Tak
terasa sudah empat hari aku di Surabaya. Mendapatkan teman baru dan mendapatkan
pengalaman baru. Teman dan pengalaman, mana yang kamu pilih dalam setiap
kegiatan?
Persiapan kepulangan peserta yan mengikuti kegiatan Karya
Ilmiah di Surabaya. Mengisyaratkan pertemuanku kembali dengan Wardah setelah
dua tahun tak berjumpa. Aku mencari kamar Wardah untuk berpamitan kepadanya.
“Assalamualaykum...” ucap salammku disertai ketukku
disuatu ruangan yang ditutup oleh pintu yang sangat rapat.
Tiba-tiba suara dibalik pintu itu membalas salamku seraya
membuka knok pintu. Perempuan itu keluar membawa koper besar yang ntah apa
isinya. Bisa saja peralatan hotel atau lemari dia bawa pulang kerumah.
“Eh, ada apa ni pagi-pagi udah ngetuk pintu kamar orang?”
tanya Wardah dengan logat medhok Jawanya yang sangat khas sekali.
Akupun menjawab, “Nggak ada, aku hanya tidak ingin jika
aku tidak dapat melihatmu sebelum waktu-waktu perpisahan kita.” Jawabku ringan
dan singkat.
“Benarkah begitu?” tanya Wardah penasaran. “Maaf aku
harus pulang ke Solo sekarang.” Ungkapnya dengan membawa kopernya berjalan
meninggalkan aku.
“Wardah!” ucapku menghentikan langkahnya yang berjalan, seketika
dia langsung berhenti berjalan dan menoleh kearahku. “Bolehkah aku ikut ke
Solo?’ tanyaku kepadanya.
Wardah yang melihatku dari tadi hanya terdiam seperti
berfikir, “Hmmmm... bagaimana ya?” tanya dia kepada pribadinya yang labil itu.
“Kalo kamu ke Solo, aku nggak menanggung apapun lho. Bagaimana?” ungkap Wardah
setengah bertanya.
“Iyalah emangnya aku bakal nginep dirumahmu!” seruku
menjawab. “Udah deh, pokoknya kamu tenang aja, fungsi dan tugas kamu disana
hanya menemani aku jalan-jalan aja. Fix?”
“Bagaimana dengan tempat tinggalmu selama di Solo nanti?”
tanya Wardah.
“Kan ada hotel bulan bintang, aku bisa tidur disana.”
Jawabku sambil tertawa. “Lagi pula aku hanya satu hari aja kok di Solo,
besoknya langsung pulang.”
“Ha? Hotel Bulan Bintang?” Wardah mulai memasang wajah
bingung dengan tatapan itu dia melihatku sambil memiringkan kepalanya.
“Hahaha. Maksudku mesjid.” Jawabku berguyon.
Oke, sekarang perjalanan ke Solo dimulai. Kami menggunakan
kereta api dari Surabaya ke Solo. Tak terasa banyak kisah yang kami habiskan. Dari
membeli tiket ke calo, sampai beli nasi uduk.
Saat di perjalanan, seorang penjual nasi uduk menajajakan
masakannya. “Mas, nasi uduk. Ada rendang, ayam, telur dan macem-macem mas.”
Aku yang sedikit iba melihat ibu yang berjualan saat
kereta ini berhenti sejenak pun langsung membeli salah satu makananya, “Bu,
saya mau yang rendang aja.” Ucapku sambil memberikan uang lima ribuan.
Beberapa menit kemudian, kereta api yang berhenti
beberapa menit itupun langsung bergerak diikuti oleh arus keluar dari seluruh
pedagang yang menajajkan jualannya. Aku yang kelaparan di pagi itupun langsung
membuka santapan pagiku dengan laparnya, pas aku menggigit rendangnya. “Kok
alot ya?” tanyaku dalam hati. Pas aku cek dan ricek, eh ternyata rendangnya
adalah potongan sendal jepit yang dikasih kuah rendang.
