Sekolah begitu sepi
hari ini, yah ini hari minggu. Aku datang kesekolah dengan terburu-buru.
Membawa banyak buku dengan judul FIM (Fisika Itu Menyenangkan), kumpulan
soal-soal olimpiade, dan banyak buku lainnya.
“Aduhhhh...
badanku rasanya capek sekali, kepalaku pusing tau ngak? Kenapa tiap hari harus
begini? Bimbingan terus bimbingan terus.” Keluhku, aku merasa tak kuat lagi
jika tiap hari harus begini. “Iya, gus. Olimpiade udah didepan mata tau ngak?
Kalo menang kan kamu juga yang bangga, bisa gagah-gagahan didepan Intan.” Ucap
Maulidya. “Iya juga ya Gink.” Aku sudah mulai semangat sekali. Entah kenapa,
setelah mendengar namanya disebut oleh Maulidya, semua derita yang aku alami
hilang semua (alah lebay lo). Aku berusaha untuk kembali fokus, karena yang ada
difikiranku bagaimana membuat Intan bangga terhadapku. “Gink, kira-kira aku
bisa menang ngak? Gimana kalo ternyata nanti aku kalah? Aku takut.” Dengan nada
banci aku mengatakan itu kepada Maulidya. “Ya, menang kalah itu urusan biasa
Gus, jangan takutlah. Yang penting kita semangat dan sportif.” Maulidya
memberiku ceramah sekaligus motivasi.
Besok akan dimulai perlombaan, tapi aku sudah santai dan
tidak lagi mau belajar. Pada hari itu, aku hanya berbaring didekat ruang tamu.
Menemani ayahku yang sedang mengetik tugas Tesisnya. Aku bertanya pada ayahku,
“Ayah, kenapa ayah tidak pernah bosan berteman dengan rumus fisika?” Ayahku
adalah seorang insinyur jembatan senior. Beliau sangat tekun dalam mempelajari
banyak hal, bahkan setiap aku memiliki game baru dia berusaha untuk menamatkan
game tersebut. “Kenapa ya? Karena hobi ayah mungkin.” Ayahku menjawabnya dengan
pandangan keatas seperti agak mikir. “Kalo hobi kenapa ayah?” Agak bingung
mendengar jawaban ayah. “Kalau Hobi, kamu pasti akan menekuni dan
menyenanginya. Sama seperti ayah, menekuni dan menyenangi pekerjaan ayah.”
Setelah mendengar pencerahan dari ayah aku menjadi semangat kembali. “Ayah,
besok kan aku mau lomba. Bagaimana caranya agar aku bisa sukses dalam lomba itu
yah?” aku merangkak mendekati ayah. “Cari aja motivasimu, apa alasanmu untuk
menang? Kau harus punya. Itu akan menjadi pemicu perjuanganmu nak.” Sambil
memukul bahuku dan tersenyum. “mengerti?” Ayahku meyakinkanku. “Mengerti ayah.
Doakan aku ya, aku mau tidur.” Sambil tersenyum dan mengacungkan jempol.
Kukuruyuk, bunyi ayam jantan yang sedang memecah
keheningan subuh. Aku memulai shalat subuh dan sedikit membaca. “Aku harus
menang.” Gumamku dalam hati. Akhirnya hari pesakitan tiba, kami berkumpul di
SMP 2 Sungailiat untuk mengikuti Olimpiade Sains Kabupaten. Aku sangat terkejut
dan gugup saat kulihat pemandangan disana penuh dengan siswa berpakaian baju
putih biru yang sedang membaca buku fisika. “Gawat ni, kalau sainganku
rajin-rajin seperti ini, aku bisa kalah.” Sambil bergumam dalam hati aku
melihat kekiri kananku. “Gink, aku gugup. Aku gak belajar semalam.” Sambil
tertawa Maulidya menjawab “Kau kira aku belajar? Aku asik main game semalam.” Tiba-tiba
datang seorang wanita melambaikan tangannya “Agus, Gink. Ternyata kalian
disini. Aku cari kesana kesini muter muter, ternyata kalian disini. Mana Bu
Novi?” Tanya Mega sambil menarik nafas panjang. “Ibu Novi lagi brifing di ruang
pembimbing.” Serempak aku dan maulidya menjawab. “Ibu Eli dimana Gus?” Tanya
Mega lagi. “Yah mau gimana lagi Ibu Eli sibuk, Ibu Siti sibuk, Cuma Ibu Novi
yang bisa bimbing kita disini. Gak asik ni, kalo ada Bu Eli kan aku bisa
belajar fisika dan bertanya-tanya.” Jawabku sedikit bete. “Ya udah sabar,
semoga ada sisi baiknya.” Cletuk Mega dengan gaya sok dewasanya.
