semakin dekat saja dengan Maria. Bahkan sekarang hubunganku dengan Intan semakin renggang. Sekarang aku tidak pernah lagi berhubungan dengan Intan, aku mulai merasa nyaman dengan Maria. Bahkan sekarang aku sudah menjadi pacarnya. Suatu hari disekolah Intan datang menemuiku “Agus, kenapa sekarang jarang kekelasku?” Tanya Intan dengan mata berkaca-kaca. “Intan, aku sibuk sekarang. Ngak ada waktu lagi untuk bertemu dengan kamu.” Aku menjawab dengan jutek. “Sudahlah, percuma!” Sambil berteriak dia langsung pergi meninggalkanku. “Ya, ampun. Kenapa aku berubah dengan Intan.” Doaku dalam hati dengan rasa menyesal.
            Beberapa hari ini aku tidak pernah lagi bertemu dengan Intan, dan akupun sudah mulai diam sendiri. Sepertinya tak ada gunanya memiliki status pacaran dan lain sebagainya jika hati masih tetap merasa sepi. “Intan, kau dimana? Aku merindukanmu Tan.” Aku mulai merasa kesepian dengan tidak adanya dia.
            Saat pulang sekolah aku berlari menyusul dan mengikuti Intan, “Intan, tunggu aku. Tolong.” Aku berteriak mendekatinya. Spontan dia lari dan saat aku menarik tangannya dia langsung berontak. “Lepaskan, sudah pergi sana!” Dia mulai marah sepertinya. “Aku tak pernah mengenal kamu, dasar brandalan.” Dengan nada kecewa dia langsung berlari untuk menghindariku.
            Sejak saat itu aku menyesal, aku berjanji tak akan menyakitinya lagi. Aku langsung mengirim SMS ke Handphonenya. “Alfacenturi dan Avena adalah dua bintang yang terang. Tapi, kau adalah avena yang anggun dan apakah aku hanya akan menjadi alfacentury yang mengembara sendiri?” Saat membaca SMS-ku dia langsung mematikan handphonenya dan menganti kartunya.
            Inilah kesalahanku yang tidak menjaga perasaan wanita yang putih bagai salju dan lembut seperti kapas. Sepertinya aku hanya bisa menunggu dia memaafkanku. Tiada kata Lain “INTAN MAAFKAN AKU”.

KAU INTAN DIHATIKU (CHAPT II)


Hari itu sangat terasa sekali teriknya sinar matahari, aku berjalan berdua dengan Intan. “Intan, rumahmu dimana? Masih jauh ngak? Hari ini panas sekali Tan.” Aku sedikit mengeluh dengan Intan. “Kamu laki-laki atau banci? Aku setiap hari jalan kaki, gak pernah ngeluh kayak ini.” Dengan nada dongkol dia menjawab pertanyaanku. Pantas saja betisnya besar, mungkin karena kebanyakan jalan. Setelah insiden memenangkan lomba iptek di SMP. Aku merasa semakin dekat saja dengan Intan, sering ngobrol berdua, main berdua bahkan keruang guru berdua. Intan adalah gadis tomboy, yang agak tinggi, alim, bersahaja dan hafal pancasila. Awalnya aku hanya biasa-biasa saja dengan dirinya atau mungkin belum punya perasaan apapun, maklum masih SMP belum puber dan belum mengenal cinta, tapi semua orang berpandangan beda. Mereka mengira kami berdua telah lama pacaran. Semakin lama akupun larut dalam perasaan. Hingga akhirnya aku memiliki perasaan sayang dengannya  bahkan perasaan itu masih ada sampai sekarang, mungkin karena dia adalah cinta pertamaku.
