Wednesday, 21 November 2012

KAU INTAN DIHATIKU (CHAPT II)


Hari itu sangat terasa sekali teriknya sinar matahari, aku berjalan berdua dengan Intan. “Intan, rumahmu dimana? Masih jauh ngak? Hari ini panas sekali Tan.” Aku sedikit mengeluh dengan Intan. “Kamu laki-laki atau banci? Aku setiap hari jalan kaki, gak pernah ngeluh kayak ini.” Dengan nada dongkol dia menjawab pertanyaanku. Pantas saja betisnya besar, mungkin karena kebanyakan jalan. Setelah insiden memenangkan lomba iptek di SMP. Aku merasa semakin dekat saja dengan Intan, sering ngobrol berdua, main berdua bahkan keruang guru berdua. Intan adalah gadis tomboy, yang agak tinggi, alim, bersahaja dan hafal pancasila. Awalnya aku hanya biasa-biasa saja dengan dirinya atau mungkin belum punya perasaan apapun, maklum masih SMP belum puber dan belum mengenal cinta, tapi semua orang berpandangan beda. Mereka mengira kami berdua telah lama pacaran. Semakin lama akupun larut dalam perasaan. Hingga akhirnya aku memiliki perasaan sayang dengannya  bahkan perasaan itu masih ada sampai sekarang, mungkin karena dia adalah cinta pertamaku.
            Awalnya aku hanya mengikuti ektrakulikuler Pramuka. Aku memang tidak memiliki minat mengikuti kegiatan lainnya, karena memang aku lebih cocok dengan Pramuka. Tapi suatu hari ada temanku yang bilang “Eh, kamu tau ngak gus? Intan ikut klub olimpiade sains lho.” Sepertinya temenku yang satu ini ingin menjerumuskan aku kedalam jurang konsep dan rumus-rumus fisika, karena yang aku tau klub olimpiade itu kerjanya belajar setiap hari dan selalu menghafal rumus. “Bisa-bisa pecah kepalaku, konslet otakku.” Jawabku dengan nada bercanda, “Gimana ngak stres? Kerjanya belajar terus menerus dan menghafal rumus.” Ucapku sambil tertawa dengan dirinya.
            Akhirnya aku iseng-iseng ikut klub olimpiade dengan tujuan agar dapat selalu melihat Intan. Mungkin memang niat yang ada adalah niat yang tidak baik, tapi mau bagaimana lagi jika anak muda cinta monyet untuk yang pertama kalinya. Sebelum masuk kelas, aku sudah belajar dahulu semalam agar aku bisa menjawab setiap pertanyaan yang ada. Pada malam harinya aku bertanya kepada Ayahku “Ayah, ajarin aku listrik dong. Plis ya yah.” Akhirnya ayahku yang saat itu sedang mengerjakan tugas kantornya mengeluarkan sebuah rumus:
                                                            F
            Masih ingatkah kalian? Rumus apakah ini? Setelah saya bertanya tentang rumus ini. Selanjutnya aku bertanya lagi kepada ayahku “Ayah, aku suka sama seorang cewek ni, kenapa bisa gitu yah?” Dengan polosnya aku bertanya, “Kita kembali kerumus itu, F itu kita anggap sebagai rasa suka terhadap cewek tadi, q1 kita anggap kamu, q2 kita anggap dia dan r kita anggap jarak diantara kalian. Seandainya r memliki nilai besar berarti F memiliki nilai kecil, sedangkan kalo r memiliki nilai kecil F akan memiliki nilai besar. Begitulah rasa suka, semakin kalian jauh rasanya akan kecil, semakin kalian dekat rasanya akan dekat.” Jelas ayahku. “Apakah boleh yah, kalau kita pacaran? Soalnya kawan-kawan banyak yang pacaran.” Aku bertanya lagi karena belum puas dengan jawaban ayahku. “Hmmm, sebaiknya kamu pikir masa depanmu dulu, baru pacaran.” Jelas ayahku mengarahkan kearah yang baik. Setelah itu aku mengerti dan kembali fokus, tapi ngak bisa. Bagaimana lagi, aku baru sekali merasakan cinta, jadi wajar kalo lebay seperti ini.
            Tapi sisi baik disini adalah aku menjadi lebih semangat dalam belajar, apalagi kalo salah tingkah. Setelah aku mengenal Intan, kehidupanku berbalik arah menjadi 180 derajat. Dari tidak pernah lagi terlambat, tidak pernah lagi membuat masalah dan sekarang aku sering ikut ajang prestasi.
