Thursday, 4 June 2015

DINDING KACA

Tak terasa sudah empat hari aku di Surabaya. Mendapatkan teman baru dan mendapatkan pengalaman baru. Teman dan pengalaman, mana yang kamu pilih dalam setiap kegiatan?
Persiapan kepulangan peserta yan mengikuti kegiatan Karya Ilmiah di Surabaya. Mengisyaratkan pertemuanku kembali dengan Wardah setelah dua tahun tak berjumpa. Aku mencari kamar Wardah untuk berpamitan kepadanya.
“Assalamualaykum...” ucap salammku disertai ketukku disuatu ruangan yang ditutup oleh pintu yang sangat rapat.
Tiba-tiba suara dibalik pintu itu membalas salamku seraya membuka knok pintu. Perempuan itu keluar membawa koper besar yang ntah apa isinya. Bisa saja peralatan hotel atau lemari dia bawa pulang kerumah.
“Eh, ada apa ni pagi-pagi udah ngetuk pintu kamar orang?” tanya Wardah dengan logat medhok Jawanya yang sangat khas sekali.
Akupun menjawab, “Nggak ada, aku hanya tidak ingin jika aku tidak dapat melihatmu sebelum waktu-waktu perpisahan kita.” Jawabku ringan dan singkat.
“Benarkah begitu?” tanya Wardah penasaran. “Maaf aku harus pulang ke Solo sekarang.” Ungkapnya dengan membawa kopernya berjalan meninggalkan aku.
“Wardah!” ucapku menghentikan langkahnya yang berjalan, seketika dia langsung berhenti berjalan dan menoleh kearahku. “Bolehkah aku ikut ke Solo?’ tanyaku kepadanya.
Wardah yang melihatku dari tadi hanya terdiam seperti berfikir, “Hmmmm... bagaimana ya?” tanya dia kepada pribadinya yang labil itu. “Kalo kamu ke Solo, aku nggak menanggung apapun lho. Bagaimana?” ungkap Wardah setengah bertanya.
“Iyalah emangnya aku bakal nginep dirumahmu!” seruku menjawab. “Udah deh, pokoknya kamu tenang aja, fungsi dan tugas kamu disana hanya menemani aku jalan-jalan aja. Fix?”
“Bagaimana dengan tempat tinggalmu selama di Solo nanti?” tanya Wardah.
“Kan ada hotel bulan bintang, aku bisa tidur disana.” Jawabku sambil tertawa. “Lagi pula aku hanya satu hari aja kok di Solo, besoknya langsung pulang.”
“Ha? Hotel Bulan Bintang?” Wardah mulai memasang wajah bingung dengan tatapan itu dia melihatku sambil memiringkan kepalanya.
“Hahaha. Maksudku mesjid.” Jawabku berguyon.
Oke, sekarang perjalanan ke Solo dimulai. Kami menggunakan kereta api dari Surabaya ke Solo. Tak terasa banyak kisah yang kami habiskan. Dari membeli tiket ke calo, sampai beli nasi uduk.
Saat di perjalanan, seorang penjual nasi uduk menajajakan masakannya. “Mas, nasi uduk. Ada rendang, ayam, telur dan macem-macem mas.”
Aku yang sedikit iba melihat ibu yang berjualan saat kereta ini berhenti sejenak pun langsung membeli salah satu makananya, “Bu, saya mau yang rendang aja.” Ucapku sambil memberikan uang lima ribuan.
Beberapa menit kemudian, kereta api yang berhenti beberapa menit itupun langsung bergerak diikuti oleh arus keluar dari seluruh pedagang yang menajajkan jualannya. Aku yang kelaparan di pagi itupun langsung membuka santapan pagiku dengan laparnya, pas aku menggigit rendangnya. “Kok alot ya?” tanyaku dalam hati. Pas aku cek dan ricek, eh ternyata rendangnya adalah potongan sendal jepit yang dikasih kuah rendang.
Wardah yang melihatpun hanya tertawa terbahak-bahak. Aku yang kesal langsung mengumpat sang ibu penjual nasi sambil membuangnya keluar, “Memang kurang ajar penjualnya.”
Tak terasa matahari yang sudah terbit sendari tadi memaksa kami untuk Sholat Shubuh di kursi penumpang kereta api yang kami tumpangi. Berjam-jam telah kami lewati dan akhirnya kami sampai di Stasiun Balapan Solo.
“Gus, rumah aku dekat arah selatan. Aku pulang dulu ya buat mandi, nanti kita ketemu di SGM yah.” Begitu ucap Wardah yang langsung memberhentikan taksi untuk di tumpangi olehnya.
Ditinggal sendiri oleh Wardah di salah satu Kota Besar di Jawa Tengah itu, aku masih dalam pencarian mushala atau mesjid yang bisa aku tumpangi sebagai tempat mandi. Setelah menemukan masjid yang bersih dan tepat, akupun meminta izin ke marbot untuk dapat mandi di mesjid yang dijaganya.
Tepat pukul sebelas, aku menunggu di SGM. Aku duduk didepan pagarnya membentangkan tikar dan menaruh mangkuk didepan tubuhku seperti gembel. Sudah satu jam aku menunggu, sudah satu jam setengah, dan akhirnya sudah dua jam.
