Pagi itu warna-warni dunia melunturkan warna hitam
langit, untuk diwarnai biru oleh sang maha kuasa. Sang mentari terbit
memberikan bayangan yang mengikuti kemanapun kita berjalan. Menjadi teman yang akan
menemani kita selama ada cahaya, tetapi meninggalkan kita ketika cahaya itu
pergi. Bayangan, sebenarnya dirimu temannya cahaya atau diriku?
Ku melihat
bayangan yang sepertinya sangat bersahabat akrab dengan kita, tapi terkadang
juga dia meninggalkan kita. Refleksi hitam dari tubuh kita yang dipancarkan
tegak lurus dari sumbu berdiri. Bukankah dia berbentuk abstrak? Tetapi, dia
selalu menemani kita dikala gelap, memberikan rasa percaya bahwa kita tak
benar-benar sendiri.
Hari
libur memang menyenangkan dan sangat ditunggu. Kita dapat bersantai, melakukan
aktifitas yang tidak bisa kita lakukan dihari kuliah. Tetapi, terkadang hari
liburku harus ku habiskan dengan kegiatan organisasi. Seperti penyuluhan,
mengajar, bersenang-senang dengan sahabat-sahabatku dan masih banyak aktifitas
lain yang bermanfaat maupun tidak bermanfaat, tapi tergantung sudut pandang
sih.
Pagi yang
indah dalam kegiatan penyuluhan di sebuah sekolah dasar yang ada didekat jalan Lintas
Sumatera. Memberikan keceriaan kepada kami dan peserta yang mengikutinya, tidak
sedikit tawa dan teriak antusiasme dari anak-anak yang sepertinya menikmati
semuanya. Tiba-tiba, salah seorang adik tingkatku mendatangiku.
“Bang,
boleh minjem Tab-nya?” ucap seorang adik tingkatku di FK.
Aku yang
tidak mungkin menolaknya langsung memberikan izin sambil menyodorkan Tab-ku
dengan tangan kananku. Hafni langsung mengambilnya dengan wajah yang sangat berseri-seri.
Awalnya dia
hanya membuka website kampus dan website yang berhubungan dengan pelajaran. Hingga
akhirnya aku mencurigainya, mungkin dia telah melakukan sesuatu kepada Tab-ku. Dan
ternyata seteleh aku mengecheck media sosialku, oh tidakkk.
Dia membuat
tulisan “Yang terlewatkan! Cinta datang terlambar cc: @WardahtulJannah.” Di twitter,
facebook, line dan semua media sosial yang ada di tab-ku. Sungguh postingan
yang sangat memalukan, ditambah lagi aku sangat takut jika nanti Wardah menjadi
salah kaprah.
Tak lama
kemudian, seorang wanita yang dimention dalam kiriman tersebut langsung membalas
kirimanku. Aku langsung membuka tab-ku dan kemudian melihat apa yang dibalas
oleh sang punya akun. Aku hanya tersenyum melihat apa yang dia tulis, ku pikir
semuanya baik-baik saja. Sepertinya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan
dalam konten yang dibuat tadi. Oke... okee semuanya pasti akan berjalan seperti
biasa.
Siang berganti
malam, malam berganti siang berputar sebagai satu siklus yang wajib ada
disetiap perjalanan hidup kita. Tak terasa hari ini telah berlalu, terasa lelah
menghadapi hari-hari yang dilalui selama perjalanan jauh ini. Lelah melangkah harus
dilupakan karena hanya akan menjadi beban dalam bertindak.
Aku menelpon
perempuan yang sudah lama tak ku telpon, yang beberapa bulan yang lalu aku
temui di kotanya.
“Assalamualaikum.”
Ucapku menyapanya dengan ramah di telpon.
Dia
hanya diam tidak menjawab salamku, aku mengulangi salamku sekali lagi, tetapi
tetap saja dia tidak bergeming dan tidak membalas salamku. Ada apa sebenarnya,
bukankah jika ada masalah sebaiknya diucapkan saja? Jangan dipendam atau
disimpan sendiri sampai mengerogoti hati dan menimbulkan rasa benci.