            Hari itu, tak seperti biasanya. Kalau biasanya aku pergi ke SMP, tapi pada hari ini aku pergi ke SMA. Sambil melihat kakak-kakak yang lebih tua memakai seragam putih abu-abu aku melamun, “Jadi pengen cepat-cepat masuk SMA.” Ucapku dalam hati sambil tersenyum. Kompetisi pun dimulai, aku agak gugup mengikuti kompetisi Cerdas Cermat tingkat kabupaten di salah satu SMA ternama di bangka. Aku, Maulidya dan Mega bertiga dibuat menjadi satu tim. Aku sangat semangat sekali, karena tidak mau kalah dengan Intan. Aku dan Intan tidak sekelompok, karena Intan satu kelompok dengan temanku yang lainnya.
            Tim yang maju duluan adalah tim Intan melawan dua tim lainnya. Aku tak menyangka, tim Intan kalah telak dengan tim lain. “Intan kalah, bagaimana dengan aku? Kalau aku kalah juga, bisa malu aku.” Ucapku dalam hati. Giliran kami tiba, kami melawan tim yang berasal dari sekolah andalan dan terpandang. “Gink, gila lawan kita cina semua, bakal kalah ni kita.” Ucapku kepada maulidya. “Banci ya? Kok takut ngelawan cina.” Maulidya membalas ucapanku dengan ejekan. Akhirnya soal demi soal bisa kami jawab, hingga terjadi persaingan antara SMP kami dan SMP 2 Sungailiat, SMP yang dikenal sebagai SMP terbaik di provinsi tempat aku tinggal. Hingga sampailah pada pertanyaan terakhir, skor kami saat itu adalah 1200 sama. “Sistem peredaran darah pada serangga merupakan sistem peredaran darah?” Sang MC selesai membaca soal. “Terbuka.” Jawabku dengan gegabah sambil membanting meja. “Salah, sistem peredarannya memakai trakea, jadi SMP 1 Sungailiat dikurangi point 50.” Tegas juri.
            “Instruksi bu, bukankah trakea adalah alat pernafasan serangga, sedangkan sistem peredaran darah serangga memakai sistem terbuka. Itulah yang membuat serangga mudah mengeluarkan darah jika dipencet, seperti belalang.” Aku mulai mengeluarkan protes karena kurang puas dengan pernyataan juri.
            “Bagaimana ahli?” Sang MC mulai menanyakan kebenarannya pada ahli yang berasal dari SMA.
            “Ya bu, benar kata anak itu. Serangga memakai sistem darah terbuka, sedangkan trakea adalah alat pernafasan serangga.” Pembelaan dari ahli kepadaku.
            “Ya, jadi pemenangnya adalah SMP 1 Sungailiat dengan point 1300.” Dengan diumumkan hasilnya oleh MC, Akhirnya kami sebagai pemenang.
            Semua guru pada saat itu senang dan gembira karena sudah tujuh tahun SMP kami tidak pernah lagi muncul dan menang dalam lomba-lomba tingkat kabupaten dan propinsi. Akhirnya kami mendapatkan hadiah berupa uang. Kami sepakat untuk bersedekah dengan uang yang kami dapatkan tadi.
            “hosh... hosh... hosh..” Berlari lagi dari rumah kesekolah, berusaha agar tidak terlambat. Keramaian jalan, banyak yang melihat aku berlari dengan tampang bahagia. Hari ini upacara bendera lagi. Tak seperti biasanya aku datang cepat, dan aku mengikuti upacara dengan tertib. Setelah upacara bendera kepala sekolah maju kedepan mimbar dan memanggil namaku. “Kepada anak kami Agus, Maulidya, dan Mega. Silahkan maju kedepan.” Ucap kepala sekolah. Kami pun maju kedepan, setelah itu kami diberi penghargaan yang berupa uang oleh kepala sekolah. Aku bingung itu uang apa, padahal kami sudah mengambil uang hadiah lomba dari dinas. “Ini simbol rasa bangga sekolah kepada mereka, karena mereka menyumbangkan uang dari Dinas Pendidikan untuk keperluan panti asuhan.” Ucap kepala sekolah dengan rasa bangga, “Tolong berikan tepuk tangan yang meriah untuk pahlawan kita.” Betapa bangganya diriku, anak yang biasanya menjadi preman dan jarang ikut upacara akhirnya sekarang tinggal kenangan. Yang ada hanyalah aku yang berprestasi.
