Wednesday, 14 January 2015

NASIB IBU DI KALA MERAYAKAN HARI IBU?

Assalamualaikum. J
Spesial Thanks for MAMA.
Present for you all.     
Karena kemarin adalah hari Ibu, seluruh Indonesia merayakannya begitu. Aku juga nggak tau apa dan bagaimana kenapa tanggal 22 Desember adalah hari ibu. Maaf banget telat, karena banyak banget kesibukan selama beberapa hari ini. Yah tentunya agar nggak terlalu basi, aku mau nulisnya sekarang. Ketika masih ada waktu luang, dan inilah persembahan untuk ibuku. J
            Yang jelas kita memang butuh waktu yang menjadi momentum untuk mengingat ibu, jujur aja! Aku kadang-kadang ingat ibu Cuma waktu sakit, bokek, susah, dan sangat jarang ingat ibu disaat sedang nyaman. Wow? Ya, kalo ente-ente juga jujur pasti sama kan?
            Kata “Surga ditelapak kaki ibu” adalah kata yang sangat sering kita dengar, tapi bukan berarti kita cuci kaki ibu terus minum aer cuciannya ya, salah kaprah banget tau nggak.
            Disela-sela kegiatan yang padat ini, aku pengen memberikan apresiasi yang sangat besar kepada ibuku, nenekku, ayahku yang pernah jadi ibu sementara buat aku, pengasuhku waktu bayi, dan semua ibu yang ada didunia.
            Di kala kita merayakan hari ibu, tahukah anda jika banyak ibu yang menderita ketika melahirkan? Angka kematian ibu tahun lalu aja 359/100.000 angka kelahiran bayi. Bayangin aja, betapa mulianya seorang ibu yang melahirkan seorang manusia mungil tak berdosa, bertaruh dengan nyawa. Bahkan tak sedikit ibu yang kena komplikasi melahirkan. Belum lagi ibu yang terkena Diabetes Gestasional, eklamsi, dan beresiko terkena penyakit degenerative lainnya setelah melahirkan.
            Belum cukup itu, ada beberapa suku yang mengasingkan seorang perempuan yang dating bulang, ada pula yang mengasingkan ibu yang sedang dalam masa nifas, bahkan mengasingkan ibu yang sedang hamil dipedalaman hutan. Ada juga beberapa bangsa yang memiliki adat “Wanita Hamil Makan Terakhir”. Jadi kayak gini, seorang perempuan boleh mengambil makanan setelah semua anggota keluarganya telah mendapatkan makanan. Oke kalau masih ada sisa, kalo tidak bagaimana? Kalo ada tapi sedikit bagaimana? Bagaimana dengan kebutuhan gizi seorang wanita hamil? Berbahaya bukan? Dan ini adalah cerita lama dari WHO. Kesetaraan gender memang perlu diwaktu yang tepat, seperti kasus diatas.
            Pendidikan, gizi, maupun perhatian kesehatan ke ibu memang masih kurang dan bahkan ada yang belum dapat terjangkau. Kepercayaan akan mitos-mitos jaman dulu juga terkadang dapat menyebabkan hambatan maupun komplikasi pasca natal. Seperti, tindakan persalinan oleh dukun beranak yang tidak terlatih. Bahkan ada juga yang memanaskan (maaf) lubang bersalin dengan bara yang memang itu tidak steril.
            Akses pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau, terkadang menyebabkan sebuah pos kesehatan hanya sebuah symbol didekat desa tersebut. Seperti di Indonesia yang memiliki distribusi penduduk yang beraneka ragam jika kita tinjau dengan ilmu antropologi. Kondisi masyarakat di Jawa, Sumatera, Papua, Kalimantan dan lainnya sangat berbeda. Seperti di Jawa yang aksesnya mudah, tida seperti di Papua maupun Kalimantan yang terkadang ibu hamil dan suaminya harus bernyanyi “mendaki gunung melewati lembah, sungai mengalir indah kelautan.”.
            Ini bukan guyonan, aku serius lho. Lantas, apakah kita hanya akan berpangku tangan? Apakah hari ibu adalah symbol? Celebrasi yang memang aku rasa nggak ada manfaatnya jika “Maternal Care” tidak kita perbaiki. Celebrasi tak akan mengubah apapun bung, tunjukkan kepedulianmu akan pencapaian penurunan Angka Kematian Ibu minimal menjadi 100/100.000 kelahiran, kalo bisa jadi 0/100.000 kelahiran walaupun saya rasa itu mustahil.
            Keselamatan ibu adalah tanggung jawab semua manusia, bukan Cuma dokter, bidan, perawat dan suami. Tapi adalah kewajiban dari semua manusia yang memang masih memiliki nurani.
Perjuangan Ibuku    
