Saturday, 4 July 2015

Yang Tertinggal

Pagi itu warna-warni dunia melunturkan warna hitam langit, untuk diwarnai biru oleh sang maha kuasa. Sang mentari terbit memberikan bayangan yang mengikuti kemanapun kita berjalan. Menjadi teman yang akan menemani kita selama ada cahaya, tetapi meninggalkan kita ketika cahaya itu pergi. Bayangan, sebenarnya dirimu temannya cahaya atau diriku?
            Ku melihat bayangan yang sepertinya sangat bersahabat akrab dengan kita, tapi terkadang juga dia meninggalkan kita. Refleksi hitam dari tubuh kita yang dipancarkan tegak lurus dari sumbu berdiri. Bukankah dia berbentuk abstrak? Tetapi, dia selalu menemani kita dikala gelap, memberikan rasa percaya bahwa kita tak benar-benar sendiri.
            Hari libur memang menyenangkan dan sangat ditunggu. Kita dapat bersantai, melakukan aktifitas yang tidak bisa kita lakukan dihari kuliah. Tetapi, terkadang hari liburku harus ku habiskan dengan kegiatan organisasi. Seperti penyuluhan, mengajar, bersenang-senang dengan sahabat-sahabatku dan masih banyak aktifitas lain yang bermanfaat maupun tidak bermanfaat, tapi tergantung sudut pandang sih.
            Pagi yang indah dalam kegiatan penyuluhan di sebuah sekolah dasar yang ada didekat jalan Lintas Sumatera. Memberikan keceriaan kepada kami dan peserta yang mengikutinya, tidak sedikit tawa dan teriak antusiasme dari anak-anak yang sepertinya menikmati semuanya. Tiba-tiba, salah seorang adik tingkatku mendatangiku.
            “Bang, boleh minjem Tab-nya?” ucap seorang adik tingkatku di FK.
            Aku yang tidak mungkin menolaknya langsung memberikan izin sambil menyodorkan Tab-ku dengan tangan kananku. Hafni langsung mengambilnya dengan wajah yang sangat berseri-seri.
            Awalnya dia hanya membuka website kampus dan website yang berhubungan dengan pelajaran. Hingga akhirnya aku mencurigainya, mungkin dia telah melakukan sesuatu kepada Tab-ku. Dan ternyata seteleh aku mengecheck media sosialku, oh tidakkk.
            Dia membuat tulisan “Yang terlewatkan! Cinta datang terlambar cc: @WardahtulJannah.” Di twitter, facebook, line dan semua media sosial yang ada di tab-ku. Sungguh postingan yang sangat memalukan, ditambah lagi aku sangat takut jika nanti Wardah menjadi salah kaprah.
            Tak lama kemudian, seorang wanita yang dimention dalam kiriman tersebut langsung membalas kirimanku. Aku langsung membuka tab-ku dan kemudian melihat apa yang dibalas oleh sang punya akun. Aku hanya tersenyum melihat apa yang dia tulis, ku pikir semuanya baik-baik saja. Sepertinya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam konten yang dibuat tadi. Oke... okee semuanya pasti akan berjalan seperti biasa.
            Siang berganti malam, malam berganti siang berputar sebagai satu siklus yang wajib ada disetiap perjalanan hidup kita. Tak terasa hari ini telah berlalu, terasa lelah menghadapi hari-hari yang dilalui selama perjalanan jauh ini. Lelah melangkah harus dilupakan karena hanya akan menjadi beban dalam bertindak.
            Aku menelpon perempuan yang sudah lama tak ku telpon, yang beberapa bulan yang lalu aku temui di kotanya.
            “Assalamualaikum.” Ucapku menyapanya dengan ramah di telpon.
            Dia hanya diam tidak menjawab salamku, aku mengulangi salamku sekali lagi, tetapi tetap saja dia tidak bergeming dan tidak membalas salamku. Ada apa sebenarnya, bukankah jika ada masalah sebaiknya diucapkan saja? Jangan dipendam atau disimpan sendiri sampai mengerogoti hati dan menimbulkan rasa benci.