            Awalnya aku hanya mengikuti ektrakulikuler Pramuka. Aku memang tidak memiliki minat mengikuti kegiatan lainnya, karena memang aku lebih cocok dengan Pramuka. Tapi suatu hari ada temanku yang bilang “Eh, kamu tau ngak gus? Intan ikut klub olimpiade sains lho.” Sepertinya temenku yang satu ini ingin menjerumuskan aku kedalam jurang konsep dan rumus-rumus fisika, karena yang aku tau klub olimpiade itu kerjanya belajar setiap hari dan selalu menghafal rumus. “Bisa-bisa pecah kepalaku, konslet otakku.” Jawabku dengan nada bercanda, “Gimana ngak stres? Kerjanya belajar terus menerus dan menghafal rumus.” Ucapku sambil tertawa dengan dirinya.
            Akhirnya aku iseng-iseng ikut klub olimpiade dengan tujuan agar dapat selalu melihat Intan. Mungkin memang niat yang ada adalah niat yang tidak baik, tapi mau bagaimana lagi jika anak muda cinta monyet untuk yang pertama kalinya. Sebelum masuk kelas, aku sudah belajar dahulu semalam agar aku bisa menjawab setiap pertanyaan yang ada. Pada malam harinya aku bertanya kepada Ayahku “Ayah, ajarin aku listrik dong. Plis ya yah.” Akhirnya ayahku yang saat itu sedang mengerjakan tugas kantornya mengeluarkan sebuah rumus:
                                                            F
            Masih ingatkah kalian? Rumus apakah ini? Setelah saya bertanya tentang rumus ini. Selanjutnya aku bertanya lagi kepada ayahku “Ayah, aku suka sama seorang cewek ni, kenapa bisa gitu yah?” Dengan polosnya aku bertanya, “Kita kembali kerumus itu, F itu kita anggap sebagai rasa suka terhadap cewek tadi, q1 kita anggap kamu, q2 kita anggap dia dan r kita anggap jarak diantara kalian. Seandainya r memliki nilai besar berarti F memiliki nilai kecil, sedangkan kalo r memiliki nilai kecil F akan memiliki nilai besar. Begitulah rasa suka, semakin kalian jauh rasanya akan kecil, semakin kalian dekat rasanya akan dekat.” Jelas ayahku. “Apakah boleh yah, kalau kita pacaran? Soalnya kawan-kawan banyak yang pacaran.” Aku bertanya lagi karena belum puas dengan jawaban ayahku. “Hmmm, sebaiknya kamu pikir masa depanmu dulu, baru pacaran.” Jelas ayahku mengarahkan kearah yang baik. Setelah itu aku mengerti dan kembali fokus, tapi ngak bisa. Bagaimana lagi, aku baru sekali merasakan cinta, jadi wajar kalo lebay seperti ini.
            Tapi sisi baik disini adalah aku menjadi lebih semangat dalam belajar, apalagi kalo salah tingkah. Setelah aku mengenal Intan, kehidupanku berbalik arah menjadi 180 derajat. Dari tidak pernah lagi terlambat, tidak pernah lagi membuat masalah dan sekarang aku sering ikut ajang prestasi.
            Hari itu, tak seperti biasanya. Kalau biasanya aku pergi ke SMP, tapi pada hari ini aku pergi ke SMA. Sambil melihat kakak-kakak yang lebih tua memakai seragam putih abu-abu aku melamun, “Jadi pengen cepat-cepat masuk SMA.” Ucapku dalam hati sambil tersenyum. Kompetisi pun dimulai, aku agak gugup mengikuti kompetisi Cerdas Cermat tingkat kabupaten di salah satu SMA ternama di bangka. Aku, Maulidya dan Mega bertiga dibuat menjadi satu tim. Aku sangat semangat sekali, karena tidak mau kalah dengan Intan. Aku dan Intan tidak sekelompok, karena Intan satu kelompok dengan temanku yang lainnya.