Overall, aku terima kasih banget sama ibuku yang sudah susah-susah melahirkan aku. Mengandung selama 9 bulan 10 hari (walaupun nggak mungkin setepat itu), kalo kata ibuku rasa melahirkan itu sakit banget dan ibuku dapet banyak jahitan. Didalam rumah peninggalan Belanda (yang kini jadi balai kecamatan) tua yang kata ayahku kalo ada angina putting beliung langsung roboh.
            Tak cukup itu, ibuku juga dulu kena komplikasi pascanatal dan juga kena babyblues syndrome. Sehingga dirawat dirumah sakit dalam waktu yang lama. Jadi nggak ada alasan untuk membantah dan mengecewakan ibuku. Selanjutnya, ayah menyuruh ibuku yang sewaktu itu udah jadi PNS Guru untuk berhenti menjadi PNS dikarenakan ayahku ingin ibuku focus mengurus anaknya.
            Dulu ibuku juga pernah jadi single parents selama bertahun-tahun, ketika ayahku disekolahkan ke Swiss oleh kementrian pekerjaan umum. Waktu itu aku masih kecil banget, usia baru 4 tahun. Kemana-mana jalan sama ibu, sampe aku pernah jatuh dan kepalaku berdarah. Siapa yang bawa kerumah sakit? ibu juga toh. Hingga saat ini memang cerita-cerita kenangan di masa kecil ketika hidup masih dipangkuan ibu sangatlah menyenangkan dan membuat haru.
            Skip ke masa SD ketika ayahku diambil oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) untuk menangani pembangunan didaerah tertinggal, kembali ibu jadi single parent. Aku tau banget kalo ibu itu nggak mengendarai sepeda motor. Lalu apa yang terjadi? Ibu belajar naik motor buat nganter aku ke sekolah dulu. Jalan motornya pelan banget sampe-sampe kalo ada orang lari bisa saja menyusul motor yang dikendarai ibu. Trus, kami juga pernah nyunsep ke got/parit, untung aja nggak masuk ke sungai musi.
            Masih ingat juga nggak kalo dulu aku di kelas 1 SD adalah anak terbelakang? Yah, orang-orang sering bilang aku idiot. Kalo nggak salah aku ranking 26 dari 26 orang siswa. Kemudian ibu yang saat itu mengambil rapot nggak marah sama sekali, ibu malah memberikan semangat bahwasanya kamu pasti bisa. Setiap tahun begitu, beliau tak pernah menuntut untuk dapet nilai besar, sudah mau sekolah aja syukur. Walaupun hingga akhirnya aku bisa selalu menjadi ranking 3 besar dikelas. Itu semua atas kebaikan ibu.
            Dulu ayah sibuk banget sama Golkar, tiap beberapa bulan dia pergi mengikuti kegiatan golkar. Yah, ibu nggak pernah protes, nggak pernah terlihat didepan kami kalo ibu sedih ataupun marah. Melihat wajah yang selalu mengalah itupun tak pernah juga membuat kami tega untuk menanggis atau bahkan buat bertanya kemana ayah.
            Saat aku kelas enam SD sampai kelas 2 SMP ibu kembali jadi single parent, semua peran harus dia mainkan. Mengurusi tiga anaknya, dan membuat kami untuk tidak bertanya kemana ayah? Ya, kalo kita ceritakan perjuangan ibu nggak ada habis-habisnya.
            Pekerjaan yang tak pernah libur. Ibu bekerja 24 jam sehari, 7 hari satu minggu, 30 hari satu bulan, bahkan 365 atau 366 hari setahun. Tanpa digaji lho? Nggak ada waktu istirahat, dia boleh makan ketika orang yang dicintainya sudah makan. Dia nggak bisa tidur ketika ada bayi yang menanggis, kita yang rewel ketika ingin meminta sesuatu kepadanya. Ditambah lagi anaknya sering buat olah, dia akan berdoa ketika suatu saat anakku bisa menjadi manusia yang berguna.
            Ketika ayah mau diambil ke Kementrian, ibulah orang pertama yang melarang. Ibu berkata, “Tega kamu meninggalkan banyak orang yang masih membutuhkan kita? Yang masih bergantung kepada kita.”, ibu sering mengajarkan kami kesederhanaan, mengajarkan kami untuk membantu banyak orang. Ibu tak pernah meminta yang macam-macam kepada ayah, bahkan kerap kami melihat beliau menjual perhiasan yang sudah disimpan dari jaman kami baru lahir hanya untuk membuat anaknya tersenyum.
Yang jelas kalo mau cari istri kayak ibu ajalah, perfect dah. Ibu nggak pernah minta yang aneh-aneh dari ayah. Bahkan ketika ayah mendapatkan jabatan sebagai kepala dinas pekerjaan umum, ibu berkata kepada ayah “Coba pikirkan baik-baik, jabatan tidak akan membuat kita bahagia. Datangilah pak bupati bilang mungkin kamu menolaknya. Aku takutnya kau Cuma jadi tumbal mereka saja.” Walaupun ayahku tidak mengubrisnya, ibuku bilang “Jangan pernah kau bawa uang hasil korupsi untuk makan anak-anakmu, haram itu.” Begitulah seru ibuku ketika itu kami semua kaget karena tak biasanya ibu bicara kasar kepada ayah.
