Wednesday, 24 December 2014

NASIB IBU DI KALA MERAYAKAN HARI IBU?

Assalamualaikum. 

Spesial Thanks for MAMA.
Present for you all.     

Karena kemarin adalah hari Ibu, seluruh Indonesia merayakannya begitu. Aku juga nggak tau apa dan bagaimana kenapa tanggal 22 Desember adalah hari ibu. Maaf banget telat, karena banyak banget kesibukan selama beberapa hari ini. Yah tentunya agar nggak terlalu basi, aku mau nulisnya sekarang. Ketika masih ada waktu luang, dan inilah persembahan untuk ibuku. J
            Yang jelas kita memang butuh waktu yang menjadi momentum untuk mengingat ibu, jujur aja! Aku kadang-kadang ingat ibu Cuma waktu sakit, bokek, susah, dan sangat jarang ingat ibu disaat sedang nyaman. Wow? Ya, kalo ente-ente juga jujur pasti sama kan?
            Kata “Surga ditelapak kaki ibu” adalah kata yang sangat sering kita dengar, tapi bukan berarti kita cuci kaki ibu terus minum aer cuciannya ya, salah kaprah banget tau nggak.
            Disela-sela kegiatan yang padat ini, aku pengen memberikan apresiasi yang sangat besar kepada ibuku, nenekku, ayahku yang pernah jadi ibu sementara buat aku, pengasuhku waktu bayi, dan semua ibu yang ada didunia.
            Di kala kita merayakan hari ibu, tahukah anda jika banyak ibu yang menderita ketika melahirkan? Angka kematian ibu tahun lalu aja 359/100.000 angka kelahiran bayi. Bayangin aja, betapa mulianya seorang ibu yang melahirkan seorang manusia mungil tak berdosa, bertaruh dengan nyawa. Bahkan tak sedikit ibu yang kena komplikasi melahirkan. Belum lagi ibu yang terkena Diabetes Gestasional, eklamsi, dan beresiko terkena penyakit degenerative lainnya setelah melahirkan.
            Belum cukup itu, ada beberapa suku yang mengasingkan seorang perempuan yang dating bulang, ada pula yang mengasingkan ibu yang sedang dalam masa nifas, bahkan mengasingkan ibu yang sedang hamil dipedalaman hutan. Ada juga beberapa bangsa yang memiliki adat “Wanita Hamil Makan Terakhir”. Jadi kayak gini, seorang perempuan boleh mengambil makanan setelah semua anggota keluarganya telah mendapatkan makanan. Oke kalau masih ada sisa, kalo tidak bagaimana? Kalo ada tapi sedikit bagaimana? Bagaimana dengan kebutuhan gizi seorang wanita hamil? Berbahaya bukan? Dan ini adalah cerita lama dari WHO. Kesetaraan gender memang perlu diwaktu yang tepat, seperti kasus diatas.
            Pendidikan, gizi, maupun perhatian kesehatan ke ibu memang masih kurang dan bahkan ada yang belum dapat terjangkau. Kepercayaan akan mitos-mitos jaman dulu juga terkadang dapat menyebabkan hambatan maupun komplikasi pasca natal. Seperti, tindakan persalinan oleh dukun beranak yang tidak terlatih. Bahkan ada juga yang memanaskan (maaf) lubang bersalin dengan bara yang memang itu tidak steril.
            Akses pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau, terkadang menyebabkan sebuah pos kesehatan hanya sebuah symbol didekat desa tersebut. Seperti di Indonesia yang memiliki distribusi penduduk yang beraneka ragam jika kita tinjau dengan ilmu antropologi. Kondisi masyarakat di Jawa, Sumatera, Papua, Kalimantan dan lainnya sangat berbeda. Seperti di Jawa yang aksesnya mudah, tida seperti di Papua maupun Kalimantan yang terkadang ibu hamil dan suaminya harus bernyanyi “mendaki gunung melewati lembah, sungai mengalir indah kelautan.”.
            Ini bukan guyonan, aku serius lho. Lantas, apakah kita hanya akan berpangku tangan? Apakah hari ibu adalah symbol? Celebrasi yang memang aku rasa nggak ada manfaatnya jika “Maternal Care” tidak kita perbaiki. Celebrasi tak akan mengubah apapun bung, tunjukkan kepedulianmu akan pencapaian penurunan Angka Kematian Ibu minimal menjadi 100/100.000 kelahiran, kalo bisa jadi 0/100.000 kelahiran walaupun saya rasa itu mustahil.
            Keselamatan ibu adalah tanggung jawab semua manusia, bukan Cuma dokter, bidan, perawat dan suami. Tapi adalah kewajiban dari semua manusia yang memang masih memiliki nurani.

