Hari
itu sangat terasa sekali teriknya sinar matahari, aku berjalan berdua dengan
Intan. “Intan, rumahmu dimana? Masih jauh ngak? Hari ini panas sekali Tan.” Aku
sedikit mengeluh dengan Intan. “Kamu laki-laki atau banci? Aku setiap hari
jalan kaki, gak pernah ngeluh kayak ini.” Dengan nada dongkol dia menjawab
pertanyaanku. Pantas saja betisnya besar, mungkin karena kebanyakan jalan. Setelah
insiden memenangkan lomba iptek di SMP. Aku merasa semakin dekat saja dengan
Intan, sering ngobrol berdua, main berdua bahkan keruang guru berdua. Intan
adalah gadis tomboy, yang agak tinggi, alim, bersahaja dan hafal pancasila.
Awalnya aku hanya biasa-biasa saja dengan dirinya atau mungkin belum punya
perasaan apapun, maklum masih SMP belum puber dan belum mengenal cinta, tapi
semua orang berpandangan beda. Mereka mengira kami berdua telah lama pacaran.
Semakin lama akupun larut dalam perasaan. Hingga akhirnya aku memiliki perasaan
sayang dengannya bahkan perasaan itu
masih ada sampai sekarang, mungkin karena dia adalah cinta pertamaku.
Awalnya aku hanya mengikuti ektrakulikuler
Pramuka. Aku memang tidak memiliki minat mengikuti kegiatan lainnya, karena
memang aku lebih cocok dengan Pramuka. Tapi suatu hari ada temanku yang bilang
“Eh, kamu tau ngak gus? Intan ikut klub olimpiade sains lho.” Sepertinya
temenku yang satu ini ingin menjerumuskan aku kedalam jurang konsep dan
rumus-rumus fisika, karena yang aku tau klub olimpiade itu kerjanya belajar
setiap hari dan selalu menghafal rumus. “Bisa-bisa pecah kepalaku, konslet
otakku.” Jawabku dengan nada bercanda, “Gimana ngak stres? Kerjanya belajar
terus menerus dan menghafal rumus.” Ucapku sambil tertawa dengan dirinya.
Akhirnya aku iseng-iseng ikut klub
olimpiade dengan tujuan agar dapat selalu melihat Intan. Mungkin memang niat
yang ada adalah niat yang tidak baik, tapi mau bagaimana lagi jika anak muda
cinta monyet untuk yang pertama kalinya. Sebelum masuk kelas, aku sudah belajar
dahulu semalam agar aku bisa menjawab setiap pertanyaan yang ada. Pada malam
harinya aku bertanya kepada Ayahku “Ayah, ajarin aku listrik dong. Plis ya
yah.” Akhirnya ayahku yang saat itu sedang mengerjakan tugas kantornya
mengeluarkan sebuah rumus:
F
Masih ingatkah kalian? Rumus apakah
ini? Setelah saya bertanya tentang rumus ini. Selanjutnya aku bertanya lagi
kepada ayahku “Ayah, aku suka sama seorang cewek ni, kenapa bisa gitu yah?”
Dengan polosnya aku bertanya, “Kita kembali kerumus itu, F itu kita anggap
sebagai rasa suka terhadap cewek tadi, q1 kita anggap kamu, q2 kita anggap dia
dan r kita anggap jarak diantara kalian. Seandainya r memliki nilai besar
berarti F memiliki nilai kecil, sedangkan kalo r memiliki nilai kecil F akan memiliki
nilai besar. Begitulah rasa suka, semakin kalian jauh rasanya akan kecil,
semakin kalian dekat rasanya akan dekat.” Jelas ayahku. “Apakah boleh yah,
kalau kita pacaran? Soalnya kawan-kawan banyak yang pacaran.” Aku bertanya lagi
karena belum puas dengan jawaban ayahku. “Hmmm, sebaiknya kamu pikir masa
depanmu dulu, baru pacaran.” Jelas ayahku mengarahkan kearah yang baik. Setelah
itu aku mengerti dan kembali fokus, tapi ngak bisa. Bagaimana lagi, aku baru
sekali merasakan cinta, jadi wajar kalo lebay seperti ini.
Tapi sisi baik disini adalah aku menjadi
lebih semangat dalam belajar, apalagi kalo salah tingkah. Setelah aku mengenal
Intan, kehidupanku berbalik arah menjadi 180 derajat. Dari tidak pernah lagi
terlambat, tidak pernah lagi membuat masalah dan sekarang aku sering ikut ajang
prestasi.