Kriiing.... kriiing... bunyi bel tanda masuk ruangan pun
berbunyi. “Agus masuk ke ruang F disitu peserta Fisika, Maulidya di ruang A
disitu Biologi kalo Mega keruang G untuk matematika. Cari teman kalian, isi
jawaban dengan benar ya. Yang jelas jangan ceroboh, harus teliti, jangan keluar
cepat dan jangan buat gaduh terutama Agus.” Bu Novi memberi pengarahan sambil
menunjukku. Maulidya dan Mega langsung melihat dan memukul pundakku, sambil
berkata “Dengerin tuh.” Setelah mendapatkan pengarahan kami menuju ruangan
kelas masing-masing untuk mengikuti lomba. “Seperti biasa, tiga jam untuk lima
soal. Kalo sudah selesai silahkan dikumpulkan, tidak ada saling mencontek.”
Semua mulai terdiam dan mengisi biodata peserta. “Silahkan Dimulai!” tegas
panitia olimpiade. Waduh, aku sepertinya kebingungan mengerjakan lima soal ini.
Selama diruangan aku melihat banyak kecurangan. “Bagaimana ini, mereka semua
banyak yang saling kerjasama.” Mentalku agak kendor akibat melihat dua orang
dari SMP unggulan itu kerja sama menyelesaikan soal. Akhirnya baru satu jam
waktu berjalan, aku langsung berdiri dan mengumpulkan lembar jawabanku.
Disinilah pilihan antara “Menang” dan “Kalah Terhormat”. Dari pada aku menang
dengan cara yang tidak benar lebih baik aku kalah terhormat, pikirku dalam
hati.
Akhirnya aku keluar ruangan dan bertemu Ibu Novi. “Agus,
kok udah keluar baru satu jam kan?” sambil mengeluarkan air mata tanda putus
asa. “Iya bu, Agus ngak tau lagi. Mau gimana lagi bu?” Dengan wajah tanpa dosa
aku berkata seperti itu. “Ya udah, namanya juga udah terlanjur. Mau gimana lagi
ya!” Dengan wajah agak kecewa Ibu Novi tersenyum sinis. Akhirnya tiga jam
berlalu, semua peserta olimpiade keluar dari ruangan. “Gus, gimana tadi?” Tanya
Mega kepadaku. “Hmm, ya gitulah Meg. Kamu Gimana? Mana Gink?” Aku agak tertawa
menjawab pertanyaannya. “Aku, kayak gitulah. Bingung soal matematikanya susah.
Gink itu, lagi muntah-muntah abis ngerjain soal biologi tadi.” Jawab Mega
dengan agak tertawa. “Lho, kok Gink muntah-muntah?” Sambil menahan tawa aku
menunjuk kearah Maulidya. “Iya nih, mabok didalam ruangan tadi, soal ujiannya
buat puyeng ni.” Jawab Gink menahan muntah. Setalah bercanda bersama kami
pulang kerumah masing-masing membawa uang saku yang diberikan oleh Dinas
Pendidikan.
Keesokan paginya aku sangat senang, hari ini hari libur.
Setelah dua tahun di SMP tak terasa sekarang sudah libur untuk kenaikan kelas
tiga SMP. Aku sudah beranjak lebih dewasa, di hari libur yang indah ini aku
punya rencana jalan-jalan dengan Intan. “Intan, jadi jalan-jalan ke pantai hari
ini?” SMS ku ke Intan. “Oke, tapi aku bantu ibu dulu ya. Jam sembilan kita
berangkat.” Balas Intan dengan SMS.
Hari ini hujannya lebat, aku selalu berdoa didalam hati.
“Ya Allah, redakanlah hujan ini. Hambamu pengen jalan-jalan dengan Intan.”