            Tim yang maju duluan adalah tim Intan melawan dua tim lainnya. Aku tak menyangka, tim Intan kalah telak dengan tim lain. “Intan kalah, bagaimana dengan aku? Kalau aku kalah juga, bisa malu aku.” Ucapku dalam hati. Giliran kami tiba, kami melawan tim yang berasal dari sekolah andalan dan terpandang. “Gink, gila lawan kita cina semua, bakal kalah ni kita.” Ucapku kepada maulidya. “Banci ya? Kok takut ngelawan cina.” Maulidya membalas ucapanku dengan ejekan. Akhirnya soal demi soal bisa kami jawab, hingga terjadi persaingan antara SMP kami dan SMP 2 Sungailiat, SMP yang dikenal sebagai SMP terbaik di provinsi tempat aku tinggal. Hingga sampailah pada pertanyaan terakhir, skor kami saat itu adalah 1200 sama. “Sistem peredaran darah pada serangga merupakan sistem peredaran darah?” Sang MC selesai membaca soal. “Terbuka.” Jawabku dengan gegabah sambil membanting meja. “Salah, sistem peredarannya memakai trakea, jadi SMP 1 Sungailiat dikurangi point 50.” Tegas juri.
            “Instruksi bu, bukankah trakea adalah alat pernafasan serangga, sedangkan sistem peredaran darah serangga memakai sistem terbuka. Itulah yang membuat serangga mudah mengeluarkan darah jika dipencet, seperti belalang.” Aku mulai mengeluarkan protes karena kurang puas dengan pernyataan juri.
            “Bagaimana ahli?” Sang MC mulai menanyakan kebenarannya pada ahli yang berasal dari SMA.
            “Ya bu, benar kata anak itu. Serangga memakai sistem darah terbuka, sedangkan trakea adalah alat pernafasan serangga.” Pembelaan dari ahli kepadaku.
            “Ya, jadi pemenangnya adalah SMP 1 Sungailiat dengan point 1300.” Dengan diumumkan hasilnya oleh MC, Akhirnya kami sebagai pemenang.
            Semua guru pada saat itu senang dan gembira karena sudah tujuh tahun SMP kami tidak pernah lagi muncul dan menang dalam lomba-lomba tingkat kabupaten dan propinsi. Akhirnya kami mendapatkan hadiah berupa uang. Kami sepakat untuk bersedekah dengan uang yang kami dapatkan tadi.
            “hosh... hosh... hosh..” Berlari lagi dari rumah kesekolah, berusaha agar tidak terlambat. Keramaian jalan, banyak yang melihat aku berlari dengan tampang bahagia. Hari ini upacara bendera lagi. Tak seperti biasanya aku datang cepat, dan aku mengikuti upacara dengan tertib. Setelah upacara bendera kepala sekolah maju kedepan mimbar dan memanggil namaku. “Kepada anak kami Agus, Maulidya, dan Mega. Silahkan maju kedepan.” Ucap kepala sekolah. Kami pun maju kedepan, setelah itu kami diberi penghargaan yang berupa uang oleh kepala sekolah. Aku bingung itu uang apa, padahal kami sudah mengambil uang hadiah lomba dari dinas. “Ini simbol rasa bangga sekolah kepada mereka, karena mereka menyumbangkan uang dari Dinas Pendidikan untuk keperluan panti asuhan.” Ucap kepala sekolah dengan rasa bangga, “Tolong berikan tepuk tangan yang meriah untuk pahlawan kita.” Betapa bangganya diriku, anak yang biasanya menjadi preman dan jarang ikut upacara akhirnya sekarang tinggal kenangan. Yang ada hanyalah aku yang berprestasi.
            “Agustiawan, bisa ketemu ibu nanti? Ajak Intan dan anggota klub olimpiade lainnya ya.” Ibu Ely memanggilku. “Iya bu, nanti saya kabari.” Jawabku dengan lirih.
            Ibu Ely adalah pembina olimpiade sains, sangat baik dan lembut. “Ada apa lagi ini, mungkinkah akan banyak tugas yang menumpuk.” Gumamku dalam hati. “Agus, kenapa melamun?” Tiba-tiba terdengar suara Intan dari belakang. “Ngak ada apa-apa kok Tan, oh iya Tan. Kita disuruh Ibu Ely kumpul di kantor.” Aku mulai membuka pembicaraan. “Emangnya ada apa Gus?”  Tanya Intan dengan wajah bloonnya. “Yah, kalo aku tahu mana mungkin aku melamun Tan.” Jawabku sambil tersenyum. “Oh iya, selamat ya atas prestasinya kemaren.” Ucap Intan padaku. “Biasa aja kok Tan, jadi sekarang kita mau kemana?” Tanyaku. “Ya udah, mending sekarang kita pergi saja ke kantor.” Kata Intan sembari menarik tanganku.
