Hujan rintik-rintik membasahi aspal hitam di tengah
perjalanan ini. Melihat orang-orang yang berjualan di kiri kanan. Terkadang
kesedihan ini harus dilalui dengan sedih yang sesaat. Terlalu banyak yang lebih
menjadi prioritas utamamu dalam memilih dan berfikir, tak harus menanggapi
hal-hal yang tak pasti karena memang yang pasti hanyalah ketidak pastian itu
sendiri.
Masalah kesedihan, biarlah kita yang meredamnya
sendirian tanpa bantuan siapapun dan tanpa motivasi dari siapapun. Bukankah
otak dan perasaan kita sendiri yang mengendalikan diri kita sendiri? Tak perlu
masukan kata-kata yang hanya akan menambahmu menjadi cengeng kawan. Yakinlah,
cukup mencoba menenangkan dirimu sendiri dengan mengingat takdir yang telah di
ciptakan oleh-Nya dan akan membawamu kepada kebahagiaan dengan perintah dirimu
sendiri.
Seperti badai yang akan menghantam, seperti cahaya yang
habis membakar, seperti untaian dedaunan yang jatuh tertiup angin dan semuanya
pasti akan berlalu selayaknya dia harus berlalu. Kita mungkin akan meratapinya
ketika kita menyadarinya, bahwa sebenarnya kita telah terlambat.
Aku masuk kesebuah ruangan sepi yang berisi meja dan
kursi di pojokan sana. Tak ada yang istimewa dengan ruangan ini, hanya saja aku
sering menghabiskan waktuku untuk menyendiri disini. Terkadang kita membutuhkan
waktu walaupun hanya sesaat untuk menenangkan dirinya. Tak membuang banyak
waktu lagi, aku membawa koperku dan menelpon travel langgananku untuk segera
menjemputku sekarang disini.
Aku harus ke Jakarta hari ini, di hujan siang bolong
Febuari yang telah dinanti. Ntah kenapa aku menanti hari ini, ntah kenapa aku
tak sabar lagi bisa sampai di Kota Jakarta, kota impian, kota kenangan, kota
tempat berjuta-juta macam manusia yang mencari jati diri, mencari kemewahan,
mencari makan dan mencari makna hidup.
Dari Bandara Sultan Mahmud Badarudin II, menuju Bandara
Soekarno Hatta dimana kita disambut oleh Patung Soekarno dan Hatta, dua sejoli
pendiri bangsa ini. Aku langsung menaiki Damri jurusan Depok untuk segera
menuju lokasi penginapan peserta pelatihan.
Pelatihan satu harian walaupun aku menginap di Jakarta
sampai hari Senin besoknya. Sepertinya aku memang keterlaluan mengambil libur
enam hari, yang sebenarnya hanya memakan waktu dua atau tiga hari. Kalo tidak
begitu, bagaimana lagi aku dapat menikmati indahnya hidupku. Dihari-hari yang
selalu terkekang oleh lembaran-lembaran kertas dan diagnosa pasien, melihat
pemeriksaan fisik dan bahkan kehabisan kata saat anamnesa.
Hari-hari telah berlalu dengan meninggalkan banyak
cerita. Pada hari ini, Hari Minggu dimana hari terakhirku di Jakarta dalam
kunjungan ini. Aku duduk di sisi kanan halte Busway di koridor yang menuju
Monas.
Berkeliling di ibukota merupakan hal yang sangat langka
bagi kita yang berada di Pulau Sumatera, pulau panjang yang melalui lingtang
selatan dan lintang utara Indonesia. Di ibukota kita bisa melihat banyak hal,
dari museum, istana negara, monumen nasional dan masih banyak hal besar
lainnya. Hingga akhirnya, hal yang tak pernah ku duga terjadi juga.