Perjuangan Ibuku    
Overall, aku terima kasih banget sama ibuku yang sudah susah-susah melahirkan aku. Mengandung selama 9 bulan 10 hari (walaupun nggak mungkin setepat itu), kalo kata ibuku rasa melahirkan itu sakit banget dan ibuku dapet banyak jahitan. Didalam rumah peninggalan Belanda (yang kini jadi balai kecamatan) tua yang kata ayahku kalo ada angina putting beliung langsung roboh.
            Tak cukup itu, ibuku juga dulu kena komplikasi pascanatal dan juga kena babyblues syndrome. Sehingga dirawat dirumah sakit dalam waktu yang lama. Jadi nggak ada alasan untuk membantah dan mengecewakan ibuku. Selanjutnya, ayah menyuruh ibuku yang sewaktu itu udah jadi PNS Guru untuk berhenti menjadi PNS dikarenakan ayahku ingin ibuku focus mengurus anaknya.
            Dulu ibuku juga pernah jadi single parents selama bertahun-tahun, ketika ayahku disekolahkan ke Swiss oleh kementrian pekerjaan umum. Waktu itu aku masih kecil banget, usia baru 4 tahun. Kemana-mana jalan sama ibu, sampe aku pernah jatuh dan kepalaku berdarah. Siapa yang bawa kerumah sakit? ibu juga toh. Hingga saat ini memang cerita-cerita kenangan di masa kecil ketika hidup masih dipangkuan ibu sangatlah menyenangkan dan membuat haru.
            Skip ke masa SD ketika ayahku diambil oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) untuk menangani pembangunan didaerah tertinggal, kembali ibu jadi single parent. Aku tau banget kalo ibu itu nggak mengendarai sepeda motor. Lalu apa yang terjadi? Ibu belajar naik motor buat nganter aku ke sekolah dulu. Jalan motornya pelan banget sampe-sampe kalo ada orang lari bisa saja menyusul motor yang dikendarai ibu. Trus, kami juga pernah nyunsep ke got/parit, untung aja nggak masuk ke sungai musi.
            Masih ingat juga nggak kalo dulu aku di kelas 1 SD adalah anak terbelakang? Yah, orang-orang sering bilang aku idiot. Kalo nggak salah aku ranking 26 dari 26 orang siswa. Kemudian ibu yang saat itu mengambil rapot nggak marah sama sekali, ibu malah memberikan semangat bahwasanya kamu pasti bisa. Setiap tahun begitu, beliau tak pernah menuntut untuk dapet nilai besar, sudah mau sekolah aja syukur. Walaupun hingga akhirnya aku bisa selalu menjadi ranking 3 besar dikelas. Itu semua atas kebaikan ibu.
            Dulu ayah sibuk banget sama Golkar, tiap beberapa bulan dia pergi mengikuti kegiatan golkar. Yah, ibu nggak pernah protes, nggak pernah terlihat didepan kami kalo ibu sedih ataupun marah. Melihat wajah yang selalu mengalah itupun tak pernah juga membuat kami tega untuk menanggis atau bahkan buat bertanya kemana ayah.
            Saat aku kelas enam SD sampai kelas 2 SMP ibu kembali jadi single parent, semua peran harus dia mainkan. Mengurusi tiga anaknya, dan membuat kami untuk tidak bertanya kemana ayah? Ya, kalo kita ceritakan perjuangan ibu nggak ada habis-habisnya.
            Pekerjaan yang tak pernah libur. Ibu bekerja 24 jam sehari, 7 hari satu minggu, 30 hari satu bulan, bahkan 365 atau 366 hari setahun. Tanpa digaji lho? Nggak ada waktu istirahat, dia boleh makan ketika orang yang dicintainya sudah makan. Dia nggak bisa tidur ketika ada bayi yang menanggis, kita yang rewel ketika ingin meminta sesuatu kepadanya. Ditambah lagi anaknya sering buat olah, dia akan berdoa ketika suatu saat anakku bisa menjadi manusia yang berguna.
            Ketika ayah mau diambil ke Kementrian, ibulah orang pertama yang melarang. Ibu berkata, “Tega kamu meninggalkan banyak orang yang masih membutuhkan kita? Yang masih bergantung kepada kita.”, ibu sering mengajarkan kami kesederhanaan, mengajarkan kami untuk membantu banyak orang. Ibu tak pernah meminta yang macam-macam kepada ayah, bahkan kerap kami melihat beliau menjual perhiasan yang sudah disimpan dari jaman kami baru lahir hanya untuk membuat anaknya tersenyum.
Yang jelas kalo mau cari istri kayak ibu ajalah, perfect dah. Ibu nggak pernah minta yang aneh-aneh dari ayah. Bahkan ketika ayah mendapatkan jabatan sebagai kepala dinas pekerjaan umum, ibu berkata kepada ayah “Coba pikirkan baik-baik, jabatan tidak akan membuat kita bahagia. Datangilah pak bupati bilang mungkin kamu menolaknya. Aku takutnya kau Cuma jadi tumbal mereka saja.” Walaupun ayahku tidak mengubrisnya, ibuku bilang “Jangan pernah kau bawa uang hasil korupsi untuk makan anak-anakmu, haram itu.” Begitulah seru ibuku ketika itu kami semua kaget karena tak biasanya ibu bicara kasar kepada ayah.
Walaupun beberapa tahun kemudian apa yang dikatakan ibu itu benar, ayah dijebloskan ke penjara akibat tuduhan kelalaian administrasi. Saat itu aku masih tingkat satu sampai tingkat dua akhir kuliah di kedokteran. Yah seperti biasa ibu harus mencari uang biar ketiga anaknya bisa bersekolah dengan tenang. Walaupun bantuan demi bantuan dari orang-orang yang dulu pernah ditolong ayah dan ibu juga dating bergantian. Saat itu ibu sudah menjadi seperti pengemis, beliau mendatangi sekda, dan bupati. Aku juga berusaha untuk mendapatkan beasiswa untuk mencukupi uang kuliahku, membantu sedikit-demi sedikit untuk mencukupi uang jajanku baik dengan cara mengajar maupun berjualan.
Hingga akhirnya supir ayahku dan kakakku yang Alhamdulillah beliau sangat setia menjaga ibuku menelponku, mereka mengabarkan bahwa kesehatan ibu menurun, itu yang membuat diriku shock. Konflik batinpun terjadi ketika aku berfikir untuk mau berhenti kuliah atau pindah kuliah dikarenakan memang aku nggak tega mendengar hal tersebut terjadi pada ibuku. Walaupun akhirnya ibuku melarang aku untuk pulang.
Setelah ibu sehat, ibu kembali “berulah”, beliau memasukkan lamaran pekerjaan ke dinas kebersihan sebagai tukang sapu. Dan memang bagiku hal tersebut sangat menjijikkan, ibuku yang sarjana pendidikan, kenapa dia mau melamar pekerjaan menjadi tukang sapu? Jawabannya lumayan dapet 800.000 perbulan kan minimal bisa untuk uang jajan kalian. Karena memang kita nggak punya apa-apa lagi. Kembali aku menelpon supir ayahku dan kakakku, aku marah sekali kenapa mereka tidak mengawasi, aku suruh mereka menarik lamaran pekerjaan itu.
Hingga akhirnya aku juga putus asa, ya sudah aku daftar CPNS di Sekretariat Jendral MPR. Tapi tiba-tiba ibu menelpon dan dia berkata, “Jangan berhenti kuliah, harapan kami berdua dirimu jadi dokter, bukan jadi yang lain. Kabulkanlah harapan kami berdua. Apapun akan kami lakukan, Banyak yang masih bisa dijual, kita bisa jual rumah, mobil, dan bahkan semuanya. Makan singkong udah biasa, lauk Cuma garam sudah biasa, tinggal dirumah kayu sudah biasa, nggak punya mobil dan motor sudah biasa.” Akupun terdiam ketika ibu berkata seperti itu, “Dan yang lebih pentih, jadilah sampel untuk orang-orang bahwa anak orang yang difitnah dan susah ternyata bisa berguna untuk banyak orang.”
Garis bawahi ibu selalu menekankan untuk menjadi “BERGUNA” untuk banyak orang, simple kan?.