Walaupun beberapa tahun kemudian apa yang dikatakan ibu itu benar, ayah dijebloskan ke penjara akibat tuduhan kelalaian administrasi. Saat itu aku masih tingkat satu sampai tingkat dua akhir kuliah di kedokteran. Yah seperti biasa ibu harus mencari uang biar ketiga anaknya bisa bersekolah dengan tenang. Walaupun bantuan demi bantuan dari orang-orang yang dulu pernah ditolong ayah dan ibu juga dating bergantian. Saat itu ibu sudah menjadi seperti pengemis, beliau mendatangi sekda, dan bupati. Aku juga berusaha untuk mendapatkan beasiswa untuk mencukupi uang kuliahku, membantu sedikit-demi sedikit untuk mencukupi uang jajanku baik dengan cara mengajar maupun berjualan.
Hingga akhirnya supir ayahku dan kakakku yang Alhamdulillah beliau sangat setia menjaga ibuku menelponku, mereka mengabarkan bahwa kesehatan ibu menurun, itu yang membuat diriku shock. Konflik batinpun terjadi ketika aku berfikir untuk mau berhenti kuliah atau pindah kuliah dikarenakan memang aku nggak tega mendengar hal tersebut terjadi pada ibuku. Walaupun akhirnya ibuku melarang aku untuk pulang.
Setelah ibu sehat, ibu kembali “berulah”, beliau memasukkan lamaran pekerjaan ke dinas kebersihan sebagai tukang sapu. Dan memang bagiku hal tersebut sangat menjijikkan, ibuku yang sarjana pendidikan, kenapa dia mau melamar pekerjaan menjadi tukang sapu? Jawabannya lumayan dapet 800.000 perbulan kan minimal bisa untuk uang jajan kalian. Karena memang kita nggak punya apa-apa lagi. Kembali aku menelpon supir ayahku dan kakakku, aku marah sekali kenapa mereka tidak mengawasi, aku suruh mereka menarik lamaran pekerjaan itu.
Hingga akhirnya aku juga putus asa, ya sudah aku daftar CPNS di Sekretariat Jendral MPR. Tapi tiba-tiba ibu menelpon dan dia berkata, “Jangan berhenti kuliah, harapan kami berdua dirimu jadi dokter, bukan jadi yang lain. Kabulkanlah harapan kami berdua. Apapun akan kami lakukan, Banyak yang masih bisa dijual, kita bisa jual rumah, mobil, dan bahkan semuanya. Makan singkong udah biasa, lauk Cuma garam sudah biasa, tinggal dirumah kayu sudah biasa, nggak punya mobil dan motor sudah biasa.” Akupun terdiam ketika ibu berkata seperti itu, “Dan yang lebih pentih, jadilah sampel untuk orang-orang bahwa anak orang yang difitnah dan susah ternyata bisa berguna untuk banyak orang.”
Garis bawahi ibu selalu menekankan untuk menjadi “BERGUNA” untuk banyak orang, simple kan?.
HARAPANKU DIHARI IBU
Seperti yang pernah aku katakana dengan temenku Gita yang kuliah di UGM, tentang harapan dihari ibu. Pesan BBMnya begini:
Harapanku kepada banyak wanita “Wanita adalah makhluk yang mulia, dari rahim-nya-lah keluar seorang makhluk tak berdosa yang suci lahir dan batin. Maka muliakanlah diri kalian dan jadilah ibu yang baik untuk anak-anak masing-masing dari kalian nanti, agar anak-anak masing-masing dari kalian kelak lebih mulia dari kalian. Aamiin.
Harapanku kepada semua ibu, “Overall, Selamat Hari Ibu dan perjuangkan selalu hak kalian para wanita. Asupan gizi yang baik, perhatian dari petugas kesehatan, bahkan kalian berhak mendapatkan kehidupan yang layak dari laki-laki.
Harapanku untuk petugas kesehatan, “Selamat Hari Ibu, dan juga terimakasih atas bantuan para bidan yang juga merupakan ibu dan membantu proses persalinan banyak ibu. Harapan-ku ditahun ini dalam rangka Hari Ibu, tingkatkan maternal care, menghancurkan diskriminasi gender kepada ibu, semoga semua keluarga tahu bahwa asupan gizi ibu hamil sangatlah penting sehingga mereka didahulukan, semua tenaga kesehatan mau turun kelapangan untuk meninjau maternal care, tersedianya dan terjangkaunya fasilitas kesehatan kepada ibu, ambulan gratis untuk ibu melahirkan, dan yang terpenting dari itu kita muliakan ibu yang sebenarnya telah memiliki resiko kematian 359/100.000 angka kelahiran dengan cara menurunkan angka tersebut menjadi 100 atau kalo bisa tidak ada anak yang lahir dalam keadaan piatu.”