            “Agustiawan, bisa ketemu ibu nanti? Ajak Intan dan anggota klub olimpiade lainnya ya.” Ibu Ely memanggilku. “Iya bu, nanti saya kabari.” Jawabku dengan lirih.
            Ibu Ely adalah pembina olimpiade sains, sangat baik dan lembut. “Ada apa lagi ini, mungkinkah akan banyak tugas yang menumpuk.” Gumamku dalam hati. “Agus, kenapa melamun?” Tiba-tiba terdengar suara Intan dari belakang. “Ngak ada apa-apa kok Tan, oh iya Tan. Kita disuruh Ibu Ely kumpul di kantor.” Aku mulai membuka pembicaraan. “Emangnya ada apa Gus?”  Tanya Intan dengan wajah bloonnya. “Yah, kalo aku tahu mana mungkin aku melamun Tan.” Jawabku sambil tersenyum. “Oh iya, selamat ya atas prestasinya kemaren.” Ucap Intan padaku. “Biasa aja kok Tan, jadi sekarang kita mau kemana?” Tanyaku. “Ya udah, mending sekarang kita pergi saja ke kantor.” Kata Intan sembari menarik tanganku.
            Saat di kantor, kami diberi pengumuman bahwa minggu depan akan diadakan seleksi olimpiade sains, lalu kami diberi modul dan kisi-kisi soal. “Mempersiapkan diri ya? Hmm, aku tak akan kalah denganmu Tan.” Dengan percaya diri dan tersenyum kepada Intan. “Ah, masak gak kalah? Liat aja nanti deh.” Balasnya dengan senyum. Sambil mempersiapkan diri menjelang olimpiade, kami selalu belajar bareng. Dengan adanya belajar bareng ini, aku memiliki banyak waktu untuk bersama dengan Intan.
            “Assalamualaikum, Intan.” Sambil mengetuk pintu rumahnya. Keluarlah seorang anak laki-laki yang berusia kira-kira 6 tahun. “Intanya ada dek?” Tanyaku kepada laki-laki kecil itu. “Ngak ada, Intannya udah mati.” Jawabnya dengan ketus. “Lho, kok mati dek?” Tanyaku dengan wajah bloon. Keluarlah sesosok wanita dari kamarnya, memakai jilbab merah muda, baju panjang dan membawa tas. “Oh Agus, maaf ya Gus, Aku mau pergi sekolah bahasa arab.” Dia bicara dengan nada kecewa. “Ya udah deh, kita sama-sama yok jalan ke sekolah bahasa arabmu.” Sambil tersenyum aku mengajak dan menarik tangannya. Dijalan kami saling bercanda, kami bercerita dan membahas pelajaran disekolah tadi. “Intan rajin sekali ya? Pulang sekolah jam tiga langsung berangkat belajar bahasa arab.” Aku memulai percakapan. “Ngak juga Gus, ini kan keharusan kita mempelajari Al-quran dan Bahasa Arab.” Jawabnya sambil tersenyum manis. Setelah itu aku tersadar bahwa sedekat apakah aku dengan tuhanku, sedekat apakah aku dengan kitab agamaku dan sejauh mana amal kebaikanku selama ini. Setelah berbicara bersama Intan, aku mulai rajin mengerjakan Ibadah, rajin mengaji dan terkadang melakukan ibadah sunnah.
            Aku berjalan kerumah Intan lagi, dengan rasa bahagianya aku membawa kado ulang tahunnya. “Assalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah Intan. Pada hari itu hujan yang sangat deras, aku berdiri menunggu diluar pintu rumahnya. Aku melihat seorang ibu yang membukakan pintu dan berkata “Intannya lagi jaga toko nak, di pasar mambo.” Ternyata Intan sedang melaksanakan rutinitasnya tiap malam, menjaga toko dipasar mambo. Hari ini ulangtahun Intan, aku sudah berjanji akan memberikan kado ulangtahunnya dan bertemu dengannya jam tujuh malam. Dia sepertinya telah menunggu sendiri ditokonya. Hujan yang tadi deras kini menjadi gerimis tajam, suasana dingin mulai menyelimuti. Intan sedang sibuk menjaga toko dan melayani pelanggan di tokonya, maklum dia memiliki toko aksesoris motor. Sambil beristirahat sebentar, Intan melamun sambil melihat jam yang telah menunjukkan jam delapan kurang. “Agus, kamu dimana? Janjinya jam tujuh, kok belum datang juga.” Gumamnya dalam hati agak gelisah.