            Tak puas karena belum mendapatkan jawaban darinya, aku mengucapkan salam sekali lagi. Tapi, dia masih tidak mau menjawabnya. Hingga akhirnya dia mulai menanggis.
            “Apa kau anggap semua ini main-main?” ucapnya di telpon seolah-olah ingin memarahiku, suara tangis yang tak kalah menyayat hatikupun ikut mengiringi ucapannya.
            Aku terdiam mendengar ucapannya, aku hanya mencoba untuk kembali mengerti apa yang dimaksud dengan perkataannya tadi, “Ada apa?”
            “Sudahlah, kau hanya menganggap ini main-main. Aku membencimu, setelah semua yang kita lalui. Kau ternyata hanya menganggap ini main-main.” Lanjutnya seraya mematikan telponnya.
            Sebenarnya ada apa ini? Mengapa suasana bisa menjadi seperti ini. Bukankah seharusnya aku menikmati hari ini dengan indah? Tiba-tiba pelangi yang ada dikepalaku luntur bak bercampur dengan cat hitam yang merusak warnanya. Hatiku semakin kacau, seolah-olah telah menjadi orat arit telur yang udah nggak karuan lagi bentuknya.
            Ntah apa yang sebenarnya terjadi, apakah karena dia tidak suka dengan apa yang dikirim oleh adik kelasku kemarin? Tetapi bukankah telah dibalasnya dan memang sepertinya sudah tidak dipermasalahkan. Apakah karena ada hal lain yang ada padaku telah membuatnya merasa terusik?
            Tetapi, bukankah aku yang seharusnya terusik dengan apa yang dia lakukan tadi. Tanpa basa basi, tanpa bertanya, tanpa menjawab dia mengakhiri telponku, dia bilang membenciku.
            Kutanyakan pada seorang temannya, apa yang sebenarnya terjadi, “Lath, kenapa Wardah marah denganku?”.
            Lathifah yang sepertinya sedang berada di pasar langsung menjawab telponku, “Emangnya kenapa gitu Gus?” begitu katanya bertanya balik.
            “Dia seolah-olah marah denganku.”, jelasku singkat.
            Lathifah yang mendengar penjelasanku langsung menyarankan aku untuk menelpon teman dekatnya yang memang sering menjadi teman curhatnya. Akupun sesegera mungkin menelpon Ayu yang sepertinya masih tidur, dengan suara ngantuknya dia menjawab telponku.
            Hmmm... bagaimana mungkin perasaannya tak tersakiti? Aku seolah-olah datang dan pergi begitu saja. Datang tak diundang, pergi tak permisi. Seolah-olah membuatnya yang ‘katanya’ menunggu menjadi jengkel. Betapa tinggi dinding pembatas yang dia buat kepada orang-orang, betapa dia menjaga dirinya untuk tidak didekati oleh orang lain.
            Melihat dirinya yang sangat menjaga diri membuatku takut mendekatinya, aku hanya berani sebatas dekat berteman saja walaupun sebenarnya aku juga menyukainya. Aku hanya takut dia telah menyukai laki-laki lain, sehingga aku akan kecewa jika terlalu mengharapkannya. Sehingga aku seolah-olah terlihat melewatkannya, dan akhirnya dia menjadi yang terlewatkan tanpa status yang jelas. Ditambah dengan candaan adik kelasku yang sepertinya menjadi pemicunya, pemicunya seperti seolah-olah dipermainkan olehku.

            Ku pikir, dia telah memiliki laki-laki idaman yang sangat dia sukai, sangat beralasan aku berfikir begitu karena betapa tinggi tembok yang dia buat untuk menjaga jaraknya dengan laki-laki. Aku sangat penasaran hingga aku bertanya kepada teman dekatnya lagi. Tetapi jawaban yang aku dapatkan saat aku bertanya kepada teman dekatnya. Ternyata itu adalah aku, yang menjadi bayang-bayang yang aku takutkan sehingga aku menjadi orang yang melewatkan dan bisa saja akhirnya dilewatkan.

No comments:

Post a Comment