HARAPANKU DIHARI IBU
Seperti yang pernah aku katakana dengan temenku Gita yang kuliah di UGM, tentang harapan dihari ibu. Pesan BBMnya begini:
Harapanku kepada banyak wanita “Wanita adalah makhluk yang mulia, dari rahim-nya-lah keluar seorang makhluk tak berdosa yang suci lahir dan batin. Maka muliakanlah diri kalian dan jadilah ibu yang baik untuk anak-anak masing-masing dari kalian nanti, agar anak-anak masing-masing dari kalian kelak lebih mulia dari kalian. Aamiin.”
Harapanku kepada semua ibu, “Overall, Selamat Hari Ibu dan perjuangkan selalu hak kalian para wanita. Asupan gizi yang baik, perhatian dari petugas kesehatan, bahkan kalian berhak mendapatkan kehidupan yang layak dari laki-laki.”
Harapanku untuk petugas kesehatan, “Selamat Hari Ibu, dan juga terimakasih atas bantuan para bidan yang juga merupakan ibu dan membantu proses persalinan banyak ibu. Harapan-ku ditahun ini dalam rangka Hari Ibu, tingkatkan maternal care, menghancurkan diskriminasi gender kepada ibu, semoga semua keluarga tahu bahwa asupan gizi ibu hamil sangatlah penting sehingga mereka didahulukan, semua tenaga kesehatan mau turun kelapangan untuk meninjau maternal care, tersedianya dan terjangkaunya fasilitas kesehatan kepada ibu, ambulan gratis untuk ibu melahirkan, dan yang terpenting dari itu kita muliakan ibu yang sebenarnya telah memiliki resiko kematian 359/100.000 angka kelahiran dengan cara menurunkan angka tersebut menjadi 100 atau kalo bisa tidak ada anak yang lahir dalam keadaan piatu.”