Hari itu, tak seperti biasanya. Kalau biasanya aku pergi ke SMP, tapi pada hari
ini aku pergi ke SMA. Sambil melihat kakak-kakak yang lebih tua memakai seragam
putih abu-abu aku melamun, “Jadi pengen cepat-cepat masuk SMA.” Ucapku dalam
hati sambil tersenyum. Kompetisi pun dimulai, aku agak gugup mengikuti
kompetisi Cerdas Cermat tingkat kabupaten di salah satu SMA ternama di bangka.
Aku, Maulidya dan Mega bertiga dibuat menjadi satu tim. Aku sangat semangat
sekali, karena tidak mau kalah dengan Intan. Aku dan Intan tidak sekelompok,
karena Intan satu kelompok dengan temanku yang lainnya.
Tim yang maju duluan adalah tim
Intan melawan dua tim lainnya. Aku tak menyangka, tim Intan kalah telak dengan
tim lain. “Intan kalah, bagaimana dengan aku? Kalau aku kalah juga, bisa malu
aku.” Ucapku dalam hati. Giliran kami tiba, kami melawan tim yang berasal dari
sekolah andalan dan terpandang. “Gink, gila lawan kita cina semua, bakal kalah
ni kita.” Ucapku kepada maulidya. “Banci ya? Kok takut ngelawan cina.” Maulidya
membalas ucapanku dengan ejekan. Akhirnya soal demi soal bisa kami jawab,
hingga terjadi persaingan antara SMP kami dan SMP 2 Sungailiat, SMP yang
dikenal sebagai SMP terbaik di provinsi tempat aku tinggal. Hingga sampailah
pada pertanyaan terakhir, skor kami saat itu adalah 1200 sama. “Sistem
peredaran darah pada serangga merupakan sistem peredaran darah?” Sang MC
selesai membaca soal. “Terbuka.” Jawabku dengan gegabah sambil membanting meja.
“Salah, sistem peredarannya memakai trakea, jadi SMP 1 Sungailiat dikurangi
point 50.” Tegas juri.
“Instruksi bu, bukankah trakea
adalah alat pernafasan serangga, sedangkan sistem peredaran darah serangga
memakai sistem terbuka. Itulah yang membuat serangga mudah mengeluarkan darah
jika dipencet, seperti belalang.” Aku mulai mengeluarkan protes karena kurang
puas dengan pernyataan juri.
“Bagaimana ahli?” Sang MC mulai
menanyakan kebenarannya pada ahli yang berasal dari SMA.
“Ya bu, benar kata anak itu.
Serangga memakai sistem darah terbuka, sedangkan trakea adalah alat pernafasan
serangga.” Pembelaan dari ahli kepadaku.
“Ya, jadi pemenangnya adalah SMP 1
Sungailiat dengan point 1300.” Dengan diumumkan hasilnya oleh MC, Akhirnya kami
sebagai pemenang.
Semua guru pada saat itu senang dan
gembira karena sudah tujuh tahun SMP kami tidak pernah lagi muncul dan menang
dalam lomba-lomba tingkat kabupaten dan propinsi. Akhirnya kami mendapatkan
hadiah berupa uang. Kami sepakat untuk bersedekah dengan uang yang kami
dapatkan tadi.
“hosh... hosh... hosh..” Berlari
lagi dari rumah kesekolah, berusaha agar tidak terlambat. Keramaian jalan, banyak
yang melihat aku berlari dengan tampang bahagia. Hari ini upacara bendera lagi.
Tak seperti biasanya aku datang cepat, dan aku mengikuti upacara dengan tertib.
Setelah upacara bendera kepala sekolah maju kedepan mimbar dan memanggil
namaku. “Kepada anak kami Agus, Maulidya, dan Mega. Silahkan maju kedepan.”
Ucap kepala sekolah. Kami pun maju kedepan, setelah itu kami diberi penghargaan
yang berupa uang oleh kepala sekolah. Aku bingung itu uang apa, padahal kami
sudah mengambil uang hadiah lomba dari dinas. “Ini simbol rasa bangga sekolah
kepada mereka, karena mereka menyumbangkan uang dari Dinas Pendidikan untuk
keperluan panti asuhan.” Ucap kepala sekolah dengan rasa bangga, “Tolong
berikan tepuk tangan yang meriah untuk pahlawan kita.” Betapa bangganya diriku,
anak yang biasanya menjadi preman dan jarang ikut upacara akhirnya sekarang
tinggal kenangan. Yang ada hanyalah aku yang berprestasi.