Tak puas
karena belum mendapatkan jawaban darinya, aku mengucapkan salam sekali lagi. Tapi,
dia masih tidak mau menjawabnya. Hingga akhirnya dia mulai menanggis.
“Apa kau
anggap semua ini main-main?” ucapnya di telpon seolah-olah ingin memarahiku, suara
tangis yang tak kalah menyayat hatikupun ikut mengiringi ucapannya.
Aku terdiam
mendengar ucapannya, aku hanya mencoba untuk kembali mengerti apa yang dimaksud
dengan perkataannya tadi, “Ada apa?”
“Sudahlah,
kau hanya menganggap ini main-main. Aku membencimu, setelah semua yang kita
lalui. Kau ternyata hanya menganggap ini main-main.” Lanjutnya seraya mematikan
telponnya.
Sebenarnya
ada apa ini? Mengapa suasana bisa menjadi seperti ini. Bukankah seharusnya aku
menikmati hari ini dengan indah? Tiba-tiba pelangi yang ada dikepalaku luntur
bak bercampur dengan cat hitam yang merusak warnanya. Hatiku semakin kacau, seolah-olah
telah menjadi orat arit telur yang udah nggak karuan lagi bentuknya.
Ntah apa
yang sebenarnya terjadi, apakah karena dia tidak suka dengan apa yang dikirim
oleh adik kelasku kemarin? Tetapi bukankah telah dibalasnya dan memang
sepertinya sudah tidak dipermasalahkan. Apakah karena ada hal lain yang ada
padaku telah membuatnya merasa terusik?
Tetapi,
bukankah aku yang seharusnya terusik dengan apa yang dia lakukan tadi. Tanpa basa
basi, tanpa bertanya, tanpa menjawab dia mengakhiri telponku, dia bilang
membenciku.
Kutanyakan
pada seorang temannya, apa yang sebenarnya terjadi, “Lath, kenapa Wardah marah
denganku?”.
Lathifah
yang sepertinya sedang berada di pasar langsung menjawab telponku, “Emangnya
kenapa gitu Gus?” begitu katanya bertanya balik.
“Dia
seolah-olah marah denganku.”, jelasku singkat.
Lathifah
yang mendengar penjelasanku langsung menyarankan aku untuk menelpon teman
dekatnya yang memang sering menjadi teman curhatnya. Akupun sesegera mungkin
menelpon Ayu yang sepertinya masih tidur, dengan suara ngantuknya dia menjawab
telponku.
Hmmm...
bagaimana mungkin perasaannya tak tersakiti? Aku seolah-olah datang dan pergi
begitu saja. Datang tak diundang, pergi tak permisi. Seolah-olah membuatnya
yang ‘katanya’ menunggu menjadi jengkel. Betapa tinggi dinding pembatas yang
dia buat kepada orang-orang, betapa dia menjaga dirinya untuk tidak didekati
oleh orang lain.
Melihat dirinya
yang sangat menjaga diri membuatku takut mendekatinya, aku hanya berani sebatas
dekat berteman saja walaupun sebenarnya aku juga menyukainya. Aku hanya takut
dia telah menyukai laki-laki lain, sehingga aku akan kecewa jika terlalu
mengharapkannya. Sehingga aku seolah-olah terlihat melewatkannya, dan akhirnya
dia menjadi yang terlewatkan tanpa status yang jelas. Ditambah dengan candaan
adik kelasku yang sepertinya menjadi pemicunya, pemicunya seperti seolah-olah
dipermainkan olehku.
Ku pikir,
dia telah memiliki laki-laki idaman yang sangat dia sukai, sangat beralasan aku
berfikir begitu karena betapa tinggi tembok yang dia buat untuk menjaga
jaraknya dengan laki-laki. Aku sangat penasaran hingga aku bertanya kepada
teman dekatnya lagi. Tetapi jawaban yang aku dapatkan saat aku bertanya kepada
teman dekatnya. Ternyata itu adalah aku, yang menjadi bayang-bayang yang aku
takutkan sehingga aku menjadi orang yang melewatkan dan bisa saja akhirnya dilewatkan.