Wardah yang melihatpun hanya tertawa terbahak-bahak. Aku yang
kesal langsung mengumpat sang ibu penjual nasi sambil membuangnya keluar, “Memang
kurang ajar penjualnya.”
Tak terasa matahari yang sudah terbit sendari tadi
memaksa kami untuk Sholat Shubuh di kursi penumpang kereta api yang kami
tumpangi. Berjam-jam telah kami lewati dan akhirnya kami sampai di Stasiun
Balapan Solo.
“Gus, rumah aku dekat arah selatan. Aku pulang dulu ya
buat mandi, nanti kita ketemu di SGM yah.” Begitu ucap Wardah yang langsung
memberhentikan taksi untuk di tumpangi olehnya.
Ditinggal sendiri oleh Wardah di salah satu Kota Besar di
Jawa Tengah itu, aku masih dalam pencarian mushala atau mesjid yang bisa aku
tumpangi sebagai tempat mandi. Setelah menemukan masjid yang bersih dan tepat,
akupun meminta izin ke marbot untuk dapat mandi di mesjid yang dijaganya.
Tepat pukul sebelas, aku menunggu di SGM. Aku duduk
didepan pagarnya membentangkan tikar dan menaruh mangkuk didepan tubuhku seperti
gembel. Sudah satu jam aku menunggu, sudah satu jam setengah, dan akhirnya
sudah dua jam.
Aku langsung menelpon Wardah, tapi tidak mendapatkan
respon. Aku mencoba menelponnya lagi, kemudian tak diangkat. Sudah kucoba tiga
kali, akhirnya dia mengangkat telponku, “Wardahhhhh, kok baru kamu angkat? Aku sudah
nanggu dari jam sebelas tadi!” ucapku kepadanya.
“Iya, aku lupa.” Ucap Wardah dengan suara seperti orang
yang baru bangun tidur. “Tunggu aku ya, sekitar setengah jam lagi.” Pintanya.
Aku menahan rasa kesalku. Ingin aku membanting
Handphoneku kemudian ku kunyah kayak nelen permen karet, ternyata dia tumor (tukang
molor) juga. Nggak aku sangka dia bisa jadi seceroboh itu.
Jam tiga kurang, aku masih menunggu di depan SGM sambil
memainkan tabku. Sesekali aku mengirimkan pesan singkat menanyakan dia sudah
dekat atau belum.
“Agus, mohon maaf tadi aku ketiduran.” Ucap seorang
wanita yang melambai dari balik tubuhku.
Aku yang mambalikkan wajahku sebentar, langsung
melanjutkan perjalanan hanya dengan berkata, “Ayo masuk.” Ajakku dengan
dinginnya.
Dia hanya mengikuti aku berjalan sambil berbicara dan
tertawa sesekali seperti ingin menghiburku. kami bercerita berdua, apa yang
telah kami lalui saat kami berdua tidak bertemu. Terlalu banyak hal yang kami
lewati tanpa pertemuan, terlalu banyak petualangan, dan sesekali aku menyentil
masa lalu kami.
Dia hanya bisa tertawa ketika mendengarkan cerita kami
waktu masih SMA, bertampang lugu dan tak mengenal dengan sangat dekat satu sama
lainnya. Bahkan hanya pernah menyapa sesekali tanpa mengenal nama.
“Agus udah makan?” ucap Wardah yang mungkin baru sadar
bahwa aku belum makan karena menunggunya terlalu lama dari tadi.
“Belum sih.” Jawabku singkat berharap bisa makan
dirumahnya. “Kita makan dimana? Dirumahmu?” tanyaku.
“Jangan!” jawabnya singkat. “Mending kita cari warung
yang ada disekitar sini aja ya.” Dia menyarankan untuk makan di warung
kesukaannya.
Kami pergi kesana menggunakan bus kota, bercerita berdua.