Aku langsung menelpon Wardah, tapi tidak mendapatkan respon. Aku mencoba menelponnya lagi, kemudian tak diangkat. Sudah kucoba tiga kali, akhirnya dia mengangkat telponku, “Wardahhhhh, kok baru kamu angkat? Aku sudah nanggu dari jam sebelas tadi!” ucapku kepadanya.
“Iya, aku lupa.” Ucap Wardah dengan suara seperti orang yang baru bangun tidur. “Tunggu aku ya, sekitar setengah jam lagi.” Pintanya.
Aku menahan rasa kesalku. Ingin aku membanting Handphoneku kemudian ku kunyah kayak nelen permen karet, ternyata dia tumor (tukang molor) juga. Nggak aku sangka dia bisa jadi seceroboh itu.
Jam tiga kurang, aku masih menunggu di depan SGM sambil memainkan tabku. Sesekali aku mengirimkan pesan singkat menanyakan dia sudah dekat atau belum.
“Agus, mohon maaf tadi aku ketiduran.” Ucap seorang wanita yang melambai dari balik tubuhku.
Aku yang mambalikkan wajahku sebentar, langsung melanjutkan perjalanan hanya dengan berkata, “Ayo masuk.” Ajakku dengan dinginnya.
Dia hanya mengikuti aku berjalan sambil berbicara dan tertawa sesekali seperti ingin menghiburku. kami bercerita berdua, apa yang telah kami lalui saat kami berdua tidak bertemu. Terlalu banyak hal yang kami lewati tanpa pertemuan, terlalu banyak petualangan, dan sesekali aku menyentil masa lalu kami.
Dia hanya bisa tertawa ketika mendengarkan cerita kami waktu masih SMA, bertampang lugu dan tak mengenal dengan sangat dekat satu sama lainnya. Bahkan hanya pernah menyapa sesekali tanpa mengenal nama.
“Agus udah makan?” ucap Wardah yang mungkin baru sadar bahwa aku belum makan karena menunggunya terlalu lama dari tadi.
“Belum sih.” Jawabku singkat berharap bisa makan dirumahnya. “Kita makan dimana? Dirumahmu?” tanyaku.
“Jangan!” jawabnya singkat. “Mending kita cari warung yang ada disekitar sini aja ya.” Dia menyarankan untuk makan di warung kesukaannya.
Kami pergi kesana menggunakan bus kota, bercerita berdua. Kemudian turun di persimpangan jalan hingga akhirnya kami harus kelelahan karena berjalan kaki menuju lokasi makan yang cukup jauh.
“Kalo lokasi makannya jauh kayak gini. Aku bisa pingsan duluan War.” Keluhku sambil membersihkan tetesan air yang bercucuran dari jidatku.
“Eh! Laki-laki tak boleh mengeluh. Bagaimana kalo kamu sudah dewasa dan harus berkeluarga nanti? Jadi kebiasaan lho!” seru Wardah dengan tegasnya.
Tak lama setalah memesan makanan, makanan yang kami pesan langsung datang. Aku langsung mengambil makananku dan bersiap-siap untuk makan. Kami berdua makan sambil bercerita lagi, kemudian Wardah meletakkan makanannya kedalam piringku, “Ini, makanlah. Kamu butuh energi lebih.” Ucapnya singkat.
Tak terasa sang surya sudah tenggelam. Wardah meminta izin untuk pulang kerumah. Karena anak sepertinya tidak diizinkan keluar malam sendirian, tanpa ibunya yang mengikuti.
Dia pulang dengan menaiki taksi biru itu, diam-diam aku mengikutinya. Aku sangat penasaran dan sungguh ingin mengetahui dimana letak rumahnya. Tapi ntah mengapa Wardah selalu melarangku untuk datang kerumahnya, bahkan di Hari Lebaran.
Setelah kepulangan Wardah kerumahnya, aku melanjutkan perjalananku sendiri ke wisma tempat aku menginap. Memang sangat menyedihkan, saat siangnya kita dapat menghabiskan waktu bersama seseorang yang kita inginkan, dan malam mengubah segalanya membuatku sendiri dan tak tau apa yang harus aku lakukan sendirian selanjutnya.
Tiba-tiba, sebuah pesan singkat masuk ke telpon genggamku. Aku langsung membacanya, “Ternyata dari Wardah.” Ucapku dalam hati.
Aku langsung membuka pesannya dengan sangat gembira, ntah apa yang ingin diucapkan olehnya. “Besok aku akan ke bandara jam setengah delapan.” Begitu bunyi SMS Wardah ditengah malam ini.
Aku yang kelelahan karena perjalanan yang cukup jauh dan mengasyikan ini langsung terpejam untuk menikmati mimpi-mimpi indah. Ditemani bintang porno-eh salah maksudnya bintang-bintang, televisi yang masih berisik, bulan yang terangnya melawan gelapnya malam aku ingin setiap hari seperti ini bersamamu.