“Agustiawan, bisa ketemu ibu nanti?
Ajak Intan dan anggota klub olimpiade lainnya ya.” Ibu Ely memanggilku. “Iya
bu, nanti saya kabari.” Jawabku dengan lirih.
Ibu Ely adalah pembina olimpiade
sains, sangat baik dan lembut. “Ada apa lagi ini, mungkinkah akan banyak tugas
yang menumpuk.” Gumamku dalam hati. “Agus, kenapa melamun?” Tiba-tiba terdengar
suara Intan dari belakang. “Ngak ada apa-apa kok Tan, oh iya Tan. Kita disuruh
Ibu Ely kumpul di kantor.” Aku mulai membuka pembicaraan. “Emangnya ada apa
Gus?” Tanya Intan dengan wajah bloonnya.
“Yah, kalo aku tahu mana mungkin aku melamun Tan.” Jawabku sambil tersenyum. “Oh
iya, selamat ya atas prestasinya kemaren.” Ucap Intan padaku. “Biasa aja kok
Tan, jadi sekarang kita mau kemana?” Tanyaku. “Ya udah, mending sekarang kita
pergi saja ke kantor.” Kata Intan sembari menarik tanganku.
Saat di kantor, kami diberi
pengumuman bahwa minggu depan akan diadakan seleksi olimpiade sains, lalu kami
diberi modul dan kisi-kisi soal. “Mempersiapkan diri ya? Hmm, aku tak akan
kalah denganmu Tan.” Dengan percaya diri dan tersenyum kepada Intan. “Ah, masak
gak kalah? Liat aja nanti deh.” Balasnya dengan senyum. Sambil mempersiapkan
diri menjelang olimpiade, kami selalu belajar bareng. Dengan adanya belajar
bareng ini, aku memiliki banyak waktu untuk bersama dengan Intan.
“Assalamualaikum, Intan.” Sambil
mengetuk pintu rumahnya. Keluarlah seorang anak laki-laki yang berusia
kira-kira 6 tahun. “Intanya ada dek?” Tanyaku kepada laki-laki kecil itu. “Ngak
ada, Intannya udah mati.” Jawabnya dengan ketus. “Lho, kok mati dek?” Tanyaku
dengan wajah bloon. Keluarlah sesosok wanita dari kamarnya, memakai jilbab
merah muda, baju panjang dan membawa tas. “Oh Agus, maaf ya Gus, Aku mau pergi
sekolah bahasa arab.” Dia bicara dengan nada kecewa. “Ya udah deh, kita
sama-sama yok jalan ke sekolah bahasa arabmu.” Sambil tersenyum aku mengajak
dan menarik tangannya. Dijalan kami saling bercanda, kami bercerita dan
membahas pelajaran disekolah tadi. “Intan rajin sekali ya? Pulang sekolah jam
tiga langsung berangkat belajar bahasa arab.” Aku memulai percakapan. “Ngak
juga Gus, ini kan keharusan kita mempelajari Al-quran dan Bahasa Arab.”
Jawabnya sambil tersenyum manis. Setelah itu aku tersadar bahwa sedekat apakah
aku dengan tuhanku, sedekat apakah aku dengan kitab agamaku dan sejauh mana
amal kebaikanku selama ini. Setelah berbicara bersama Intan, aku mulai rajin
mengerjakan Ibadah, rajin mengaji dan terkadang melakukan ibadah sunnah.
Aku berjalan kerumah Intan lagi,
dengan rasa bahagianya aku membawa kado ulang tahunnya. “Assalamualaikum.” Aku
mengetuk pintu rumah Intan. Pada hari itu hujan yang sangat deras, aku berdiri
menunggu diluar pintu rumahnya. Aku melihat seorang ibu yang membukakan pintu
dan berkata “Intannya lagi jaga toko nak, di pasar mambo.” Ternyata Intan
sedang melaksanakan rutinitasnya tiap malam, menjaga toko dipasar mambo. Hari
ini ulangtahun Intan, aku sudah berjanji akan memberikan kado ulangtahunnya dan
bertemu dengannya jam tujuh malam. Dia sepertinya telah menunggu sendiri
ditokonya. Hujan yang tadi deras kini menjadi gerimis tajam, suasana dingin
mulai menyelimuti. Intan sedang sibuk menjaga toko dan melayani pelanggan di
tokonya, maklum dia memiliki toko aksesoris motor. Sambil beristirahat
sebentar, Intan melamun sambil melihat jam yang telah menunjukkan jam delapan
kurang. “Agus, kamu dimana? Janjinya jam tujuh, kok belum datang juga.”