Thanks for attention, Wassalam

Thursday, 8 January 2015

Parkir Siluman

Parkir di Negara Maju
            Pernahkah anda berbelanja ke komplek pertokoan dan memarikirkan kendaraan anda di badan jalan? Atau, apakah anda pernah ke took ATK atau Foto Copy untuk membeli kertas dan memarkirkan kendaraan anda di badan jalan dekat toko? Kemudian setelah anda keluar dari toko, seseorang tiba-tiba datang  menegadahkan tangannya meminta uang yang katanya ‘uang parkir’
            Parkir yang sejatinya adalah keadaan kendaraan yang tidak bergerak atau berhenti sementara dikarenakan ditinggalkan oleh pengemudinya. Di Negara Italia, Jepang maupun Negara maju lainnya parkir dibuat di depan gedung untuk memfasilitasi pemilik kendaraan pemilik maupun tamu gedung tersebut. Biaya parkir di Negara maju sangat bervariasi tergantung dari lokasi parkir maupun waktu parkir.
            Jepang membuat kebijakan parkir yang sangat mahal untuk mendorong pengguna kendaraan pribadi menggunakan kendaraan umum, selain untuk menekan angka pengguna kendaraan pribadi hal ini juga dapat menjadi pemasukan negara. Biaya parkir di Jepang jika kita jadikan rupiah (kurs 1 YJP = Rp. 120) sekitar 72 sampai 96 ribu pada tahun 2013 lalu.
Fenomena Parkir Siluman  
Bagaimana dengan Indonesia yang memiliki banyak ‘parkir siluman’. Hampir masyarakat seluruh Propinsi di Indonesia memiliki keluhan mengenai parkir siluman, termasuk masyarakat Negri Serambi Mekkah sendiri.
Saya pernah ke tempat foto copy di sekitar Banda Sakti hanya untuk membeli sesuatu, setelah saya tanyakan dengan pelayan toko tersebut ternyata barang yang saya maksud tidak dijual di sana. Saat saya mau mengambil kendaraan yang saya tinggalkan di depan toko, tiba-tiba seseorang datang meminta uang dua ribu kepada saya. Katanya itu uang parkir dan resmi oleh Dinas Perhubungan Kota. Saat saya meminta surat keputusan maupun perda yang dimasud, sang ‘tukang parkir’ tidak bisa menunjukkan. Bahkan ada salah satu karikartur yang beredar di facebook kurang lebih isinya seperti ini, “Saya foto copy cuma gopek (lima ratus), tapi parkirnya seceng (seribu).”
Sebenarnya kita tidak mempermasalahkan parkir siluman maupun parkir resmi-nya, tapi yang kita permasalahkan disini adalah kita akan sangat ikhlas dan bangga apabila parkir bisa dikelola oleh Negara ataupun menjadi pendapatan Negara. Karena jika uang parkir menjadi salah satu pendapatkan Negara, itu berarti kita telah ikut serta membangun bangsa.