Walaupun doaku agak tidak bener, tapi selalu ku ulangi. Aku sangat berharap
hujan hari ini reda. Harap-harap cemas aku mondar mandir di teras rumah dengan
penuh harapan. Tak terasa, sudah jam sembilan tapi hujan belum reda juga, “Ada
apa ini? Apakah doaku tidak terkabulkan?” Aku jengkel sekali dan berbicara
sendiri dalam hatiku. Tiba-tiba, hujan reda dan aku mulai bersiap-siap untuk
meluncur kerumah Intan dengan SupraX milik kakakku. “Assalamualaikum.” Dengan
gembira dan semangat aku mengetuk pintu rumah Intan. “Iya Agus tunggu. Ayo kita
pergi sekarang.” Dengan wajah ceria dia naik ke motorku.
Pertama-tama
perjalanan kami ke perpustakaan daerah. Kami membuat kegaduhan disana karena
suara kami terlalu besar, akhirnya kami keluar dari sana karena sepertinya
petugas perpustakaan sudah mau ngusir kami. Dijalan ke pantai kami bersanda
gurau dan bercerita tentang pengalaman kami selama dikampung halaman dulu. Hingga
sampai diperempatan lampu merah, “Oh, iya kamu gak pakai helm Tan.” Aku lupa
membawa helm satu lagi untuk Intan, diperempatan jalan itu sedang ada polisi
lalu lintas yang udah siap menangkap. “Sekarang, kamu turun aja. Jalan kaki
sampai ke sana, ntar kita ketemu lagi disana. Oke.” Sambil mengacungkan jempol.
“Oke!” jawab Intan percaya diri. Setelah beberapa menit kami pun bertemu lagi
ditempat yang kami janjikan tadi.
Waktu
tak terasa berlalu, jam telah menunjukkan angka sebelas kurang. Kami telah
sampai dipantai. Setelah memarkirkan motorku, kami berlari ketepi pantai, membuat
istana pasir. Sepertinya awan sudah mulai mendung, cumolonimbus sudah mulai
hilang dari pantai. “Kayaknya mau hujan Tan.” Aku mengingatkan. “Tunggu dulu,
ada yang belum selesai ni.” Intan menegaskan. “Apa ya?” dengan wajah bingung
aku bertanya padanya. “Tara, ini yang udah selesai.” Ternyata Intan menuliskan nama
“Intan” dan “Agus”. Tak lama kemudian ombakpun datang seakan-akan menghapus
nama yang telah kami buat ditepi pantai.
Tik... tik.. tik... gerimis tajam kembali menggangu
kebersamaan kami di pantai. Kamipun bergegas berlari menuju pondok makan untuk
berteduh. “Mau makan apa ni Tan? Dingin sekali hujan ini.” Aku memulai membuka
percakapan. “Aku mau bakso ah. Kamu?” sambil tersenyum dan memegang sendok dan
garpu. “Dasar kamu ondel-ondel, pantes aja wajahmu bulat kayak bakso. kayaknya
udah gak sabar lagi ya? Sampe-sampe langsung pegang sendok dan garpu. Kalo gitu
aku mau makan pipimu deh.” Sambil tertawa dan mencubit pipinya. “Dasar kamu,
kalo aku bakso. kamu sotonya ya?” sambil memukul sendok dan garpu di bahuku
kami tertawa bersama.
“Intan, aku pengen kamu tau.” Aku agak serius.
“Iya, pengen aku tau apa ya?” Intan agak tertawa,
sepertinya dia menganggapku main-main.
“Tau ngak? Semenjak aku kenal kamu...” aku belum selesai
bicara, Intan langsung memotong pembicaraan.
“Kenapa? Semenjak kau kenal aku, kau jadi suka bakso
gitu. Ayo,,, ngaku.” Sambil tersenyum dia menunjuk hidungku.
“Dengerin dulu Tan, aku belum selesai.” Aku agak serius
dan hampir mau ngambek dengan Intan. “Aku suka kamu Tan, semenjak kenal kamu
sepertinya aku mulai menemui hidup baruku, aku berubah, aku menjadi baik dan
menemukan hal baru Tan.”
“Terus gimana Gus?” Dengan wajah bloon dan melongo dia
bertanya lagi kepadaku.