Seorang perempuan yang mengambil gambar dari puncak
monumen. Sepertinya gayanya tidak asing, sepertinya aku sangat sering
melihatnya walaupun ntah dimana. Coba kita ingat-ingat sedikit, aku coba
menghampirinya berpura-pura tidak tahu dan memasang wajah inosent. Berpura-pura
mengambil foto pada angle yang sama walaupun mencoba melirik
dan ternyata dia adalah...
Ternyata radarku tak salah lagi...
“Apa yang kau
lakukan disini?” ucapku sambil berdiri disampingnya.
“Tidak ada, hanya
mengunjungi ayah. Sudah lama tak bertemu ayah dan bermain di Jakarta.” Jawabnya
sambil menyimpan kamera DSLR-nya.
Kami diam sejenak sambil melihat pemandangan dibawah
dari atas sini.
“Seharusnya, aku
yang bertanya apa yang kau lakukan disini?” dia bertanya balik kepadaku.
Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya.
“Hmmm... apakah
sengaja menguntitku dari belakang? Atau memang kebetulan kita bertemu?”
celotehnya lagi sambil meninggalkan aku sendirian.
“Heyyy... mau
kemana?” tanyaku sambil setengah mengejarnya.
Gadis itu tetap berjalan meninggalkan aku, ntah kenapa
sikapnya yang begitu misterius itu membuatku ingin mengetahui semuanya lebih
dalam. Bahkan ketika dia takut untuk mengungkapkan semuanya, disaat dia takut
aku ingin taku apa yang sebenarnya terjadi.
“Padahal baru
lima menit kita bertemu.” Ucapku dengan sedihnya.
Dia tetap berjalan, “Kalau kau memang ingin melihatku
lebih lama. Silahkan ikuti aku dari belakang, jangan banyak bicara lagi. Aku
tak ingin terlihat oleh orang-orang bahwasanya aku masih berjalan berdua
denganmu.” Jawabnya sambil tetap berjalan mencoba menjauh dariku.
Dia berhenti disebuah warung nasi yang ada di sekitar
Monas, sambil duduk dan meletakkan barang-barangnya. Dia memesan beberapa
makanan dan minuman. Aku langsung spontan bergabung duduk di depannya tanpa
mengucapkan sepatah katapun.
Melihat wajahnya yang pucat, aku hanya memandang
wajahnya dengan perasaan yang sedikit teriris. Konon, perempuan ini tak
diizinkan untuk dekat denganku, hingga akhirnya orang tuanya menginginkan dia
menikah dengan laki-laki yang lebih baik (mungkin) dariku.
“Seolah-olah kamu menghindar, meninggalkan diriku?” aku
bertanya dengan nada yang sedikit terdengar dingin dan tidak menyenangkan.
Perempuan itu tetap membuang mukanya dariku, “Aku bukan
menghindar dan meninggalkan. Tetapi mengurangi kemungkinan buruk yang akan
terjadi.”
Aku terdiam sejenak memakan makanan yang ada di depanku,
sambil berkata beberapa patah kata mengharapkan hatinya luluh jika
mendengarnya. Aku berharap pembicaraan hari ini bukanlah pembicaraan antara aku
dan kamu, tetapi pembicaraan dari hati ke hati.
Tak lama kemudian terdengarlah suara adzan zhuhur yang
memecah cakrawala kota ini. Kami serentak berdiri menuju letak suara yang
menjadi pusat perhatian seluruh ummat Islam yang ada di sekitar kota ini.
“Semuanya berapa
bu?” tanyaku sambil mengeluarkan uang dan membayarnya langsung ke pemilik
warung.
“Tak perlu kau
bayar punyaku. Aku tak membutuhkannya.” Ucap Wardah sambil membayar sang
pemilik warung juga.
Aku langusng mengambil uangnya dan memasukkannya ke
dalam tas Wardah yang sedang disandangnya dengan bahu. Sangat sulit berhubungan
dan berhadapan dengan perempuan keras kepala sepertinya, tapi ala boleh buat
semuanya sudah terlanjur jauh.