Kemudian turun di persimpangan jalan hingga akhirnya kami harus kelelahan
karena berjalan kaki menuju lokasi makan yang cukup jauh.
“Kalo lokasi makannya jauh kayak gini. Aku bisa pingsan
duluan War.” Keluhku sambil membersihkan tetesan air yang bercucuran dari
jidatku.
“Eh! Laki-laki tak boleh mengeluh. Bagaimana kalo kamu
sudah dewasa dan harus berkeluarga nanti? Jadi kebiasaan lho!” seru Wardah
dengan tegasnya.
Tak lama setalah memesan makanan, makanan yang kami pesan
langsung datang. Aku langsung mengambil makananku dan bersiap-siap untuk makan.
Kami berdua makan sambil bercerita lagi, kemudian Wardah meletakkan makanannya
kedalam piringku, “Ini, makanlah. Kamu butuh energi lebih.” Ucapnya singkat.
Tak terasa sang surya sudah tenggelam. Wardah meminta
izin untuk pulang kerumah. Karena anak sepertinya tidak diizinkan keluar malam
sendirian, tanpa ibunya yang mengikuti.
Dia pulang dengan menaiki taksi biru itu, diam-diam aku
mengikutinya. Aku sangat penasaran dan sungguh ingin mengetahui dimana letak
rumahnya. Tapi ntah mengapa Wardah selalu melarangku untuk datang kerumahnya,
bahkan di Hari Lebaran.
Setelah kepulangan Wardah kerumahnya, aku melanjutkan
perjalananku sendiri ke wisma tempat aku menginap. Memang sangat menyedihkan,
saat siangnya kita dapat menghabiskan waktu bersama seseorang yang kita
inginkan, dan malam mengubah segalanya membuatku sendiri dan tak tau apa yang
harus aku lakukan sendirian selanjutnya.
Tiba-tiba, sebuah pesan singkat masuk ke telpon
genggamku. Aku langsung membacanya, “Ternyata dari Wardah.” Ucapku dalam hati.
Aku langsung membuka pesannya dengan sangat gembira, ntah
apa yang ingin diucapkan olehnya. “Besok aku akan ke bandara jam setengah delapan.”
Begitu bunyi SMS Wardah ditengah malam ini.
Aku yang kelelahan karena perjalanan yang cukup jauh dan
mengasyikan ini langsung terpejam untuk menikmati mimpi-mimpi indah. Ditemani bintang
porno-eh salah maksudnya bintang-bintang, televisi yang masih berisik, bulan
yang terangnya melawan gelapnya malam aku ingin setiap hari seperti ini
bersamamu.
Sang fajar telah terbit, memaksa kita untuk bangun dan
melanjutkan aktifitas. Aku berjalan menuju masjid terdekat untuk melaksanakan
Sholat Shubuh berjamaah. Tak terasa beberapa menit setelah sholat, aku harus
merapikan barang-barangku sebelum aku pulang ke Palembang.
Aku mencari taksi untuk menuju bandara, aku harus sampai
di bandara jam tujuh pagi. Karena pesawatku akan berangkat jam sembilan kurang.
Hari ini menjadi hari terakhir pertemuanku dan Wardah untuk satu tahun ini,
karena aku tidak akan punya kesempatan yang sama untuk kembali ke Solo.
Aku duduk sendiri dikursi yang dihimpit oleh dua pot buga
yang berukuran besar, menunggu seorang wanita yang katanya sedang dijalan. Kulihat
jam tanganku telah menunjukkan jam delapan. “Dimana kamu Wardah? Kamu telat
lagi setengah jam.” Begitu ucapku dalam hati.
Aku sangat takut dia tak bisa sampai kesini sebelum aku
berangkat, sedikit demi sedikit aku menitihkan air mataku. Rasa ketakutan itu
sampai membuat kepalaku sakit, aku bertanya-tanya didalam hati “Wardah, kamu
dimana?”.
Tiba-tiba Handphoneku berdering. Aku merasa senang melihat
ternyata yang menelponku adalah Wardah. Segera aku mengangkat telponku.