“Kalo kamu gimana?” aku balik bertanya kepada Intan.
“Aku sebenarnya senang si melihat kamu, kamu selalu
mengusir orang-orang yang jahil padaku, kamu mengajarkan aku banyak hal,
tapi....” Intan belum selesai berbicara, aku langsung memotong pembicaraannya.
“Maukah kamu jadi pacarku Tan?” dengan gugup aku bertanya.
“Tidak. Aku tidak mau pacaran, dengan siapapun.” Jawabnya
tegas, sambil tetap tersenyum kepadaku.
“Kenapa? Kenapa tidak mau Tan? Kamu ngak suka denganku?”
Aku kurang puas dan bertanya kepadanya.
“Pacaran itu dilarang agama Gus. Untuk apa kita pacaran
coba? Nambah dosa tau. Aku dapat menerima cinta dan sayangmu. Tapi aku ngak
bisa pacaran dengan siapapun sebelum aku menikah.” Dia mencoba menjelaskan agar
aku mengerti.
“Tapi Tan, aku ingin kita selalu bersama. Aku punya
gambaran kita jadi pacar sampe nikah nanti.” Aku mencoba membujuk, walaupun
hatiku sudah mulai terasa remuk karena kecewa.
“Hmmm, ya udah. Kamu boleh anggap aku apa aja. Tapi aku
ngak mau pacaran. Tapi kita harus tetap menjadi sahabat. Oke?” Dia mengacungkan
jempolnya untukku.
“Hmmmmm...” Aku hanya diam seribu bahasa. “Kenapa gitu
Gus? Ngambek? Jangan ngambek dong.” Pinta Intan.
“Aku kecewa Tan, aku kira kamu segalanya.” Dengan perasaan
kecewa dan membuang muka darinya. “Oh, gini aja Gus. Kalo kita jodoh pasti kita
ketemu lagi kan? Kalo ngak, kamu pasti dapetin perempuan yang sama bahkan lebih
baiknya dari pada aku. Intinya kalo kita jodoh bertemu lagi kok.”
“Iya, semoga kita jodoh ya.” Aku mulai senyum kembali
kepada Intan. “Ya Aamiin, semoga ya.” Dia pun tersenyum kepadaku. “Ayo baksonya
udah jadi, makan yok.” Intan mulai mengajakku makan. Setelah perbincangan tadi,
kami makan bakso bersama. “Tau ngak Tan? Pipimu bulet sekali seperti bakso
ini.” Sambil tertawa aku mulai bercanda dengannya. “Ih, kamu. Ngejek aku terus
ya.” Ucap Intan sambil tertawa dan menutup mulutnya. Setelah makan, aku
mengantar Intan pulang walaupun dalam kondisi gerimis yang tajam. “Gus, ini
jaketku. Pakailah dulu, nanti kamu sakit gimana?” sambil menyodorkan jaket
kearahku. “Ngak ah Tan, ntar jaketmu hilang lagi.” Aku menolak karena udah dua jaket miliknya
yang pernah aku hilangkan. “Ngak apa-apa, aku ikhlas kok.” Menyodorkan lagi.
“Oh iya aku pulang dulu ya.” Aku langsung ngabur tanpa mengambil jaketnya.
Setelah sampai dirumah, mamaku menyambut dengan wajah
yang sangat gembira. “Nak, kamu tau ngak?” Mamaku dengan wajah ceria dan
jingkrak-jingkrak, untung aja ngak nari tor-tor. “Tau apa ma?” aku balik
bertanya dengan wajah jutek. “Ini ada surat dari dinas nak.” Sambil menyodorkan
surat dari Dinas Pendidikan. “Kamu juara satu waktu olimpiade kemaren.” Dengan
wajah ceria mamaku. “Haha, masak sih ma?” Aku langsung masuk kekamar sambil
tertawa. Sedikitpun aku tak menyangka, karena tanpa persiapan yang matang, dan
aku pun mengerjakannya dengan waktu yang sebentar. Ternyata terkadang suatu
yang lebih hebat dari pada kecerdasan adalah Percaya diri dan selalu
mempasrahkan diri kepada Tuhan. Kenapa begitu? Karena suatu hal yang membuat
orang menjadi kuat adalah keberuntungan dan ketegaran hati.