Gumamnya dalam hati agak gelisah.
Aku
bingung, sekarang sudah jam delapan kurang. Terpaksa kutembus gerimis tajam
yang menghalangi jalanku menuju tokonya, aku terus menerabas hujan dengan
motorku. Pandanganku gelap, Tiba-tiba, “Glegar...” Suara motorku yang jatuh
tergelincir ke tepi jalan, dan akupun terpental sejauh lima meter masuk ke
bandar. Aku rasa kakiku sakit sekali, kaku susah bergerak. “Aduh.. sakit
sekali.” Aku mencoba berdiri, “Ada apa
ini? Aku tak bisa berdiri. Kakiku berdarah, kakiku bolong, patah. Aduh apa lagi
ini... sakitnya.” Aku mulai meringis kesakitan. “Tolong aku, tolong.” Aku tak
kuat lagi menahan rasa sakit dikaki kananku, aku tak bisa lagi berteriak
dijalanan basah yang diguyur gerimis tajam. Sampai datang orang yang
menolongku. “Intan aku bukanlah teman yang baik, aku tak bisa menepati
janjiku.” Aku hanya bisa bergumam didalam hati sambil terkapar menahan sakit. Jarum
jam sekarang menunjukkan angka sembilan, “Agus, kau dimana? Kok belum datang
juga.” Dengan rasa khawatir dia berbicara didalam hati. Dia menunggu hingga menunjukkan angka sepuluh, dan
akhirnya dia tertidur kelelahan. Disisi lain, aku merasa kesakitan bukan main,
aku dibawa kerumah sakit hingga sampai dirumah sakit, aku mendapatkan pelayanan
dan kakiku dijahit serta di pasang pen penunjang. Malam itu aku sangat sedih,
aku belum bisa menepati janjiku ke Intan. Sambil menjatuhkan air mata, mataku
terpejam. Kuharap tidak terpejam selamanya sebelum kutepati janjiku kepadanya.
Pagi
yang cerah, indah dan harum dengan bau embun. “Aduh, kakiku masih sakit ma.”
Ucapku kepada ibuku. “Sudah, ngak usah sekolah hari ini. Dokter juga bilang
kamu butuh istirahat.” Ujar ibuku sambil menyuapiku makan. Saat disekolah Intan
mencariku, “Ki, Agus dimana? Kok belum muncul juga.” Ucap intan dengan rasa
khawatir. “Ngak tau juga, dia memang ngak sekolah hari ini.” Ucap riski sambil
mengerjakan PR. “Aku takut dia marah sama aku.” Sambil menundukkan kepala Intan
berkata seperti itu. “Kalo ngak salah dia sakit Tan, coba aja ntar kerumahnya.
Semangat ya Tan. Jangan sedih.” Sambil tersenyum dan memegang pundak Intan. Pulang
sekolah Intan kerumahku, “Assalamualaikum.” Ibuku keluar membukakan pintu,
“Waalaikumsalam nak Intan, ada apa ya?” tanya ibuku dengan raut wajah gembira.
“Agusnya ada bu?” dengan nada yang lirih dia. “Agus lagi di Rumah Sakit, ya
biasa anak nakal.” Ibuku tersenyum. “Ya bu, salam sama Agus ya. Semoga cepat
sembuh, saya pergi dulu ya bu.” Sambil tersenyum kepada ibuku. “Iya, ntar ibu
sampaikan. Hati-hati dijalan ya.” Sambil memegang kepala Intan dan memberikan
semangat agar dia tak sedih lagi. Intan membalikan badannya dan pergi dari
rumahku.
Tak
lama kemudian aku sampai dirumah, dengan dibantu orangtuaku aku masuk
kekamarku. “Agus, tadi ada Intan lho kerumah.” Kata ibuku dengan nada jahilnya.
“Ah, yang bener ma? Mama jangan main-main lah. Gak lucu ma, lagi sakit ni.”
