Wednesday, 17 May 2023

BICARA MASALAH JANJI PERTEMUAN

 



 

Hujan rintik-rintik membasahi aspal hitam di tengah perjalanan ini. Melihat orang-orang yang berjualan di kiri kanan. Terkadang kesedihan ini harus dilalui dengan sedih yang sesaat. Terlalu banyak yang lebih menjadi prioritas utamamu dalam memilih dan berfikir, tak harus menanggapi hal-hal yang tak pasti karena memang yang pasti hanyalah ketidak pastian itu sendiri.

Masalah kesedihan, biarlah kita yang meredamnya sendirian tanpa bantuan siapapun dan tanpa motivasi dari siapapun. Bukankah otak dan perasaan kita sendiri yang mengendalikan diri kita sendiri? Tak perlu masukan kata-kata yang hanya akan menambahmu menjadi cengeng kawan. Yakinlah, cukup mencoba menenangkan dirimu sendiri dengan mengingat takdir yang telah di ciptakan oleh-Nya dan akan membawamu kepada kebahagiaan dengan perintah dirimu sendiri.

Seperti badai yang akan menghantam, seperti cahaya yang habis membakar, seperti untaian dedaunan yang jatuh tertiup angin dan semuanya pasti akan berlalu selayaknya dia harus berlalu. Kita mungkin akan meratapinya ketika kita menyadarinya, bahwa sebenarnya kita telah terlambat.

Aku masuk kesebuah ruangan sepi yang berisi meja dan kursi di pojokan sana. Tak ada yang istimewa dengan ruangan ini, hanya saja aku sering menghabiskan waktuku untuk menyendiri disini. Terkadang kita membutuhkan waktu walaupun hanya sesaat untuk menenangkan dirinya. Tak membuang banyak waktu lagi, aku membawa koperku dan menelpon travel langgananku untuk segera menjemputku sekarang disini.

Aku harus ke Jakarta hari ini, di hujan siang bolong Febuari yang telah dinanti. Ntah kenapa aku menanti hari ini, ntah kenapa aku tak sabar lagi bisa sampai di Kota Jakarta, kota impian, kota kenangan, kota tempat berjuta-juta macam manusia yang mencari jati diri, mencari kemewahan, mencari makan dan mencari makna hidup.

Dari Bandara Sultan Mahmud Badarudin II, menuju Bandara Soekarno Hatta dimana kita disambut oleh Patung Soekarno dan Hatta, dua sejoli pendiri bangsa ini. Aku langsung menaiki Damri jurusan Depok untuk segera menuju lokasi penginapan peserta pelatihan.

Pelatihan satu harian walaupun aku menginap di Jakarta sampai hari Senin besoknya. Sepertinya aku memang keterlaluan mengambil libur enam hari, yang sebenarnya hanya memakan waktu dua atau tiga hari. Kalo tidak begitu, bagaimana lagi aku dapat menikmati indahnya hidupku. Dihari-hari yang selalu terkekang oleh lembaran-lembaran kertas dan diagnosa pasien, melihat pemeriksaan fisik dan bahkan kehabisan kata saat anamnesa.

Hari-hari telah berlalu dengan meninggalkan banyak cerita. Pada hari ini, Hari Minggu dimana hari terakhirku di Jakarta dalam kunjungan ini. Aku duduk di sisi kanan halte Busway di koridor yang menuju Monas.

Berkeliling di ibukota merupakan hal yang sangat langka bagi kita yang berada di Pulau Sumatera, pulau panjang yang melalui lingtang selatan dan lintang utara Indonesia. Di ibukota kita bisa melihat banyak hal, dari museum, istana negara, monumen nasional dan masih banyak hal besar lainnya. Hingga akhirnya, hal yang tak pernah ku duga terjadi juga.

Seorang perempuan yang mengambil gambar dari puncak monumen. Sepertinya gayanya tidak asing, sepertinya aku sangat sering melihatnya walaupun ntah dimana. Coba kita ingat-ingat sedikit, aku coba menghampirinya berpura-pura tidak tahu dan memasang wajah inosent. Berpura-pura mengambil foto pada angle yang sama walaupun mencoba melirik dan ternyata dia adalah...

Ternyata radarku tak salah lagi...

 “Apa yang kau lakukan disini?” ucapku sambil berdiri disampingnya.

 “Tidak ada, hanya mengunjungi ayah. Sudah lama tak bertemu ayah dan bermain di Jakarta.” Jawabnya sambil menyimpan kamera DSLR-nya.

Kami diam sejenak sambil melihat pemandangan dibawah dari atas sini.

 “Seharusnya, aku yang bertanya apa yang kau lakukan disini?” dia bertanya balik kepadaku.

Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya.

 “Hmmm... apakah sengaja menguntitku dari belakang? Atau memang kebetulan kita bertemu?” celotehnya lagi sambil meninggalkan aku sendirian.

 “Heyyy... mau kemana?” tanyaku sambil setengah mengejarnya.

Gadis itu tetap berjalan meninggalkan aku, ntah kenapa sikapnya yang begitu misterius itu membuatku ingin mengetahui semuanya lebih dalam. Bahkan ketika dia takut untuk mengungkapkan semuanya, disaat dia takut aku ingin taku apa yang sebenarnya terjadi.

 “Padahal baru lima menit kita bertemu.” Ucapku dengan sedihnya.

Dia tetap berjalan, “Kalau kau memang ingin melihatku lebih lama. Silahkan ikuti aku dari belakang, jangan banyak bicara lagi. Aku tak ingin terlihat oleh orang-orang bahwasanya aku masih berjalan berdua denganmu.” Jawabnya sambil tetap berjalan mencoba menjauh dariku.