Besoknya aku datang ke Dinas Pendidikan untuk memastikan
dan mengambil uang pembinaan. “Assalamualaikum, maaf bu. Mau nanya pengumuman
olimpiade dimana?” Tanyaku dengan sopan. “Iya dek, silahkan keruangan disebelah
kanan.” Jawab seorang bapak-bapak dengan kumis yang garang sambil menunjuk
sebelah kanan. “Permisi pak, mau tanya pengumuman olimpiade sains.” Tanyaku
sambil tersenyum menunduk. “Oh iya, bidang apa dek?” Tanya bapak itu sambil
mengeluarkan banyak kertas. “Fisika pak.” Sambil mendekat dan ikut melihat isi
kertas tersebut. Ternyata informasi selama ini benar, aku juara satu. Setelah
itu aku menelpon Intan, “Intan, aku juara satu olimpiade fisika. Horee... aku
menang” Sambil berteriakk gembira. “Alhamdulillah, selamat ya Gus. Aku sangat
senang, ternyata usaha kita ngak sia-sia.” Terdengar suara Intan yang agak
batuk-batuk. “Kamu batuk Tan? Kenapa? Kamu sakit ya.” Aku mulai sedikit
parnoan. “Ngak juga, Cuma batuk biasa aja.” Sambil tertawa kecil. Tiba-tiba
telponnya mati, aku sedikit bingung kenapa telponnya mati. Setelah aku
memeriksa pulsaku, ternyata pulsa handphoneku habis. “Hmmm, pantas saja telponnya
mati, pulsaku tingal seratus rupiah lagi.” Setelah dari Dinas Pendidikan, aku
mengirimkan pesan singkat ke Intan. “Tan, ke BBG yo.”. Tak lama kemudian ada
pesan balasan dari Intan, “Ayo, tapi jam sebelas ya.”
“Ok.” Jawabku singkat. Tak terasa sekarang sudah jam
sebelas, aku langsung menghampiri Honda-ku. Bersiap-siap kerumah Intan dengan
kecepatan tinggi. “Assalamualaikum.” Sambil mengetok pintu aku berteriak
didepan rumahnya. “Waalaikumsalam, Ayo Gus kita berangkat.” Dia langsung naik
ke sepeda motorku. BBG adalah Bangka Botanikal Garden, yaitu sebuah taman
wisata yang hampir menyerupai mekarsari. Di BBG kami memarkirkan motor dan
berjalan-jalan keliling BBG. “Intan, kamu tau itu?” Aku mulai membuka
pembicaraan. “Balon? Atau yang lain?” Jawabnya sambil menunjuk ke arah balon.
“Iya balon, kamu tau kan balon?” Tanyaku. “Taulah, kenapa?” jawabnya sambil
tersenyum melihatku. “Ya, kepalamu bulat kayak balon Tan.” Sambil tertawa, saat
melihat dia mulai cemberut aku pun menambah perkataanku. “Ngak ah, aku bercanda
Tan. Kau tau? Balon itu ngak bisa terbang. Tapi dia bisa melayang, sesuai
dengan tekanan yang ada.” Aku menjelaskan kepada Intan. Intan sepertinya
bingung, dia balik bertanya kepadaku. “Maksudnya? Aku belum ngerti Gus.” Sambil
melihat balon yang ku pegang. “Coba lepaskan semua beban dan tekanan hidupmu
Tan, hidupmu akan terasa indah. Kau akan bisa berprestasi setinggi mungkin.”
Jelasku sambil memegang tali balon yang sudah mengembang besar. “Sama seperti
balon ini, jika dia besar dia akan melayang. Sedangkan jika dia kecil tak akan
bisa melayang. seperti itulah tekanan.” Tambahku.
Setelah melihat balon, kami melihat sapi. “Aku punya
kisah buruk lho dengan sapi.” Tiba-tiba Intan mulai berbicara dan termurung.
“Emangnya ada pengalaman apa Tan? Kayaknya sedih banget ya.” Aku mencoba
menghibur dia. “Iya, dulu kami punya sapi. Aku pernah ditendang anak sapi
gara-gara narik ekornya. Terus, aku pernah juga dikejar-kejar sapi.” Ujarnya
dengan wajah yang sedih. “Hahahaha, itu namanya lucu Tan, kenapa sedih?” Sambil
tertawa aku mulai memperhatikan wajahnya lagi. “Iya, kamu ngingetin aku dengan
sapi yang kemaren dijual bapak.” Sepertinya dia sedikit meneteskan air mata.