“Assalamualaikum, kamu dimana Gus?’ ucap Wardah ditengah
keramaian.
Akupun berdiri sambil melihat kekanan dan ke kiri, “Aku
diatas, aku dikursi yang ada dekat Solaria.” Ucapku.
“Oh disana, aku lagi di eskalator. Tunggu aku ya.” Ucap Wardah
sambil berlari, “Kamu udah makan?” tanyanya kepadaku.
Aku hanya menjawab, “Cepat kesini!” sambil mematikan
telponnya.
Akupun terduduk kembali sambil menanggis, harapanku hari
ini hanyalah bisa melihat wajahnya untuk tahun ini hingga akhirnya aku memiliki
kesempatan untuk kembali kesini.
Seorang perempuan datang kearahku, “Agus, kamu kenapa?”
“Nggak ada kok.” Aku langsung berdiri berjalan
seolah-olah mengajaknya.
“Kita makan pagi dulu yok.” Ajak Wardah sambil menuntunku
ke Solaria, “Ayok ikuti aku.”.
“Eh, waktu kita tinggal setengah jam lagi!” ucapku sambil
duduk didepannya untuk menyantap makan pagi kami.
“Terus masalahnya apa?” dia bertanya seolah-olah tidak
terjadi apa-apa.
Kami makan berdua dimeja itu, sesekali kami berfoto
selfie berdua dan meminta tolong kepada petugas makanan untuk memotret kami
berdua.
“Apakah kita akan bertemu tahun depan?” tanyaku
kepadanya.
“Kenapa harus tahun depan?” dia bertanya balik. “Bahkan
aku berdo’a agar pesawatnya delay sampai besok. hehehe.” Dia tertawa licik.
Aku yang mendengar ucapannya hanya tertegun dan berfikir
ternyata dia ingin lebih lama lagi menghabiskan waktu bersamaku.
“Bahkan aku ingin pesawatnya jatuh dan meledak. Biar kamu
nggak jadi pulang. Hehehe.” Ucapnya yang makin brutal, “Atau kamu jadi gembel
dijalan dekat UNS, biar aku bisa kasih kamu makan setiap hari.” Fantasi yang
dia miliki sepertinya memang terlalu berlebihan.
Percakapan kami langsung terpotong oleh pengumuman yang
dibuat pihak bandara, “Kepada penumpang pesawat Air Asia agar dapat segera
masuk ke pesawat.” Ternyata itu adalah panggilan terakhir.
“Aku harus pergi sekarang, terimakasih atas semuanya. Semoga
kita bisa ketemu lagi.” Ucapku sambil membawa koperku naik keatas.
Dia hanya terdiam dan ikut berlari, tetapi dia tak bisa
naik keatas. Dia hanya bisa melihatku dari balik dinging kaca yang berada
didekat pintu masuk check in. Dia melihatku yang sedang menaiki eskalator, aku
yang sedang berada di sana hanya bisa melihatnya dengan senyuman.
Ku lihat matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya yang
terbiasa senyum tidak dapat lagi berkamuflase dan mengkiaskan bahwa dia sedang
sedih. Aku yang melihatnya dengan senyuman, langsung memalingkan pandanganku
dari wajahnya untuk menyembunyikan air mata.
Aku pergi dengan menyisakan sedikit air mata sampai
akhirnya aku duduk didalam pesawat. Dinding kaca yang membuat Wardah tak
berdaya itupun menjadi saksi perpisahan kami pada tahun ini.
Wardah yang berjalan ke parkiran sambil membersihkan air
matanya hanya bisa melanjutkan perjalannya menuju rumah.
Saat dia sedang berjalan keluar, dia melihat ada pesawat
Air Asia yang sedang terbang diatas kepalanya. “Mungkinkah itu pesawatnya?” ucapnya
didalam hati sambil melanjutkan perjalanan.
No comments:
Post a Comment