Thanks for attention, Wassalam
Agustiawan Imron :) 
<photo id="1" />

Saturday, 22 November 2014

IRISAN LINGKARAN PERSAHABATAN

Perjalanan terkadang akan menyisakan jejak perjalanan yang beragam. Tergantung bentuk sepatu maupun luas alas penampang sepatumu. Begitulah hidupmu, kau akan meninggalkan jejak ataupun sesuatu yang entah itu akan dikenang sesuai dengan apa yang telah kau lakukan selama ini. Tak perduli siapapun kamu, karena manusia tak dilihat dari cara dia hidup, melainkan dari cara dirinya meninggalkan dunia ini.
            Terkadang aku merasakan kita memiliki satu kesamaan, masih hidup disiklus yang sama dan terkadang apakah yang aku pikirkan itu benar?
            “Hey, harusnya kamu sudah ada disini setengah jam yang lalu!” ucap perempuan itu kepada laki-laki yang sedang menelpon nan jauh disana.
            Dulu kau sering bercerita uring-uringan kepadaku, tentang sesuatu yang memang menimbulkan sebuah perasaan tak terduga. Tapi siapa yang tau dan bagaimana jika kau yang membuatku jatuh cinta.
            Laki-laki yang sedang dalam perjalanan di Demang Daun Lebar itu langsung menyela, “Iya, sabar sebentar ya. Macet dijalan.” Sambil mematikan HP-nya yang sendari tadi ditelpon oleh seorang perempuan galak yang menunggu di tumpukan buku itu.
            Memang terkadang sedikit menyebalkan ketika dirimu harus tahu bahwa perempuan terkadang lebih dewasa dari pada laki-laki, bahkan lebih on time dari pada laki yang selalu oon time.
            Di Perpustakaan Propinsi yang megah itu dia sendirian mencari buku diantara rak buku yang berjajar rapi dari pintu masuk ke pintu keluar. Bahkan disini kita ditemani oleh lagu-lagu yang menambah harmoni akan kecintaan kita kepada suasana yang tenang dan merdu.
            Tertatih laki-laki itu berlari setelah memarkirkan motornya diantara deret motor yang tersusun seperti di show room.
            Aku langsung masuk ke perpustakaan melepaskan sepatuku, karena lantai disini dilapisi oleh karpet merah yang tebal. Bahkan sangat nyaman kalo kamu tidur disini. Seandainya pemerintah bisa memberikan “Kartu Indonesia Sabar” kepada seluruh wanita yang ada didunia ini, mungkin aku tak perlu lagi berlari terburu-buru seperti ini.
            “Haloo Qunut!” ucapku mengejutkannya dari belakang.
            Qunut yang memang sepertinya tidak terkejut itupun langsung pura-pura terkejut seperti mengejekku. “Hahaha, mana bisa kamu mengejutkan perempuan!”.
            “Kenapa?” tanyaku penasaran.
            “Perempuan memiliki banyak mata tau, bahkan dia bisa mengetahui apa yang tidak terlihat. Bahkan hanya bisa merasakan sesuatu yang Cuma bisa dirasa!” ucap Qunut berteori.
            Sejenak kami berdua diam setelah saling membuang senyum. Aku sangat penasaran sekali dengan perempuan yang ada didepanku ini. Hanya saja, dia tak pernah membuka dirinya untuk aku ketahui lebih dalam.
Padahal dia adalah perempuan idola banyak kaum Adam disini. Ntah kenapa dia lebih berat dekat denganku padahal banyak laki-laki yang lalu lalang diluar sana menanti. Bahkan memperjuangan dengan banyak cara, tapi tak pernah dihiraukannya.
“Eh… tumben ngajak ketempat yang kayak gini.” Ucap Qunut sambil mencari-cari buku yang ada didekat rak.
Aku kurang mengerti kenapa perempuan selalu bisa menghabiskan waktunya dengan membaca, menghabiskan waktunya dengan sesuatu yang menurutku membosankan. Bahkan mereka sangat marah ketika diganggu membaca.
“Lho, emangnya kenapa?” ucapku yang sedang mengikutinya dari samping.
Qunut mengambil salah satu buku dari raknya, kemudian dia seolah-olah memberikan pesan tersirat untuk mengikutinya duduk dikursi sambil membuka bukunya. “Kamu biasanya kan malas membaca?” ucapnya tenang.
Aku hanya tertegun melihatnya berbicara, dia tetap focus membuka lembaran kertas yang ada ditangannya. “Aku tau ini bukan tempatmu.” Ucapnya singkat.
aku menyela pembicaraannya, “Kamu kenal sama Susi?” ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan yang semakin ngawur ini.
“Kenal, kenapa? Itu kan teman dekatku sewaktu kecil Gus.” Ucap Qunut bersemangat.
Aku tertawa kecil sambil berkata licik didalam hati, “Akhirnya pengalihan perhatianku berhasil juga.”
Aku melanjutkan pembicaraan, “Susi kan temen bimbel aku kemarin. Orangnya asik kok diajak bicara. Apalagi diajak bercanda, pokoknya TOP banget deh.” Ucapku menceritakan temannya yang ternyata temanku juga.
Akhirnya hari ini kami habiskan dengan bercerita tentang teman-teman yang ternyata adalah irisan dari teman kami berdua. Jika ternyata temanmu adalah irisan dari temanku juga, bukankah berarti kita berada diantara lingkaran pertemanan yang sama bukan?
Tak terasa setengah jam telah berlalu, aku masih menggunakan seragam kampus begitupun dia menggunakan baju putih dengan rok panjang dan jilbab panjang berwarna krem. Sejanak kami terdiam sebentar, saling melihat sambil tersipu malu setelah tertawa lama bersama.
“Kenapa kita tidak bertemu dari dulu ya?” ucapku kepada Qunut yang sudah mulai menutup bukunya.
Qunut mulai merapikan meja tempat dia membaca, “Hmmmm, kenapa ya?” dia diam sejenak kemudian memecah keheningan, “Eh… tunggu dulu, maksudnya apa ya?” ucapnya seperti orang yang salah tingkah.
“Hmmm…. Kalo temanmu adalah temanku juga, bukankah itu artinya ternyata kita selama ini ada dalam satu lingkaran pertemanan yang sama bukan?” ucapku dengan kalimat yang susah dicerna oleh otak cerdas Qunut.
Qunut hanya tersenyum, “Hmmmm….”. dia langsung berdiri dan merapikan kursinya.
“Ya, kalo memang pertanyaanku tak bisa dijawab.” Aku ikut berdiri dan memasukkan kursi kelorong yang ada dibawah meja. “Kamu sudah makan siang?” tanyaku kepada si gadis.
“Hmmmm… belum sih.” Jawabnya kembali cuek sambil berjalan menuju lemari tempat dia mengambil buku tadi, dengan perlahan dia masukkan kembali bukunya.
“Bagaimana kalo kita keluar.” Ajakku kepadanya hanya untuk sekedar makan keluar.
Qunut langsung kaget dengan ekspresi yang kaku, “Lho?”, kemudian dia tersenyum sejenak sebelum akhirnya dia menuju pintu keluar.
“Iya, aku tau kalo kamu memang bukan tipe anak yang suka makan diluar, jalan-jalan nggak jelas dan bahkan hanya untung menghirup udara segar sebentar di Kambang Iwak?” ucapku kepadanya. “Ayok!” ajakku.
Qunut mengambil tasnya yang ada diloker, “Emangnya kamu pikir sekarang aku mau kemana?” dia melihat kearahku, “Ayok, jangan banyak bicara lagi.”
Melihat dia yang menjadi seperti itu sungguh membuatku bingung, “Lho? Tumben?”
Perempuan itu tak banyak bicara lagi, “Terimakasih.”
“Terimakasih untuk apa?” aku minta kejelasan ucapan Qunut barusan.
“Aku tau ini bukan tempat yang kau sukai, tapi kau mau kesini hanya untuk memasukkan kado tidak karuan ini kedalam tasku. Sedangkan aku terkadang terlalu egois untuk mengerti.” Dia terdiam sejenak, “Terimakasih untuk semuanya, bahkan kau melakukan banyak hal yang tidak kau suka. Dan itu memang terkadang terlihat bodoh bagiku.” Dia berjalan menuju pintu keluar perpustakaan.
Meninggalkan aku yang hanya berdiri karena efek dari perasaan yang tidak karuan dibuatnya. Entah ini pertanya dia menyukaiku ataukah dia merendahkanku. Tapi kata-kata terakhirnya mengajakku untuk melayang, “Hai! Dasar bodoh, ayok kita cepat pergi! Sebelum aku berubah pikiran.”
Yah, pertemuan memang pertemuan. Antara anak bodoh yang hobinya buat onar dengan perempuan kutu buku yang memang selama ini hanya dirumah. Tapi, pertemuan memang pertemuan siapa yang mengira kita bisa bertemu?

Seperti pertemuan pertama saat lomba debat bahasa Arab waktu itu, akan menyisakan sebuah cerita yang memang sangat berarti. Hingga akhirnya disadari atau tidak kamu sadari Qunut, aku mendo’akanmu disetiap Shubuhku.

Saturday, 7 June 2014

PASSPORT

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.

"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut.

Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.

Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Sunday, 1 June 2014

Fatamorgana Tersadar 10 Febuari 2013

Aktivitas sehari-hari ane membuat ane sedikit penat dan lelah untuk terlalu banyak berfikir.
Jelas! sudah berapa sel otak yang mati karena terlalu keras berfikir.
Fatamorgana akan kenyataan yang telah terbentang dari hilir ke hulu (padahal seharusnya dari hulu ke hilir).
Tak akan menjadi suatu penglihatan kabur yang dapat dibawa kealam nyata, tetap di Alam Mimpi!

Tak seorangpun yang bisa menerka-nerka, karena kita bukan tukang terka.
Menera-nera, berapa kemilikan yang telah dimiliki oleh diri dimasa kini.
membuatku hanya bisa menunggu Pagi Pemecah Sunyi di Bulan Juni, masih tetap sendiri.
Ya, tentunya sampai kita bertemu dilapangan yang ada disamping Auditorium UIN Jakarta.

Pertemuan pertama Juli 2008, waktu yang cukup lama untuk seorang memendam perasaannya terlalu dalam.
Tak ada api yang terlalu panas, tak ada air yang terlalu dalam, tak ada angin yang terlalu kencang mengimbuhi alam yang seharusnya sunyi... sunyi... semilir bayu membanjiri hati yang gersang bak gurung pasir Sahara. Dessert (kalo nggak salah ya!)
Banyak manusia yang hanya bertahan dengan kondisi seadanya tanpa berusaha akan sesuatu yang baik, menurut ilmiahnya, menurut pemikirannya, menurut hatinya, menurut nuraninya!