“Maksudmu?” Dengan wajah bloon aku bertanya lagi. “Kamu mirip sapi bapakku
Gus.” Tambahnya. Gubraaak, rasanya bumi gonjang ganjing dajal keluar dari perut
bumi, baru kali ini aku disamakan dengan sapi.
“Hmm. Intan, tau ngak besok aku mau ke Pangkalpinang,
buat ke olimpiade sains Propinsi?” Aku memulai pembicaraan serius. “Oh ya? Wow,
aku juga pengen sekali ikut. Tapi kemaren aku gak lolos.” Dengan gaya anak alay
dia sedikit memukul bahuku. “Tapi, aku senang dan bangga kalo kamu ikut. Kamu harus
menang ya, semangat.” Ucap Intan sambil mengacungkan tangannya kepadaku. “Eh,
ngak terasa ya, kita udah dua tahun kenal. Semenjak aku sering dihukum sampai
aku ngak pernah dihukum. Kamu adalah titik balik hidupku Tan.” Sambil tersenyum
dan melihat wajahnya. “Alhamdulillah, kamu juga baik. Sering mengusir anak-anak
jahil yang sering ngejek dan menggangguku.” Dia agak menunguk malu ketika
mengucapkan itu kepadaku. “Tan, aku ingin kita ketemu selamanya.” Sambil tersenyum
aku memegang tangannya. “Iya, tapi bukanlah aku tak mau, aku hanya tak mau
pacaran Gus. Dilarang agama sama orang tua, dan aku sendiri gak mau pacaran
sebelum aku nikah Gus.” Dia membalas senyumku. “Bukankah, banyak cara agar kita
bisa tetap bersama, selain pacaran kan bisa Gus?” Sambil memegang tanganku. “Kita
bisa bersahabat, hingga akhirnya nanti kita besar dan dijodohkan oleh tuhan.”.
“Semoga sesuai apa yang kita inginkan Tan.” Aku tersenyum
dan melihat kearah danau yang luas. “Semoga, dan diberikan yang terbaik. Eh,
udah sore ni, kamu kan mau siap-siap ke Pangkalpinang besok. Pulang yok.” Ajaknya.
Siang itu menunjukkan jam dua, kami bergegas pulang
kerumah agar sampai kerumah tidak kesorean. Setelah sampai dirumah Intan, “Doakan
aku ya, besok aku akan mulai berjuang.” Sambil berjabat tangan dengan Intan. “Pasti,
aku akan mendoakan selalu. Kau harus membuat semuanya bangga.” Serunya kepadaku.
“Aku pergi dulu ya Tan.” Aku mulai memutar hondaku. Tiba-tiba “Tunggu dulu,
pakailah jam ini agar kau selalu ingat kepadaku, dan gunakan sapu tangan ini agar
setiap kau lelah bisa semangat dengan mengingatku.” Sambil menyodorkan jam
tangan dan sapu tangan. Aku tidak bicara banyak, sambil mengacungkan jempol aku
langsung menarik gas motorku untuk langsung pulang.
“Darimana saja kamu nak? Kok baru pulang, beresi dulu
bajumu. Kan besok mau berangkat. Masukkan bajumu ke koper.” Teriak mamaku. “Iya
ma, nanti. Lagi capek ni.” Sambil berbaring dikamar yang tidak terlalu luas. Akhirnya
aku beranjak dari ranjang dan mulai memasukkan barang-barangku ke koper. Setelah
memasukkan barang-barangku ke koper, aku melanjutkan tidurku kembali.
Malam yang indah, bertabur bintang. Kriiing... suara
handphoneku berbunyi. Kulihat nama Intan yang memanggilku. “Assalamualaikum,
ada apa Tan?” aku mulai membuka percakapan. “Waalaikumsalam, Agus, coba lihat Supermon.
Indah sekali kan?” Sambil teriak-teriak di handphone. “Wah, besar sekali
bulannya, indah.” Aku kaget melihat supermon. “Ya, kenapa bulannya bisa begitu?