Dia berjalan menyusuri trotoar, laki-laki berbaju batik
biru itu berjalan di belakangnya. Seolah-olah tak tau apa yang akan dilakukannya
di sana, tapi aku masih ingin tetap bersamanya kali ini.
Aku beranikan diriku untuk mengajaknya berbicara, “Kau
mau kemana?”
Dia melihat ke arahku sambil berkata, “Mau kemana lagi
bodoh? Kalo bukan ke Masjid Istiqlal.” Ucapnya dengan ketus.
Aku mengikutinya dari belakang, mencari jalan menuju
Istiqlal. Nyasar kesana kemari, mencoba mencari jalan terdekat yang ada malah
nyasar ntah kemana. Pedoman kami hanyalah menara yang ada di pucuk sana, hingga
akhirnya kami sampai dalam kondisi shalat jamaah-nya telah selesai
dilaksanakan.
“Kenapa kamu lihat-lihat?” ucap gadis yang ada di
depanku. “Wudhu sana, jangan terlalu lama membuang waktu.”
Aku langsung pergi mengambil wudhu, sedikit galak perempuan
baik yang dulunya pernah menginspirasi diriku dan membuatku menjadi laki-laki
yang ingin melampaui dirinya. Hingga akhirnya beberapa menit kemudian kami
menyelesaikan wudhu kami.
Kami berdua berjalan diantara beribu-ribu pengunjung
yang telah melakukan sholat berjamaah disana. Kami berhenti tertegun sebentar
setelah memasuki tempat sholat yang sangat luas menyerupai lapangan bola
tersebut.
“Kamu jadi imam.” Ucap perempuan jutek itu.
Aku hanya diam dan mengambil posisi disebelah kanan
lokasi yang dibatasi oleh hijab putih bertuliskan kaligrafi indah itu. Sangat
aneh yang aku rasakan ketika aku bisa menjadi imam sholat dari seorang
perempuan yang selama ini aku tunggu.
Tak lama setelah menyelesaikan ibadah sholat, kami
langsung berjalan kembali menuju Monas untuk menyelesaikan sesi akhir di hari
ini. Kami berjalan tanpa kata, sesekali saling melirik, sesekali melirik sambil
tersenyum, kemudian mengambil kepingan-kepingan hati yang pernah terukir
dihari-hari sebelumnya.
Dia nenuntunku disebuah halte bus di pinggir jalan kota
ini. Beberapa menit menunggu kedatangan yang dinanti-nanti, dan akhirnya yang
dinanti-nanti datang jus. Dia berbisik kepadaku seraya angin semilir berhembus
di telingaku. Kemudian dia berjalan meninggalkanku yang termenung di kursi
halte ini.
Kata-kata yang dibisikkan itu sontak membuatku kaget
bukan main, “Aku akan menikah dengan laki-laki pilihan ayahku awal tahun nanti.
Mohon jangan dekati dan ikuti aku lagi.” Begitu tuturnya.
Aku hanya bisa terdiam dan meninggalkan halte itu dengan
perasaan sedih, berharap akan ada keajaiban yang dapat menyelamatkan perasaanku
dari kesepian ini.
Beberapa minggu kemudian...
Di pagi ini aku membuka blog perempuan itu, yang selalu
menjadi tempatku mengetahui aktivitasnya sehari-hari tanapa harus
menghubunginya lagi. Aku scroll dari halaman bawah ke atas
melihat ketikan tangannya untuk memuaskan perasaan kepo yang menyelimuti hatiku.
Ada sebuah tulisan yang tidak terlalu baru, sekitar
berminggu-minggu yang lalu, dan diakhir paragrafnya tertuliskan “.... Sudah
lama aku menginginkan menjadi makmummu dalam sholat. Meskipun tidak bisa setiap
hari seperti yang aku inginkan, aku cukup bahagia menjadi seperti itu walaupun
sehari. Akhirnya yang aku impikan dari lima tahun yang lalu dapat terkabulkan
sekarang.”
No comments:
Post a Comment