Bila, lah esok datang kembali merangkai bintang-bintang bersama-sama.
Ora mudeng dengan yang namanya hati! Cekidot

---- Fatamorgana ----
2008, Laki-laki didepan yang melihat kearah belakang dimana ada seorang perempuan yang berfoto bersama teman-teman satu daerahnya di Taman Mini Indonesia Indah. Melontarkan senyuman yang melayang dan indah dipandang.
Aku menghampirinya sambil mengajak kenalan, "Halo, senang berkenalan denganmu."
Dia cuma tersenyum sambil berlalu, meninggalkan seorang yang dari tadi memandang senyumnya dengan dua matanya. Dua Matanya!
Mencari-cari siapakah dirinya, bermodalkan nama yang aku lihat di Name-Tag yang dia kenakan. "Dan akhirnya aku dapat juga." ucapku didalam hati dengan rasa gembira.
Jari-jariku menari diatas keyboard laptopku, mengajaknya berkenalan lewat udara. Engkau membalas pesanku, entah apa sama yang kau rasakan dengan apa yang aku rasakan.
Setelah lama aku tahu bahwasanya kamu sudah memiliki laki-laki idaman, setiap hari aku selalu menanyakan siapa gerangan. Tak pernah kau memberitahuku siapa gerangan, dia yang menajadi laki-laki idamanmu itu.
Membuatku gundah gulana tak karuan, sehingga akupun hanya bisa diam.. diam... dalam kesunyian yang paling dalam.
"Yang jelas aku ingin jalan-jalan keliling Jakarta bersamanya, Sholat di istiqlal bersamanya, dan yang jelas aku mau dia mencicipi masakanku. hehehe." ucapmu ditelpen kepadaku. :')
Satu,,,
Dua.,,,
Tiga,,,
Sudah tiga tahun berlalu dan aku tetaplah aku, tetap berdiri dengan kebutaan hati.
Tak pernahpun kamu menjawab pertanyaanku.

2011, Tahun sakral dimana aku mulai mengenal dirimu lebih dalam.
Tahun Sakral dimana aku mengalami hari-hari terlelah dalam depresi dan ironi.
Menikmati hari-hari pulang pergi dengan bis kota palembang yang sungap, Tau Sungap hah?
Kepala pusing, badan pegal-pegal ditambah mobil kebut-kebutan nggak jelas, banyak asap rokok pula. hahahaha. (Maklum, luapan kekesalan). ckckck.
Tapi, kau selalu ada memberikan semangat, kau selalu ada mendengarkan keluhanku tentang kondisi kotaku, kau selalu ada dan yang jelas suaramu yang lembut dan kesundaan itu membuat aku tenang.
Tiba-tiba aku dapat tawaran mengejutkan untuk menjadi Panitia Jamboree Nasional 2011. Wahh wahhh. perasaan yang sangat nyaman. Tau nggak kenapa?
Ternyata dirinya juga menajdi pembina pendamping di kegiatan tersebut... nyamiiieee...

Jeng... Jeng... Jengg...
Aku mencoba mencarimu dikerumunan orang-orang yang berhamburan ditepi danau Teluk Gelam, "Dini kamu dimana?" telponku sambil melihat dikiri dan kenanan.
"Kak aku lagi nonton Pentas Seni didepan panggung utama. Kak coba lihat, orang papuanya pake koteka semua." ucapmu ditelpon sambil tertawa.
Akhirnya kita bisa bertemu lagi untuk yang kedua kalinya setelah 3 tahun tak bertemu, melihat dirimu yang sedang berdiri tegak ditengah-tengah orang yang sedang asik menonton, Orang papua mengenakan koteka pula. aduh mama sayangeeee!

Di tengah tenda kesehatan yang tak jauh dari lokasi pentas, kita duduk berdua menghabiskan malam. Kalo nggak salah sampe jam dua ya? (agak lupa)
11 Juli 2011, Malam indah berkerlip bintang-bintang mengisi gelapnya malam.
"Kamu nggak pernah mau jawab pertanyaan aku ya, tiap aku tanya siapa laki-laki idaman kamu ya kamu selalu menghindar." ucapku yang duduk didekatnya.
Dia hanya tersenyum... diam, kayak kuntilanak yang nyangkut dipohon.
"Tak bisakah kau menjawab?" ucapku lagi membalas.
Kamu mulai mengeluarkan suara lembutmu itu, "Yah, kalo orang yang saya sukai ada disini kenapa memangnya?" hehehe.
"Lho?" aku kaget kayak disambar petir, "Mana orangnya? bolehlah dikenalin kan sama kakak?" ucapku dengan nada kecewanya.
"Hahahaha...." kamu tertawa, aku kaget, kamu tertawa lagi, aku kaget lagi. 
"Anak ini kayaknya kesurupan deh." ucapku dalam hati. hehehe.
Dia menyelesaikan tawanya, "Buat apa dikenalin lagi? kakak udah kenal kok sama orangnya." ucapnya sambil membenarkan kacamatanya.
"Haaa?" aku bengong.
"Yah, kakak orangnya. hehehe." ucapnya.
Aku terdiam sejenak melamun, "Aku?" ucapku.
"Iya. kakak orangnya..." dia tersenyum sambil sedikit tertawa.
Intinya, "kamu ingin kita bertemu lagi di Jakarta, keliling monas, sholat di Istiqlal dengan aku jadi imamnya dan kamu ma'mumnya, dan kamu juga ingin aku mencicipi masakanmu."
Sebenarnya aku merasa itu adalah hal yang mustahil, dan mustahil kita bisa bertemu lagi untuk mewujudkan mimpimu itu. Iya, mimpi sederhana yang hanya ingin aku menghabiskan waktu didekatmu seharian penuh, tapi ternyata bagimu itu sangat berharga.

Sejak malam itu sepertinya aku sudah memiliki satu bidadari yang sangat indah. Aku seharusnya beruntung memilikimu, dan bukan untuk disia-siakan.
Janji bertemu lagi pukul 5 pagi ba'da shubuh didepan gerbang. "Aku tak punya waktu banyak, jam setengah enam aku mau kembali ke Karawang." ucapmu kepadaku.
"Iya, aku janji kita akan bertemu digerbang jam 5 pagi." janjiku dengan percaya dirinya.