Indah sekali ya. Adakah benda langit yang lebih indah dari itu.” Tanya dirinya
kepadaku. “Alfacentury dan Avena, bintang yang paling terang. Eh, aku mau tidur
dulu ya. Besok mau pergi ni ke Pangkalpinang.” Ucapku kepadanya. “Iya deh,
selahkan. Sukses ya besok.” Seru Intan. “Pasti, aku janji.” Setelah aku
mengucapkan itu, Intan langsung mematikan telepon.
Pagi yang cerah, aku langsung pergi ke Dinas Pendidikan. Aku
pergi dangan penuh harapan, aku ingin harapan ku tercapai. Setelah menunggu
semua orang berkumpul, kami langsung berangkat ke Pangkalpinang untuk menuju
hotel Seratta tempat kami akan mengikuti lomba. Aku menemukan banyak teman
baru, ini adalah awal dari perjuanganku untuk menuju tingkat nasional. Dari Kabupaten
kami mengirimkan tiga orang laki-laki, yaitu aku, Putra dan Rozi. Awalnya kami bertiga
muter-muter hotel, kami bingung dimanakah letak kamar kami. Kamar nomor empat
puluh dua, angka yang cukup bagus. Setelah sampai dikamar, kami baring-baring
seperti orang kampungan di kamar hotel itu. “Eh, ada telepon. Kita nelpon orang
yok.” Ucapku kepada Putra dan Rozi. Akhirnya kami menelpon resepsionis, teman-teman
dikamar lain bahkan menelpon cleaning service.
Hari yang membingungkanpun berubah menjadi malam, kami
mulai bersiap untuk mengikuti upacara pembukaan. “Eh, tau ngak Gus itu siapa?”
ujar Putra kepadaku. “Yang mana? Orang yang makannya disuap itu bukan?” Aku
balik minta penjelasan. “Itu Ali, yang menjadi langganan juara olimpiade
matematika.” Jawab Putra dengan mental yang agak down. “Sudahlah, jangan
terlalu seperti itu.” Kita positif thinking aja. Aku yakin kok kamu mampu.” Aku
mencoba memberinya semangat. Terkadang sebelum kita bertanding kita sudah mulai
bicara dia hebat, atau dia begini. Seharusnya dengan melihat saingan kita lebih
hebat, kita haruslah lebih giat belajar, jangan menjatuhkan mental sendiri
dengan cara seperti itu.
Tak terasa, olimpiade sains propinsi sudah dimulai. Kami masuk
lagi keruangan yang berisikan 24 siswa/siswi terbaik (baca:beruntung). Aku agak
gugup, tapi aku ingat orangtuaku. Aku kembali memiliki semangat untuk menang. Akhirnya,
lembaran soal mulai dibagikan, penjelasanpun mulai dibacakan. “Mulai!” Seru
perintah panitia olimpiade. Kami langsung mulai mengerjakan soal Fisika level
tinggi itu. “Akh, bisa stres aku lama-lama.” Ujarku dalam hati. Tak sadar
kertas ujianku tercoret, “Terpaksa ni aku minjem tipe-X.” Gumamku dalam hati.
Aku langsung memanggil wanita yang ada dibelakangku, “Maaf, bolehkah saya
minjem tipe-X.” Serentak wanita yang ada dibelakangku mengangkat kepalanya, subhanallah
cantik sekali gadis kota satu ini. Aku langsung salah tingkah, sambil meliat
wajahnya aku mengucapkan terimakasih. Tak terasa waktu sudah habis, saat-saat
yang ditunggu sudah tiba. Yah, siapa yang tidak menunggu saat-saat seperti ini,
yaitu makan siang. Makan siang kali ini adalah kelas VIP dan memakai table
manner. “Ini dek sendok dan garpunya.” Kata salah seorang pelayan hotel
kepadaku. “Oh, maaf pak. Saya ngak bisa memakai garpu, simpan aja pak.” Ucapku polos,
tersentak semua peserta yang ada disana tertawa.
Saat kami makan siang, piagam penghargaan dan uang
pembinaan dibagikan. Saat namaku dipanggil “Agustiawan dari kabupaten Bangka.”.