            Saat di kantor, kami diberi pengumuman bahwa minggu depan akan diadakan seleksi olimpiade sains, lalu kami diberi modul dan kisi-kisi soal. “Mempersiapkan diri ya? Hmm, aku tak akan kalah denganmu Tan.” Dengan percaya diri dan tersenyum kepada Intan. “Ah, masak gak kalah? Liat aja nanti deh.” Balasnya dengan senyum. Sambil mempersiapkan diri menjelang olimpiade, kami selalu belajar bareng. Dengan adanya belajar bareng ini, aku memiliki banyak waktu untuk bersama dengan Intan.
            “Assalamualaikum, Intan.” Sambil mengetuk pintu rumahnya. Keluarlah seorang anak laki-laki yang berusia kira-kira 6 tahun. “Intanya ada dek?” Tanyaku kepada laki-laki kecil itu. “Ngak ada, Intannya udah mati.” Jawabnya dengan ketus. “Lho, kok mati dek?” Tanyaku dengan wajah bloon. Keluarlah sesosok wanita dari kamarnya, memakai jilbab merah muda, baju panjang dan membawa tas. “Oh Agus, maaf ya Gus, Aku mau pergi sekolah bahasa arab.” Dia bicara dengan nada kecewa. “Ya udah deh, kita sama-sama yok jalan ke sekolah bahasa arabmu.” Sambil tersenyum aku mengajak dan menarik tangannya. Dijalan kami saling bercanda, kami bercerita dan membahas pelajaran disekolah tadi. “Intan rajin sekali ya? Pulang sekolah jam tiga langsung berangkat belajar bahasa arab.” Aku memulai percakapan. “Ngak juga Gus, ini kan keharusan kita mempelajari Al-quran dan Bahasa Arab.” Jawabnya sambil tersenyum manis. Setelah itu aku tersadar bahwa sedekat apakah aku dengan tuhanku, sedekat apakah aku dengan kitab agamaku dan sejauh mana amal kebaikanku selama ini. Setelah berbicara bersama Intan, aku mulai rajin mengerjakan Ibadah, rajin mengaji dan terkadang melakukan ibadah sunnah.
            Aku berjalan kerumah Intan lagi, dengan rasa bahagianya aku membawa kado ulang tahunnya. “Assalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah Intan. Pada hari itu hujan yang sangat deras, aku berdiri menunggu diluar pintu rumahnya. Aku melihat seorang ibu yang membukakan pintu dan berkata “Intannya lagi jaga toko nak, di pasar mambo.” Ternyata Intan sedang melaksanakan rutinitasnya tiap malam, menjaga toko dipasar mambo. Hari ini ulangtahun Intan, aku sudah berjanji akan memberikan kado ulangtahunnya dan bertemu dengannya jam tujuh malam. Dia sepertinya telah menunggu sendiri ditokonya. Hujan yang tadi deras kini menjadi gerimis tajam, suasana dingin mulai menyelimuti. Intan sedang sibuk menjaga toko dan melayani pelanggan di tokonya, maklum dia memiliki toko aksesoris motor. Sambil beristirahat sebentar, Intan melamun sambil melihat jam yang telah menunjukkan jam delapan kurang. “Agus, kamu dimana? Janjinya jam tujuh, kok belum datang juga.” Gumamnya dalam hati agak gelisah.