Entah setan apa yang membuatku tidur sampai lelapnya, hingga aku bangun telat dan kesiangan. Mungkin juga efek kecapekan ya? jangan selalu menyalahkan setan ya. hahahaha.

HP-ku yang berdering, terlihat Panggilan tak terjawabnya sekitar 20an, pesan masuknya 3.
aku baca satu persatu pesannya,
Pesan pertama, "Kak dimana? aku udah digerbang."
Pesan kedua, "Kak dimana? aku udah mau  berangkat ni."
Pesan ketiga, "Kak, sampai jumpa dilain hari. :)"

Hari demi hari berlalu, hubungan yang awalnya dekat akhirnya pecah juga akibat kesibukanku yang tak dapat terkontrol lagi. Banyak suara hitam yang membisik tatkala hari itu terjadi.

"Oke, kakak jangan hubungi aku lagi!" serunya sambil menanggis ditelepon.
setelah hari itu Desember 2011, kita tak pernah lagi berhubungan. Entah apa yang ada dipikiranku yang membiarkan wanita yang telah aku tunggu dari 2008 sampai 2011 pergi begitu saja.

7 Febuari 2013, Aku mengikuti pelatihan di depok. sebelumnya, aku ingin menghubungi orang yang telah 2 tahun tidal pernah berhubungan denganku lagi.
Akhirnya aku mendapatkan tempat menginap dekat dengannya, Walaupun dia menjemputku terlalu malam.
Satu hari berlalu, dia mengajakku keluar subuh buta untuk membeli bahan makanan, katanya kai mau masak.
Pada hari itu kami masak bersama, kami melupakan kejadian 2 tahun yang lalu, dimana kami menjadi saling membenci. Dia memberikanku masaknya, dia meminta aku mencicipi masakannya. Walaupun sedikit tidak enak, aku tetap memberikan penilaian enak padanya, (Maaf ye kalo dikau baca. he3x)

10 Febuari 2013, kita keluar rumah pukul 09.00.
"Kita mau kemana?" tanyaku dengan mengucek-ngucek mata.
"Nggak tau." jawabnya sambil tersenyum, "Ikuti arah angin aja yok kak. hehehehe."

Akhirnya kami memutuskan untuk berangkat ke Monas pada hari itu, menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan. Naik ke puncak tertinggi monas sambil berteriak dan berfoto bersama. hehehehe.

Suara Adzan terdengar, Karena kami datangnya terlambat. Jadi kami hanya shalat berdua, dengan aku imamnya dan dia makmumnya. wah wah wah. asek asek asek.

Tak lama setelah sholat dzuhur, dia bercerita bahwasanya dia telah dijodohkan dan akan menikah dengan seorang laki-laki pilihan orangtuanya.
walaupun awalnya bagaikan guntur disiang bolong, akhirnya aku bisa menerima keadaan dan memberikan selamat berbahagia kepadanya. :)

Post Febuari 2013.
Aku membuka blog pribadinya, iseng-iseng.
ternyata ada sebuah tulisan tertanggal 11 Febuari 2013,
Inti dari Tulisan itu adalah:
"Selama tahun 2011 sampe 2013 dia sangat dilanda kecewa hingga tak mau berkenalan dengan lelakii lain, hingga akhirnya ada seorang lelaki yang dijodohkan bersamanya, yah yang jadi suaminya sekarang."
"Pada tahun 2008, ingin bertemu dengan laki-laki idamannya di Jakarta, keliling monas, sholat di Istiqlal dengan aku jadi imamnya dan kamu ma'mumnya, dan dia ingin aku mencicipi masakannya."
"Tahun 2010 dia ingin melihat Tabliq Akbar Ust Arifin Ilham di istiqlal, hingga akhirnya dia berkata Aku ingin setidaknya sholat berjamaah berdua dengan calon suamiku disini nanti"
"Pada tahun 2011, dia berkata ingin bertemu dengan aku di Jakarta, keliling monas, sholat di Istiqlal dengan aku jadi imamnya dan dia jadi ma'mumnya, dan dia ingin aku mencicipi masakannya."
dan ternyata semua keinginan yang sudah kami rencanakan di Tahun 2008 terkabulkan ditahun 2013, 5 Tahun.
Bagaimanapun kita harus percaya bahwa setiap do'a maupun kalimat yang kita pinta ucapkan pasti akan diijabah oleh yang maha kuasa, walaupun kita tak tahu kapan waktunya. :)

Friday, 30 May 2014

PIPI MERONA DIBALIK LAMPION

terlalu sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan, jadi udah lama nggak nulis.

mohon kritik dan saran dari cerita ini ya. :D hahaha

baru chapter I-nya kok. hahaha



semua yg ada dicerita ini hanyalah diksi belaka, jadi jika ada kesamaan tempat, latar, manusianya juga mungkin hanya kebetulan aje. eh salah, nggak ada yg namanya kebetulan didunia ini, semuanya udah diatur oleh Allah.

hohohoho



PIPI MERONA DIBALIK LAMPION

            Asrama teduh dirindangi pepohonan yang menghiasi jalan menjadikannya sebagai penghijau alami.

            Sebuah ruh terasa terbang akan kenangan dibalik serenade-serenade kelumpuhan yang masih teringat didalam memori yang tak seberapa Megabite-nya.

            Kehidupan asrama yang keras memang tidak bisa membuat kami yang sudah terbiasa tiga tahun diasrama untuk menjadi lembek kayak kerupuk disiram air. Tiap hari kami mengendarai sepeda dari asrama menuju ke sekolah yang jaraknya sejauh 3 kilometer. Yah, jarak yang cukup jauh ditempuh dan membutuhkan cucuran keringat yang extra.

            Tapi, bagi sebagian manusia yang memiliki akal bulus. Jalanan panjang ini dapat menjadi tempat yang menumbuhkan benih-benih cinta maupun virus-virus merah jambu yang seharusnya tidak kami rasakan saat SMA.

            Aku berjalan sambil tertawa dengan sahabat karibku. Menuju tempat yang menjadi “gudang” tumpukkan sepeda ontel tua.

            Aku melihat ke arah selatan dari pandanganku, kepada seorang sahabat yang telah aku kenal dekat dan memang dari SMP dulu bersahabat erat denganku.

“Kenapa Latifah?” aku bertanya kepada Latifah yang sepertinya sedang sibuk melihat kondisi sepedanya yang lumpuh.