Sang fajar telah terbit, memaksa kita untuk bangun dan melanjutkan aktifitas. Aku berjalan menuju masjid terdekat untuk melaksanakan Sholat Shubuh berjamaah. Tak terasa beberapa menit setelah sholat, aku harus merapikan barang-barangku sebelum aku pulang ke Palembang.
Aku mencari taksi untuk menuju bandara, aku harus sampai di bandara jam tujuh pagi. Karena pesawatku akan berangkat jam sembilan kurang. Hari ini menjadi hari terakhir pertemuanku dan Wardah untuk satu tahun ini, karena aku tidak akan punya kesempatan yang sama untuk kembali ke Solo.
Aku duduk sendiri dikursi yang dihimpit oleh dua pot buga yang berukuran besar, menunggu seorang wanita yang katanya sedang dijalan. Kulihat jam tanganku telah menunjukkan jam delapan. “Dimana kamu Wardah? Kamu telat lagi setengah jam.” Begitu ucapku dalam hati.
Aku sangat takut dia tak bisa sampai kesini sebelum aku berangkat, sedikit demi sedikit aku menitihkan air mataku. Rasa ketakutan itu sampai membuat kepalaku sakit, aku bertanya-tanya didalam hati “Wardah, kamu dimana?”.
Tiba-tiba Handphoneku berdering. Aku merasa senang melihat ternyata yang menelponku adalah Wardah. Segera aku mengangkat telponku.
“Assalamualaikum, kamu dimana Gus?’ ucap Wardah ditengah keramaian.
Akupun berdiri sambil melihat kekanan dan ke kiri, “Aku diatas, aku dikursi yang ada dekat Solaria.” Ucapku.
“Oh disana, aku lagi di eskalator. Tunggu aku ya.” Ucap Wardah sambil berlari, “Kamu udah makan?” tanyanya kepadaku.
Aku hanya menjawab, “Cepat kesini!” sambil mematikan telponnya.
Akupun terduduk kembali sambil menanggis, harapanku hari ini hanyalah bisa melihat wajahnya untuk tahun ini hingga akhirnya aku memiliki kesempatan untuk kembali kesini.
Seorang perempuan datang kearahku, “Agus, kamu kenapa?”
“Nggak ada kok.” Aku langsung berdiri berjalan seolah-olah mengajaknya.
“Kita makan pagi dulu yok.” Ajak Wardah sambil menuntunku ke Solaria, “Ayok ikuti aku.”.
“Eh, waktu kita tinggal setengah jam lagi!” ucapku sambil duduk didepannya untuk menyantap makan pagi kami.
“Terus masalahnya apa?” dia bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Kami makan berdua dimeja itu, sesekali kami berfoto selfie berdua dan meminta tolong kepada petugas makanan untuk memotret kami berdua.
“Apakah kita akan bertemu tahun depan?” tanyaku kepadanya.
“Kenapa harus tahun depan?” dia bertanya balik. “Bahkan aku berdo’a agar pesawatnya delay sampai besok. hehehe.” Dia tertawa licik.
Aku yang mendengar ucapannya hanya tertegun dan berfikir ternyata dia ingin lebih lama lagi menghabiskan waktu bersamaku.
“Bahkan aku ingin pesawatnya jatuh dan meledak. Biar kamu nggak jadi pulang. Hehehe.” Ucapnya yang makin brutal, “Atau kamu jadi gembel dijalan dekat UNS, biar aku bisa kasih kamu makan setiap hari.” Fantasi yang dia miliki sepertinya memang terlalu berlebihan.
Percakapan kami langsung terpotong oleh pengumuman yang dibuat pihak bandara, “Kepada penumpang pesawat Air Asia agar dapat segera masuk ke pesawat.” Ternyata itu adalah panggilan terakhir.
“Aku harus pergi sekarang, terimakasih atas semuanya. Semoga kita bisa ketemu lagi.” Ucapku sambil membawa koperku naik keatas.
Dia hanya terdiam dan ikut berlari, tetapi dia tak bisa naik keatas. Dia hanya bisa melihatku dari balik dinging kaca yang berada didekat pintu masuk check in. Dia melihatku yang sedang menaiki eskalator, aku yang sedang berada di sana hanya bisa melihatnya dengan senyuman.
Ku lihat matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya yang terbiasa senyum tidak dapat lagi berkamuflase dan mengkiaskan bahwa dia sedang sedih. Aku yang melihatnya dengan senyuman, langsung memalingkan pandanganku dari wajahnya untuk menyembunyikan air mata.
Aku pergi dengan menyisakan sedikit air mata sampai akhirnya aku duduk didalam pesawat. Dinding kaca yang membuat Wardah tak berdaya itupun menjadi saksi perpisahan kami pada tahun ini.
Wardah yang berjalan ke parkiran sambil membersihkan air matanya hanya bisa melanjutkan perjalannya menuju rumah.

Saat dia sedang berjalan keluar, dia melihat ada pesawat Air Asia yang sedang terbang diatas kepalanya. “Mungkinkah itu pesawatnya?” ucapnya didalam hati sambil melanjutkan perjalanan.

No comments:

Post a Comment