Dia berhenti disebuah warung nasi yang ada di sekitar Monas, sambil duduk dan meletakkan barang-barangnya. Dia memesan beberapa makanan dan minuman. Aku langsung spontan bergabung duduk di depannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Melihat wajahnya yang pucat, aku hanya memandang wajahnya dengan perasaan yang sedikit teriris. Konon, perempuan ini tak diizinkan untuk dekat denganku, hingga akhirnya orang tuanya menginginkan dia menikah dengan laki-laki yang lebih baik (mungkin) dariku.

“Seolah-olah kamu menghindar, meninggalkan diriku?” aku bertanya dengan nada yang sedikit terdengar dingin dan tidak menyenangkan.

Perempuan itu tetap membuang mukanya dariku, “Aku bukan menghindar dan meninggalkan. Tetapi mengurangi kemungkinan buruk yang akan terjadi.”

Aku terdiam sejenak memakan makanan yang ada di depanku, sambil berkata beberapa patah kata mengharapkan hatinya luluh jika mendengarnya. Aku berharap pembicaraan hari ini bukanlah pembicaraan antara aku dan kamu, tetapi pembicaraan dari hati ke hati.

Tak lama kemudian terdengarlah suara adzan zhuhur yang memecah cakrawala kota ini. Kami serentak berdiri menuju letak suara yang menjadi pusat perhatian seluruh ummat Islam yang ada di sekitar kota ini.

 “Semuanya berapa bu?” tanyaku sambil mengeluarkan uang dan membayarnya langsung ke pemilik warung.

 “Tak perlu kau bayar punyaku. Aku tak membutuhkannya.” Ucap Wardah sambil membayar sang pemilik warung juga.

Aku langusng mengambil uangnya dan memasukkannya ke dalam tas Wardah yang sedang disandangnya dengan bahu. Sangat sulit berhubungan dan berhadapan dengan perempuan keras kepala sepertinya, tapi ala boleh buat semuanya sudah terlanjur jauh.

Dia berjalan menyusuri trotoar, laki-laki berbaju batik biru itu berjalan di belakangnya. Seolah-olah tak tau apa yang akan dilakukannya di sana, tapi aku masih ingin tetap bersamanya kali ini.

Aku beranikan diriku untuk mengajaknya berbicara, “Kau mau kemana?”

Dia melihat ke arahku sambil berkata, “Mau kemana lagi bodoh? Kalo bukan ke Masjid Istiqlal.” Ucapnya dengan ketus.

Aku mengikutinya dari belakang, mencari jalan menuju Istiqlal. Nyasar kesana kemari, mencoba mencari jalan terdekat yang ada malah nyasar ntah kemana. Pedoman kami hanyalah menara yang ada di pucuk sana, hingga akhirnya kami sampai dalam kondisi shalat jamaah-nya telah selesai dilaksanakan.

“Kenapa kamu lihat-lihat?” ucap gadis yang ada di depanku. “Wudhu sana, jangan terlalu lama membuang waktu.”

Aku langsung pergi mengambil wudhu, sedikit galak perempuan baik yang dulunya pernah menginspirasi diriku dan membuatku menjadi laki-laki yang ingin melampaui dirinya. Hingga akhirnya beberapa menit kemudian kami menyelesaikan wudhu kami.

Kami berdua berjalan diantara beribu-ribu pengunjung yang telah melakukan sholat berjamaah disana. Kami berhenti tertegun sebentar setelah memasuki tempat sholat yang sangat luas menyerupai lapangan bola tersebut.

“Kamu jadi imam.” Ucap perempuan jutek itu.

Aku hanya diam dan mengambil posisi disebelah kanan lokasi yang dibatasi oleh hijab putih bertuliskan kaligrafi indah itu. Sangat aneh yang aku rasakan ketika aku bisa menjadi imam sholat dari seorang perempuan yang selama ini aku tunggu.

Tak lama setelah menyelesaikan ibadah sholat, kami langsung berjalan kembali menuju Monas untuk menyelesaikan sesi akhir di hari ini. Kami berjalan tanpa kata, sesekali saling melirik, sesekali melirik sambil tersenyum, kemudian mengambil kepingan-kepingan hati yang pernah terukir dihari-hari sebelumnya.

Dia nenuntunku disebuah halte bus di pinggir jalan kota ini. Beberapa menit menunggu kedatangan yang dinanti-nanti, dan akhirnya yang dinanti-nanti datang jus. Dia berbisik kepadaku seraya angin semilir berhembus di telingaku. Kemudian dia berjalan meninggalkanku yang termenung di kursi halte ini.

Kata-kata yang dibisikkan itu sontak membuatku kaget bukan main, “Aku akan menikah dengan laki-laki pilihan ayahku awal tahun nanti. Mohon jangan dekati dan ikuti aku lagi.” Begitu tuturnya.

Aku hanya bisa terdiam dan meninggalkan halte itu dengan perasaan sedih, berharap akan ada keajaiban yang dapat menyelamatkan perasaanku dari kesepian ini.

 

 

Beberapa minggu kemudian...

Di pagi ini aku membuka blog perempuan itu, yang selalu menjadi tempatku mengetahui aktivitasnya sehari-hari tanapa harus menghubunginya lagi. Aku scroll dari halaman bawah ke atas melihat ketikan tangannya untuk memuaskan perasaan kepo yang menyelimuti hatiku.

Ada sebuah tulisan yang tidak terlalu baru, sekitar berminggu-minggu yang lalu, dan diakhir paragrafnya tertuliskan “.... Sudah lama aku menginginkan menjadi makmummu dalam sholat. Meskipun tidak bisa setiap hari seperti yang aku inginkan, aku cukup bahagia menjadi seperti itu walaupun sehari. Akhirnya yang aku impikan dari lima tahun yang lalu dapat terkabulkan sekarang.”

 

No comments:

Post a Comment