Agak dongkol kepada ibuku. Seharian penuh aku istirahat, aku menunggu datangnya
besok pagi. Hari yang dinanti tiba juga, tepat pada jam delapan pagi tes
olimpiade dilaksnakan. Tes dimulai, tapi aku belum datang juga. “Ya, waktunya
seratus menit untuk lima soal, kerjakan!” Guruku sudah memulai kegiatan
seleksi, tapi aku belum datang juga. Akhirnya pada jam sembilan kurang aku
datang dengan kaki yang agak pincang. “Assalamualaikum, maaf bu. Saya terlambat
karena tadi ngak ada angkot. Jadi saya berjalan dari rumah ke sini.” Ucapku
sambil menarik nafas karena kelelahan. “Silahkan masuk, waktunya tinggal empat
puluh menit lagi ya.” Sambil menyerahkan kertas ujian kepadaku.
Aku
agak bingung, tanpa belajar mengerjakan soal fisika yang bisa membuat kepalaku
pecah. Akhirnya, duapuluh menit kemudian aku keluar ruangan sambil memberikan
kertas ujian. “Yakin udah selesai Gus?” Guruku meyakinkanku. “Yakin bu, kalo rejeki
pasti Allah berikan jalan.” Jawabku tegas. “Iya bu, aku mau pulang dulu, kakiku
udah mulai sakit.” Tak lama kemudian Intan mengumpulkan kertasnya, dia
menyusulku. “Agus, tunggu! Kita pulang bareng yok.” Ajak Intan. “Kamu kok
bandel banget? Udah tau kaki sakit, kenapa masih mau kesini?” Intan mulai
prihatin sambil melihat kaki kananku. “Ya, mau gimana lagi Tan? Itulah
perjuangan, ngak ada perjuangan menuju sukses tanpa kesusahan. Aku yakin kok
Allah pasti membalas.” Jawabku sok religius. “Kamu kok ngomong gitu? Siapa yang
ngajarin?” Tanya Intan. “Bukankah kamu yang ngajarin?” jawabku sambil tertawa.
Akhirnya kami tertawa bersama saat perjalanan pulang. Saat sampai dirumahku,
aku memintanya agar dia menunggu diluar sebentar. “Aku masuk kamar ya Tan.” Seraya
pergi ke kamar, “Agus, kenapa langsung pergi kekamar? Kamu marah sama aku?”
Tanya dia dengan wajah murung. Aku tidak menghiraukannya, aku tetap masuk
kamar. Dan akupun keluar membawa sebuah kotak dan memberikannya kepada Intan.
“Ini janjiku kemaren, maaf ya ngak sempet ngasihnya kemaren. Selamat ulang
tahun ya Intan.” Intan tersenyum, sambil menundukkan kepalanya. “Terima kasih
ya Gus, kamu orang pertama yang bilang selamat ulang tahun kepadaku.” Setelah
itu kami berbincang lama dan hari itu menjadi hari indah bagiku, kuharap bagi
Intan pula.
Setelah beberapa hari, pengumuman
olimpiade sains diumumkan. Ternyata namaku adalah nama yang akan dikirimkan ke
olimpiade, bersama Maulidya dan Mega. “Intan, kenapa? Ada apa denganmu?”
Gumamku dalam hati. “Adakah yang salah? Kenapa ini.”.
“Selamat ya Gus, aku seneng.”
Terdengar suara Intan dibelakang sambil memegang pundakku.
“Intan, kamu kenapa? Aku pengen kita
sama-sama masuk.” Aku agak sedih karena dia tidak lulus menjadi peserta
olimpiade. “Ya, kemaren aku belum selesai, saat liat kamu sendiri keluar
kemaren, aku langsung ngumpulin jawaban biar kita bisa pulang bareng.
Hehehe.... gak lulus deh.” Jawab Intan sambil tertawa. Aku bingung, aku sedih,
tapi akupun gembira. Diantara ratusan siswa aku adalah salah satu siswa yang
lulus mewakili SMP ke ajang bergensi itu.
“Oke, aku berjanji tidak akan
membuat kesempatan ini menjadi sia-sia, aku janji akan menang dan membuatmu
bangga denganku.” Ucapku terhadap Intan.
“Hmm. Awas ya, aku pegang
kata-katamu. Aku pengen kamu menang dan menjadi nomor satu di bidang fisika.”
Sambil memegang tanganku.
Kadang-kadang kita sebagai manusia
harus melalui masa-masa sulit untuk menjadi sukses. Karena tidak ada kesuksesan
yang terjadi tanpa usaha yang besar, setiap kesuksesan terjadi dengan usaha
yang besar pula. Bukan maslah kau sukses atau tidak, masalahnya adalah apakah
kau menjadi teman yang baik atau tidak.
****
No comments:
Post a Comment