Latifah menjawab sambil mencoba memompa ban sepedanya, “Nggak tau kak, kenapa juga bisa gini. Padahal setengah jam lagi masuk sekolah.” Jawab Latifah dengan lembutnya. Maklum saja, memang logat jawa dan bahasa ibunya membuatnya seperti itu.

“Oh, yaudah. Ikut kakak aja yok.” Dengan besar hati aku membantunya dengan cara memboncengnya naik sepeda.

Awan-awan yang mengikuti kami saat bercerita diatas sepeda sepanjang perjalanan yang ramai akan lalu lalang masyarakat yang tersenyum ramahnya kepada kami. Tawa canda yang ada latifahtara kami menjadi obat yang efektif sebagai penghilang lelah.

Hari demi hari berlalu, sudah beberapa hari ini aku selalu pergi berboncengan dengan si Latifah.

Tak terasa sudah masuk minggu kedua, aku selalu melihat keluar sebelum pergi menuju gudang sepeda. Aku sudah melihat Latifah keluar dari Gedung Auditorium menuju gudang sepeda. Keluar bak pahlawan kesiangan menuju TKP, seperti biasa senyuman itu selalu aku lihat disetiap aku masuk kedalam gudang sepeda untuk mengambil sepeda.

 “Kak An!” panggil seorang wanita yang dari tadi ternyata berteriak dibalik lapangan hijau sambil membawa setumpuk buku, dengan mata yang memiliki garis hitam.

Aku menghampirinya dengan membawa sepedaku, “Ada apa Latifah?” tanyaku dengan singkatnya dengan penuh senyuman.

“Kak An, masih boleh nebeng nggak kak?” tanya dia sambil cengar cengir tak karuan. “Aku juga nggak tau kak, padahal kemarin udah dibenerin Pak Ujang. Sekarang kok malah bocor lagi ya sepeda aku kak. Aneh aja kak.” Ujar Latifah sambil naik ke sepedaku.

Ban bocor mendekatkan kami, mendekatkan aku dengan seseorang yang memang aku kagumi dari kelas 1 SMP dan akhirnya aku bisa dekat dengannya 6 tahun kemulatifah. Sungguh waktu yang lama untuk aku dapat mendekati seorang yang mungkin dapat disebut “Cinta Pertama”.

Ujian Nasional berlangsung seolah-olah menjadi momok paling menakutkan dihidup pelajar. Apalagi bagi sekolah yang memiliki sistem kelulusan ketat seperti sekolah kami.

Beberapa minggu telah berlalu, kami semua berbaring dikamar sebelum menuju kesekolah untuk melihat pengumuman hasil Ujian nasional. “Ujian Nasional Bahasa Inggris aku paling nggak bisa, entah kenapa.” Ucapku kepada teman sekamarku di asrama.

Ahmad yang sedang makan mie langsung mengubris ucapanku, “An, kamu deket sama cewek yang pinter bahasa Arab dan Inggris. Tapi kamunya sendiri nggak bisa bahasa Inggris. Malu sama cewek tu, dimana ditarok mukamu kalo dapet lebih kecil darinya.”

Kerumunan orang-orang yang seperti semut memenuhi papan pengumuman yang terpajang dikantor asrama. “Yah, paling-paling bahasa inggrisku dapet 70.” Gumamku dalam hati denga nada kesalnya.

Latifah langsung berdiri didepanku, dia menyodorkan sesuatu dan langsung berucap, “Ini ambil ya, terimakasih atas bantuannya selama ini. Selamat ya, perkiraan kamu salah, kamu dapet nilai bahasa inggris terbesar. Kamu dapet 9,8 lho An.”

Ruangan yang dipadati oleh tamu undangan, saat-saat yang menyedihkan pada fase SMA pun datang juga. Malam perpisahan yang dihadiri oleh seluruh orangtua siswa itu membawa keramaian dalam keheningan. Seolah-olah tak ada yang bisa berbicara saat itu.

“... Asramaku yang tercinta, disanalah kami dibina...” tim paduan suara telah turun dari panggung setelah menyanyikan beberapa bait lagu. Barisan yang pecah bagaikan semut yang sarangnya terbakar. Semua orang berjalan keluar Gedung Cassiterite bersama orangtuanya, ada yang langsung pulang, ada yang balik keasrama untuk mengambil baju dan masih banyak lagi. Sebelum kami pulang ke kampung masing-masing, ada tradisi yang sering terjadi di sekolah kami di malam perpisahan, yaitu tukar-tukaran jaket Kuskusa antar sahabat. Aku menukarkan jaketku kepada Latifah dan diapun memberikan jaketnya kepadaku.

Aku melihat Latifah yang sedang berbicara dengan kedua orang tuanya, aku berfikir dia pasti akan langsung pulang dan tidak membaca tulisanku itu.

Orangtua Latifah mengajaknya untuk pulang sekarang, tapi Latifah menjawab ucapan ayahnya, “Ayah, aku belum mau pulang. Ada urusan yang mau aku selesaikan dulu.” Dia langsung meninggalkan orangtuanya, ntah dia menuju kemana. Membuatku bingung.

Aku berjalan melewati lapangan Bung Hairul yang ada dipusat asramaku itu, aku melihat sosok wanita yang sedang berdiri ditengah-tengah Hellypad yang ada didekat Pusdiklat asramaku itu.

“Haha.. sesuai tulisan yang ada dikertas ini! aku menunggumu jam satu malam. Sudah telat lima menit!” ucapnya sambil melihat jam dan membawa sebuah kertas yang tadi aku masukkan kedalam jaketku sebelum aku tukarkan dengannya. “Apakah ini tulsisanmu?”

Aku hanya mengangguk dan mengeryitkan dahi.

“Sudah tiga tahun aku sekelas samamu, tapi baru kali ini aku melihat tulisanmu. Cukup jelek ya. Hehe.” Dia tertawa kecil sambil memasukkan kertas itu kekantong bajuku. “Sudah, mau ngomong apa ni?” dia langsung duduk di hellypad itu.

Kami berdua duduk berdua diantara bintang-bintang yang seolah-olah menjaga kami dari gelapnya langit hitam dimalam hari. Tak ada satupun makhluk yang menggangu keheningan kami berdua dimalam itu.

Setelah lama kami berbincang, Latifah langsung melihat kearah jam tangannya, “An, sekarang sudah jam 4 pagi, bisakah kita pulang sekarang.” Dia bertanya kepadaku.