Aku bingung, sekarang sudah jam delapan kurang. Terpaksa kutembus gerimis tajam yang menghalangi jalanku menuju tokonya, aku terus menerabas hujan dengan motorku. Pandanganku gelap, Tiba-tiba, “Glegar...” Suara motorku yang jatuh tergelincir ke tepi jalan, dan akupun terpental sejauh lima meter masuk ke bandar. Aku rasa kakiku sakit sekali, kaku susah bergerak. “Aduh.. sakit sekali.” Aku mencoba berdiri,  “Ada apa ini? Aku tak bisa berdiri. Kakiku berdarah, kakiku bolong, patah. Aduh apa lagi ini... sakitnya.” Aku mulai meringis kesakitan. “Tolong aku, tolong.” Aku tak kuat lagi menahan rasa sakit dikaki kananku, aku tak bisa lagi berteriak dijalanan basah yang diguyur gerimis tajam. Sampai datang orang yang menolongku. “Intan aku bukanlah teman yang baik, aku tak bisa menepati janjiku.” Aku hanya bisa bergumam didalam hati sambil terkapar menahan sakit. Jarum jam sekarang menunjukkan angka sembilan, “Agus, kau dimana? Kok belum datang juga.” Dengan rasa khawatir dia berbicara didalam hati. Dia menunggu  hingga menunjukkan angka sepuluh, dan akhirnya dia tertidur kelelahan. Disisi lain, aku merasa kesakitan bukan main, aku dibawa kerumah sakit hingga sampai dirumah sakit, aku mendapatkan pelayanan dan kakiku dijahit serta di pasang pen penunjang. Malam itu aku sangat sedih, aku belum bisa menepati janjiku ke Intan. Sambil menjatuhkan air mata, mataku terpejam. Kuharap tidak terpejam selamanya sebelum kutepati janjiku kepadanya.
Pagi yang cerah, indah dan harum dengan bau embun. “Aduh, kakiku masih sakit ma.” Ucapku kepada ibuku. “Sudah, ngak usah sekolah hari ini. Dokter juga bilang kamu butuh istirahat.” Ujar ibuku sambil menyuapiku makan. Saat disekolah Intan mencariku, “Ki, Agus dimana? Kok belum muncul juga.” Ucap intan dengan rasa khawatir. “Ngak tau juga, dia memang ngak sekolah hari ini.” Ucap riski sambil mengerjakan PR. “Aku takut dia marah sama aku.” Sambil menundukkan kepala Intan berkata seperti itu. “Kalo ngak salah dia sakit Tan, coba aja ntar kerumahnya. Semangat ya Tan. Jangan sedih.” Sambil tersenyum dan memegang pundak Intan. Pulang sekolah Intan kerumahku, “Assalamualaikum.” Ibuku keluar membukakan pintu, “Waalaikumsalam nak Intan, ada apa ya?” tanya ibuku dengan raut wajah gembira. “Agusnya ada bu?” dengan nada yang lirih dia. “Agus lagi di Rumah Sakit, ya biasa anak nakal.” Ibuku tersenyum. “Ya bu, salam sama Agus ya. Semoga cepat sembuh, saya pergi dulu ya bu.” Sambil tersenyum kepada ibuku. “Iya, ntar ibu sampaikan. Hati-hati dijalan ya.” Sambil memegang kepala Intan dan memberikan semangat agar dia tak sedih lagi. Intan membalikan badannya dan pergi dari rumahku.
Tak lama kemudian aku sampai dirumah, dengan dibantu orangtuaku aku masuk kekamarku. “Agus, tadi ada Intan lho kerumah.” Kata ibuku dengan nada jahilnya. “Ah, yang bener ma? Mama jangan main-main lah. Gak lucu ma, lagi sakit ni.” Agak dongkol kepada ibuku. Seharian penuh aku istirahat, aku menunggu datangnya besok pagi. Hari yang dinanti tiba juga, tepat pada jam delapan pagi tes olimpiade dilaksnakan. Tes dimulai, tapi aku belum datang juga. “Ya, waktunya seratus menit untuk lima soal, kerjakan!” Guruku sudah memulai kegiatan seleksi, tapi aku belum datang juga. Akhirnya pada jam sembilan kurang aku datang dengan kaki yang agak pincang. “Assalamualaikum, maaf bu. Saya terlambat karena tadi ngak ada angkot. Jadi saya berjalan dari rumah ke sini.” Ucapku sambil menarik nafas karena kelelahan. “Silahkan masuk, waktunya tinggal empat puluh menit lagi ya.” Sambil menyerahkan kertas ujian kepadaku.