Aku bingung, sekarang sudah jam delapan kurang. Terpaksa kutembus gerimis tajam yang menghalangi jalanku menuju tokonya, aku terus menerabas hujan dengan motorku. Pandanganku gelap, Tiba-tiba, “Glegar...” Suara motorku yang jatuh tergelincir ke tepi jalan, dan akupun terpental sejauh lima meter masuk ke bandar. Aku rasa kakiku sakit sekali, kaku susah bergerak. “Aduh.. sakit sekali.” Aku mencoba berdiri,  “Ada apa ini? Aku tak bisa berdiri. Kakiku berdarah, kakiku bolong, patah. Aduh apa lagi ini... sakitnya.” Aku mulai meringis kesakitan. “Tolong aku, tolong.” Aku tak kuat lagi menahan rasa sakit dikaki kananku, aku tak bisa lagi berteriak dijalanan basah yang diguyur gerimis tajam. Sampai datang orang yang menolongku. “Intan aku bukanlah teman yang baik, aku tak bisa menepati janjiku.” Aku hanya bisa bergumam didalam hati sambil terkapar menahan sakit. Jarum jam sekarang menunjukkan angka sembilan, “Agus, kau dimana? Kok belum datang juga.” Dengan rasa khawatir dia berbicara didalam hati. Dia menunggu  hingga menunjukkan angka sepuluh, dan akhirnya dia tertidur kelelahan. Disisi lain, aku merasa kesakitan bukan main, aku dibawa kerumah sakit hingga sampai dirumah sakit, aku mendapatkan pelayanan dan kakiku dijahit serta di pasang pen penunjang. Malam itu aku sangat sedih, aku belum bisa menepati janjiku ke Intan. Sambil menjatuhkan air mata, mataku terpejam. Kuharap tidak terpejam selamanya sebelum kutepati janjiku kepadanya.
Pagi yang cerah, indah dan harum dengan bau embun. “Aduh, kakiku masih sakit ma.” Ucapku kepada ibuku. “Sudah, ngak usah sekolah hari ini. Dokter juga bilang kamu butuh istirahat.” Ujar ibuku sambil menyuapiku makan. Saat disekolah Intan mencariku, “Ki, Agus dimana? Kok belum muncul juga.” Ucap intan dengan rasa khawatir. “Ngak tau juga, dia memang ngak sekolah hari ini.” Ucap riski sambil mengerjakan PR. “Aku takut dia marah sama aku.” Sambil menundukkan kepala Intan berkata seperti itu. “Kalo ngak salah dia sakit Tan, coba aja ntar kerumahnya. Semangat ya Tan. Jangan sedih.” Sambil tersenyum dan memegang pundak Intan. Pulang sekolah Intan kerumahku, “Assalamualaikum.” Ibuku keluar membukakan pintu, “Waalaikumsalam nak Intan, ada apa ya?” tanya ibuku dengan raut wajah gembira. “Agusnya ada bu?” dengan nada yang lirih dia. “Agus lagi di Rumah Sakit, ya biasa anak nakal.” Ibuku tersenyum. “Ya bu, salam sama Agus ya. Semoga cepat sembuh, saya pergi dulu ya bu.” Sambil tersenyum kepada ibuku. “Iya, ntar ibu sampaikan. Hati-hati dijalan ya.” Sambil memegang kepala Intan dan memberikan semangat agar dia tak sedih lagi. Intan membalikan badannya dan pergi dari rumahku.
Tak lama kemudian aku sampai dirumah, dengan dibantu orangtuaku aku masuk kekamarku. “Agus, tadi ada Intan lho kerumah.” Kata ibuku dengan nada jahilnya. “Ah, yang bener ma? Mama jangan main-main lah. Gak lucu ma, lagi sakit ni.” Agak dongkol kepada ibuku. Seharian penuh aku istirahat, aku menunggu datangnya besok pagi. Hari yang dinanti tiba juga, tepat pada jam delapan pagi tes olimpiade dilaksnakan. Tes dimulai, tapi aku belum datang juga. “Ya, waktunya seratus menit untuk lima soal, kerjakan!” Guruku sudah memulai kegiatan seleksi, tapi aku belum datang juga. Akhirnya pada jam sembilan kurang aku datang dengan kaki yang agak pincang. “Assalamualaikum, maaf bu. Saya terlambat karena tadi ngak ada angkot. Jadi saya berjalan dari rumah ke sini.” Ucapku sambil menarik nafas karena kelelahan. “Silahkan masuk, waktunya tinggal empat puluh menit lagi ya.” Sambil menyerahkan kertas ujian kepadaku.