Rekomendasi saya untuk pemerintah adalah segera terbitkan Perda mengenai parkir, kemudian buat bukti pembayaran parkir. Pertama, agar dana parkir tidak diselewangkan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan. Kedua, agar penggunaan dana parkir bisa digunakan untuk kemaslahatan bersama dengan penggunaan yang transparan. Karena badan jalan bukan milik pribadi maupun perseorangan, melainkan milik Negara. Jadi, Negara memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan dari badan jalan tersebut.

Thursday, 1 January 2015

MAHASISWA: MEMINTA-MINTA DAN MITIGASI BENCANA


Bencana banjir yang terjadi belakangan ini terjadi dikarenakan banyak sebab. Mungkin salah satu

penyebabnya dikarenakan kurangnya kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan, sehingga sampah yang dibuang ini menutupi selokan tempat aliran air. Ada juga yang menutup saluran air dikarenakan kepentingan pribadi seperti menjadi tempat kendaraan roda empatnya parkir. Selain sebab diatas, banjir juga bisa disebabkan oleh hal yang tidak bisa kita duga seperti tanggul penahan air yang jebol/rusak. Pada intinya banjir bisa terjadi dikarenakan hal yang tidak bisa kita duga dan juga  dikarenakan factor manusia sendiri seperti keserahakan manusia yang juga bisa menyebabkan alam marah sehingga memberikan bencana banjir ini kepada kita.
Mahasiswa dan Meminta-minta
Tidak asing lagi dimata kita ketika melihat banyak mahasiswa meminta-minta uang di jalan maupun di sudut lampu merah dengan beragam model kotak sumbangan saat terjadi bencana alam. Ada yang menggunakan kotak mie, kotak kertas, dan lain-lain. Indonesia memang negeri dengan banyak rupa. Banyak pula bencana yang terjadi di negeri Bhineka Tunggal Ika ini, dari bencana longsor, tsunami, gempa bumi dan yang baru-baru ini terjadi yaitu bencana banjir.
            Memang perjuangan dan solidaritas teman-teman mahasiswa patut kita apresiasi dan acungi dengan jempol. Sangat jarang ada mahasiswa yang mau ‘mengemis’ di jalan demi nasib para pengungsi. Dengan bermodalkan kotak dan tenaga serta keikhlasan, mereka rela menghabiskan waktu mereka walaupun berdiri dijalan sambil menyodorkan kotak ‘amal’. Mereka namakan itu sebagai gerakan kemanusiaan, gerakan sosial, dan bermacam-macam gerakan lainnya.
Apa yang terlintas dibenak kita ketika lewat persimpangan lampu merah dan melihat mahasiswa dengan bangga membawa jas kampusnya sambil membawa kotak bertuliskan bantuan bencana. Tak sedikit orang yang berpikiran, “Oh mahasiswa, pasti minta-minta.”, walaupun sebenarnya niat dari sang Mahasiswa ini baik. Tetapi bukankah niat baik, harus dilaksanakan dengan cara yang baik pula?
Sangat disayangkan jika mahasiswa yang notabene-nya disebut sebagai kaum intelektual yang akan akan menjadi “Agen of Change and Development” hanya meminta-minta dijalan, melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya dilakukan oleh ‘pengemis’. Kita semua pasti sudah mengetahui bahwa masih banyak cara lain yang dapat digunakan untuk meminta sumbangan, seperti melakukan pentas seni amal, konser amal, lelang, jual stiker dan masih banyak cara yang bisa dilakukan. Cara-cara seperti itu dinilai lebih menunjukkan intelektualitas kita sebagai sebagai mahasiswa dibandingkan dengan hanya meminta-minta.
Masih banyak lagi cara-cara yang menurut saya lebih menunjukkan bahwa mahasiswa itu adalah benar-benar kaum intelektual. Contohnya, mahasiswa kedokteran dari Center for Indonesia Medical Student Asctivites (CIMSA) melakulan penggalangan dana secara nasional dengan cara melakukan pemeriksaan gula darah dimana uang hasil pemeriksaan tersebut akan dikirim ke lokasi bencana, Komunitas Seni yang melakukan pentas seni dimana uang dari penonton pentas tersebut dikirim ke lokasi bencana, dan  masih banyak cara lain yang dapat dilakukan oleh mahasiswa untuk membantu sesama tanpa harus membuat ‘image’ bahwa mahasiswa adalah pengemis.