Aku agak dongkol, karena aku belum selesai makan siang. Akhirnya aku langsung
maju dengan tangan yang masih kotor dengan bau udang, cumi dan bau makanan yang
kusantap. Saat sudah didepan aku ambil piagam, uang pembinaan dan sebagai anak
yang baik hati aku bersalaman dengan bapak panitia dengan tangan kotorku. Terlihat
disana sontak wajah panitia langsung berubah mengkerut seperti tape basi.
Setelah keluar semua, aku menemui wanita tadi. “Hay,
boleh ngak kita menjadi teman?” Harap-harap cemas aku bertanya kepadanya. “Boleh
aja, aku Maria, kalo kamu?” dia bertanya balik. Hore, dia telah memberikan
lampu hijau. “Namaku Agustiawan, aku anak baik.” Sambil tertawa aku bersalaman
dengannya.
“Kamu lucu sekali ya, dari semalam aku melihat aksimu. Gokil
sekali.” Sambil tertawa dan memukul dadaku. “Oh, iya boleh minta nomor HP Maria
ngak?” sambil mengeluarkan HP Nokia 7610 milikku. “Ini nomor HP-ku,
08116788XXX. Miscol aku dong.” Pinta Maria. “Ini ya, aku coba.” Setelah beberapa
sengit perbincangan kami, akhirnya kami menjadi dekat. Aku baru tahu kalo dia
berasal dari SMP Unggulan yang paling bagus di Propinsi kami, maklum anak kota.
Tak terasa kebersamaan kami di olimpiade sains, perpisahan telah dimulai. Akhirnya
aku dan Maria berpisah, kami sama-sama meneteskan airmata kami, sebagai
kenang-kenangan kami bertukaran Pin Nama. Sampai saat ini Pin Namanya masih aku
simpan sebagai kenangan tak terlupakan.
Beberapa hari setelah mengikuti kegiatan olimpiade, aku
semakin dekat saja dengan Maria. Bahkan sekarang hubunganku dengan Intan
semakin renggang. Sekarang aku tidak pernah lagi berhubungan dengan Intan, aku
mulai merasa nyaman dengan Maria. Bahkan sekarang aku sudah menjadi pacarnya. Suatu
hari disekolah Intan datang menemuiku “Agus, kenapa sekarang jarang kekelasku?”
Tanya Intan dengan mata berkaca-kaca. “Intan, aku sibuk sekarang. Ngak ada
waktu lagi untuk bertemu dengan kamu.” Aku menjawab dengan jutek. “Sudahlah,
percuma!” Sambil berteriak dia langsung pergi meninggalkanku. “Ya, ampun. Kenapa
aku berubah dengan Intan.” Doaku dalam hati dengan rasa menyesal.
Beberapa hari ini aku tidak pernah lagi bertemu dengan
Intan, dan akupun sudah mulai diam sendiri. Sepertinya tak ada gunanya memiliki
status pacaran dan lain sebagainya jika hati masih tetap merasa sepi. “Intan,
kau dimana? Aku merindukanmu Tan.” Aku mulai merasa kesepian dengan tidak
adanya dia.
Saat pulang sekolah aku berlari menyusul dan mengikuti
Intan, “Intan, tunggu aku. Tolong.” Aku berteriak mendekatinya. Spontan dia
lari dan saat aku menarik tangannya dia langsung berontak. “Lepaskan, sudah
pergi sana!” Dia mulai marah sepertinya. “Aku tak pernah mengenal kamu, dasar
brandalan.” Dengan nada kecewa dia langsung berlari untuk menghindariku.
Sejak saat itu aku menyesal, aku berjanji tak akan
menyakitinya lagi. Aku langsung mengirim SMS ke Handphonenya. “Alfacenturi dan
Avena adalah dua bintang yang terang. Tapi, kau adalah avena yang anggun dan
apakah aku hanya akan menjadi alfacentury yang mengembara sendiri?” Saat
membaca SMS-ku dia langsung mematikan handphonenya dan menganti kartunya.
Inilah kesalahanku yang tidak menjaga perasaan wanita
yang putih bagai salju dan lembut seperti kapas. Sepertinya aku hanya bisa
menunggu dia memaafkanku. Tiada kata Lain “INTAN MAAFKAN AKU”.