Aku agak bingung, tanpa belajar mengerjakan soal fisika yang bisa membuat kepalaku pecah. Akhirnya, duapuluh menit kemudian aku keluar ruangan sambil memberikan kertas ujian. “Yakin udah selesai Gus?” Guruku meyakinkanku. “Yakin bu, kalo rejeki pasti Allah berikan jalan.” Jawabku tegas. “Iya bu, aku mau pulang dulu, kakiku udah mulai sakit.” Tak lama kemudian Intan mengumpulkan kertasnya, dia menyusulku. “Agus, tunggu! Kita pulang bareng yok.” Ajak Intan. “Kamu kok bandel banget? Udah tau kaki sakit, kenapa masih mau kesini?” Intan mulai prihatin sambil melihat kaki kananku. “Ya, mau gimana lagi Tan? Itulah perjuangan, ngak ada perjuangan menuju sukses tanpa kesusahan. Aku yakin kok Allah pasti membalas.” Jawabku sok religius. “Kamu kok ngomong gitu? Siapa yang ngajarin?” Tanya Intan. “Bukankah kamu yang ngajarin?” jawabku sambil tertawa. Akhirnya kami tertawa bersama saat perjalanan pulang. Saat sampai dirumahku, aku memintanya agar dia menunggu diluar sebentar. “Aku masuk kamar ya Tan.” Seraya pergi ke kamar, “Agus, kenapa langsung pergi kekamar? Kamu marah sama aku?” Tanya dia dengan wajah murung. Aku tidak menghiraukannya, aku tetap masuk kamar. Dan akupun keluar membawa sebuah kotak dan memberikannya kepada Intan. “Ini janjiku kemaren, maaf ya ngak sempet ngasihnya kemaren. Selamat ulang tahun ya Intan.” Intan tersenyum, sambil menundukkan kepalanya. “Terima kasih ya Gus, kamu orang pertama yang bilang selamat ulang tahun kepadaku.” Setelah itu kami berbincang lama dan hari itu menjadi hari indah bagiku, kuharap bagi Intan pula.
            Setelah beberapa hari, pengumuman olimpiade sains diumumkan. Ternyata namaku adalah nama yang akan dikirimkan ke olimpiade, bersama Maulidya dan Mega. “Intan, kenapa? Ada apa denganmu?” Gumamku dalam hati. “Adakah yang salah? Kenapa ini.”.
            “Selamat ya Gus, aku seneng.” Terdengar suara Intan dibelakang sambil memegang pundakku.
            “Intan, kamu kenapa? Aku pengen kita sama-sama masuk.” Aku agak sedih karena dia tidak lulus menjadi peserta olimpiade. “Ya, kemaren aku belum selesai, saat liat kamu sendiri keluar kemaren, aku langsung ngumpulin jawaban biar kita bisa pulang bareng. Hehehe.... gak lulus deh.” Jawab Intan sambil tertawa. Aku bingung, aku sedih, tapi akupun gembira. Diantara ratusan siswa aku adalah salah satu siswa yang lulus mewakili SMP ke ajang bergensi itu.
            “Oke, aku berjanji tidak akan membuat kesempatan ini menjadi sia-sia, aku janji akan menang dan membuatmu bangga denganku.” Ucapku terhadap Intan.
            “Hmm. Awas ya, aku pegang kata-katamu. Aku pengen kamu menang dan menjadi nomor satu di bidang fisika.” Sambil memegang tanganku.
            Kadang-kadang kita sebagai manusia harus melalui masa-masa sulit untuk menjadi sukses. Karena tidak ada kesuksesan yang terjadi tanpa usaha yang besar, setiap kesuksesan terjadi dengan usaha yang besar pula. Bukan maslah kau sukses atau tidak, masalahnya adalah apakah kau menjadi teman yang baik atau tidak.
****

No comments:

Post a Comment