Sudah saatnya pula mahasiswa memiliki uang simpanan yang akan menjadi uang bantuan kemanusiaan, sehingga mahasiswa tidak perlu meminta-minta dijalan lagi. Uang simpanan ini bisa didapat dengan banyak cara. Contohnya, mahasiswa pertanian atau perikanan melakukan usaha ternak lele maupun bertanam sayur-sayuran, uang hasil panen sayur maupun lele menjadi uang simpanan untuk korban bencana nanti. Mahasiswa teknik juga bisa membuat stiker, atau mendesain sesuatu. Mahasiswa FKIP dapat membuat bimbingan belajar untk anak-anak disekitar kos/tempat tinggalnya sehingga uangnya dapat digunakan sebagai uang simpanan organisasi/komunitas untuk tanggap bencana.
Mahasiswa dan Mitigasi Bencana
            Upaya refresif yang dilakukan teman-teman mahasiswa seperti meminta-minta sumbangan di jalan, lalu ada yang ikut mengevakuasi korban, ada juga yang melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis, dan masih banyak upaya refresif yang teman-teman mahasiswa lakukan.
Memang harus kita akui sebagai salah satu contoh bahwa Negara kita masih memiliki kader-kader yang memiliki sikap empati dan bersimpati kepada korban bencana. Tetapi, sangat disayangkan kalau sikap empati dan simpati itu baru muncul setelah terjadinya bencana. Marilah kita menanamkan sikap empati sejak dini, dari belum mulai bencana sampai bencana sudah selesai, seperti membantu para korban dalam mencegah atau melakukan mitigasi bencana. Bukankah setiap risiko bencana dapat kita cegah?
            Bukankah pemerintah dapat melakukan langkah-langkah preventif sebagai upaya pencegahan bencana. Seperti melakukan pengerukan  pada daerah aliran air, merevitalisasi pembuangan sampah, memperbaiki tanggul, dan dapat juga menanam banyak pohon sebagai penghalang dan penyerap air.
            Bukan hanya pemerintah saja yang bertanggung jawab atas mitigasi bencana, mahasiswa yang merupakan ‘iron stock’ Negara harus ikut serta membantu tindakan mitigasi bencana diatas. Seperti melakukan penanaman banyak pohon, mengajarkan kepada masyarakat bagaimana cara mencegah bencana, mengajak warga untuk tidak membuang sampah sembarangan. Namun, sayang sekali jika kita sebagai mahasiswa lupa melaksanakan mitigasi bencana pada wilayah yang sebanarnya sudah bisa kita prediksi akan terjadi bencana.
            Pendidikan bencana harus diajarkan ke penduduk di daerah rawan bencana. Baik itu dilakukan oleh pemerintah maupun oleh mahasiswa dalam kegiatan BEM/organisasi mahasiswa lainnya. Pendidikan tersebut diantaranya cara mencegah bencana, menyelamatkan diri saat bencana sehingga mereka tahu apa yang harus mereka lakukan jika telah terjadi bencana.
Peran serta masyarakat/penduduk yang tinggal di daerah banjir juga sangat kita harapkan, karena pencegahan bencana tidak dapat dilakukan jika tidak ada kesadaran dari masyarakat. Jadi masyarakat harus mendukung semua tindakan mitigasi bencana yang dibuat oleh pemerintah dan mahasiswa demi kebaikan bersama.
Jadi, sebenarnya semua bencana banjir yang terjadi di tempat kita sebenarnya sudah dapat diprediksi dan dicegah. Tinggal apakah pemerintah, mahasiswa dan masyarakat mau bekerjasama untuk melakukan tindakan mitigasi bencana.

Tidak ada salahnya jika kita melakukan sesuatu yang baik untuk kita semua. Sekali lagi ayo kita tekankan edukasi dan mitigasi  bencana.