Aku agak bingung, tanpa belajar mengerjakan soal fisika yang bisa membuat kepalaku pecah. Akhirnya, duapuluh menit kemudian aku keluar ruangan sambil memberikan kertas ujian. “Yakin udah selesai Gus?” Guruku meyakinkanku. “Yakin bu, kalo rejeki pasti Allah berikan jalan.” Jawabku tegas. “Iya bu, aku mau pulang dulu, kakiku udah mulai sakit.” Tak lama kemudian Intan mengumpulkan kertasnya, dia menyusulku. “Agus, tunggu! Kita pulang bareng yok.” Ajak Intan. “Kamu kok bandel banget? Udah tau kaki sakit, kenapa masih mau kesini?” Intan mulai prihatin sambil melihat kaki kananku. “Ya, mau gimana lagi Tan? Itulah perjuangan, ngak ada perjuangan menuju sukses tanpa kesusahan. Aku yakin kok Allah pasti membalas.” Jawabku sok religius. “Kamu kok ngomong gitu? Siapa yang ngajarin?” Tanya Intan. “Bukankah kamu yang ngajarin?” jawabku sambil tertawa. Akhirnya kami tertawa bersama saat perjalanan pulang. Saat sampai dirumahku, aku memintanya agar dia menunggu diluar sebentar. “Aku masuk kamar ya Tan.” Seraya pergi ke kamar, “Agus, kenapa langsung pergi kekamar? Kamu marah sama aku?” Tanya dia dengan wajah murung. Aku tidak menghiraukannya, aku tetap masuk kamar. Dan akupun keluar membawa sebuah kotak dan memberikannya kepada Intan. “Ini janjiku kemaren, maaf ya ngak sempet ngasihnya kemaren. Selamat ulang tahun ya Intan.” Intan tersenyum, sambil menundukkan kepalanya. “Terima kasih ya Gus, kamu orang pertama yang bilang selamat ulang tahun kepadaku.” Setelah itu kami berbincang lama dan hari itu menjadi hari indah bagiku, kuharap bagi Intan pula.
            Setelah beberapa hari, pengumuman olimpiade sains diumumkan. Ternyata namaku adalah nama yang akan dikirimkan ke olimpiade, bersama Maulidya dan Mega. “Intan, kenapa? Ada apa denganmu?” Gumamku dalam hati. “Adakah yang salah? Kenapa ini.”.
            “Selamat ya Gus, aku seneng.” Terdengar suara Intan dibelakang sambil memegang pundakku.
            “Intan, kamu kenapa? Aku pengen kita sama-sama masuk.” Aku agak sedih karena dia tidak lulus menjadi peserta olimpiade. “Ya, kemaren aku belum selesai, saat liat kamu sendiri keluar kemaren, aku langsung ngumpulin jawaban biar kita bisa pulang bareng. Hehehe.... gak lulus deh.” Jawab Intan sambil tertawa. Aku bingung, aku sedih, tapi akupun gembira. Diantara ratusan siswa aku adalah salah satu siswa yang lulus mewakili SMP ke ajang bergensi itu.
            “Oke, aku berjanji tidak akan membuat kesempatan ini menjadi sia-sia, aku janji akan menang dan membuatmu bangga denganku.” Ucapku terhadap Intan.
            “Hmm. Awas ya, aku pegang kata-katamu. Aku pengen kamu menang dan menjadi nomor satu di bidang fisika.” Sambil memegang tanganku.
            Kadang-kadang kita sebagai manusia harus melalui masa-masa sulit untuk menjadi sukses. Karena tidak ada kesuksesan yang terjadi tanpa usaha yang besar, setiap kesuksesan terjadi dengan usaha yang besar pula. Bukan maslah kau sukses atau tidak, masalahnya adalah apakah kau menjadi teman yang baik atau tidak.
****