“Bisa, tapi aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Ini sangat penting.” Ucapku serius melihat kearah matanya.

“Serius? Seriusan?” dia setengah tersenyum dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Aku mau mengakui sesuatu. Boleh nggak Tif?” lanjutku.

Dia langsung menutup mulutnya menahan tawa, “Ih, kayaknya serius amat. Apa sih?”

“Sebenarnya akulah yang membuat sepedamu bocor. Setiap malam aku ke gudang sepeda dan membocorkan ban sepedamu.” Aku langsung tertawa.

Dia berhenti tertawa dan keempat matanya langsung melihat ke arahku, “Buat apa kamu bocorin ban sepeda aku? Nggak ada kerjaan lain kah?” ejeknya.

“Yah, dengan aku bocorin ban sepeda kamu kan jadinya aku bisa boncengan sama kamu. Aku bisa jalan berdua sama kamu, aku bisa cerita-cerita sama kamu dan aku bisa sama-sama kamu hanya karena itu. Selebihnya aku belum pernah dekat-dekat denganmu selain boncengan karena ban sepedamu pecah.” Jawabku sambil memasukkan tanganku kekantong jaketku.

“Yah, seharusnya kamu tidak harus melakukan itu, ini buktinya kamu bisa dekat aku tanpa bocorin ban sepedaku. Hehe.” Dia tertawa sambil mengeluarkan sisa-sisa lampion yang dia simpan didalam tasnya, “Kita kan akan berpisah hari ini, aku ingin kita berdua membakar lampion ini agar dia bisa terbang tinggi setinggi-tingginya.”

“Berpisah? Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku dengan perasaan yang tak enak.

“Rahasia.” Ucapnya sambil membakar lampion itu sampai apinya menyala. Api yang akan membuat lampionnya terbang menyinari pipi merona yang ada dibalik lampion itu, tidak ragu lagi dia mulai bicara, “Hitungan ketiga kita lepaskan lampionnya sama-sama ya.”

Satu....

Dua....

Tiga...

CERITA PILU #HAPPY GERIATRI DAY

Penghargaan saya yang sebesar-besarnya kepada oma-opa kami yang ada diseluruh dunia.
Anda-anda sekalian adalah orang yang mencetak masa kini, yang sebenarnya adalah masa depan dijaman anda.
Selayaklah opa-oma kami yang ada diseluruh dunia, mendapatkan penghargaan yang sebesar-besarnya dari kami "CUCU" Bangsa ini.

#HappyGeriatriDay



Mungkin bagi orang awam, bahasa Geriatri sangatlah asing.
tapi bagi kami kalangan medis, Geriatri adalah satu kata yang digunakan untuk menggambarkan orang yang sudah memasuki usia emas (50 Tahun).

Seperti biasa, setiap bulan saya dan rombongan selalu berkunjung ke Pantii Jompo yang ada di tengah-tengah hutan (Terpencil Red.)

Hari ini, 29 Mei 2014. kunjungan kami sangat spesial disini.
kami merayakan hari geriatri yang selalu dirayakan pada hari itu.
Persembahan untuk oma opa kami yang ada dipanti jompo.

kalo biasanya kami hanya memriksa kesehatan mereka
mengajak mereka senam bareng.
mengajak mereka bercanda ria, penyuluhan sampe mata mereka ngantuk.
Tapi kamii tetap sayang omma dan opa kami yang ada dipanti jompo.

Menebar kasih sayang, kami hari ini bawa kue ulangtahun yang sangat spesial buat oma dan opa kami.
kami nyanyi lagu lawas bareng sampe-sampe ada opa yang ingat waktu pertama Pe De Ka Te same oma yang udah ada disurga. :'(

Sebuah rumah usang yang dihuni oleh sekitarnya 58 orang yang sudah lanjut usia.
pertanyaannya, siapa sih yang tega meninggalkan orangtuanya disini?
mengapa mereka bisa tega?
meninggalkan orang-orang yang telah merawat mereka dari kecil, hingga sekarang mungkin sampee mereka menjadi orang yang sukses.
setelah sukses, mereka meninggalkan orang tua mereka di panti jompo dengan berbagai alasan.
Sibuk!
Males ngurusin orang tua!
Mama Cerewet!
Orangtua tak berguna!

begitulah alasan anak-anak mereka.
Kawan, perjuangan ibu melahirkan kita. menunggu setiap menitnya rahimnya berkontraksi dan menunggu pembukaan jalan lahir di Vagina yang mungkin sangat terasa sakit jika itu kita alami. bahkan mungkin saya sebagai laki-laki tak akan sanggup jika disuruh melahirkan.

Perjuangan Ayah, aku melihat ayahku sebagai laki-laki tegar yang tidak bisa melihat anaknya menanggis, melihat anaknya dalam kesepian, melihat anaknya dalam kesusahan. mungkin orangtua kita adalah orang tua terbaik bagi kita, tak bisa dipungkiri itu semua.

Kita dianugerahi Otak dan Hati!
yah, walaupun itu hanya kiasan.
kita memiliki perasaan kawan, kita juga memiiliki akal yang sehat. kecuali anda sudah gila, baru boleh menitipkan orangtua anda di Panti Jompo.

Ya Allah jadikan kami sebagai orang-orang yang mencintai orang tua kami, orangtua sahabat kami, orangtua yang telah mengajarkan kami banyak ilmu, dan orangtua yang baru kami lihat didepan mata.
Mereka adalah keajaiban nyata yang engkau Ciptakan, bagai mu'jizat yang engkau berikan pada semua nabi-Mu, mereka Mu'jizat yang nyata bagi kami ya Allah.

Jangan biarkan kami dipenuhi rasa malas untuk mengurus mereka.
Jangan biarkan kami dipenuhi rasa muak melihat muka mereka.
Jangan biarkan kami dipenuhi setann-setan yang menghasut kami untuk kesal dengan mereka.
Sesungguhnya engaulah sebaik-baiknya penolongku Ya Allah. :)

aku mencintai kalian orangtuaku yang jauh di Bangka. :)
Imron dan Karlin.
Kalian memang tidak sempurna tapi kalian menyayangi dan membesarkan aku dengan sempurna.
Terimakasih yang sebesar-besarnya!
Arigatou gozaimas, Syukron Katsiron, Thank you Very Much.

I LOVE U FOREVER.