Tak terasa waktu sudah berlalu, tahun sudah digantikan oleh tahun tahun setelahnya. Tak sedikit cerita suka, duka dan masalah-masalah yang datang menerpa, membutuhkan solusi yang harus diambil dengan cepat. Kebahagiaan yang tak ingin terlewati membuat kita ingin mengingat hal itu bahkan mengulanginya sekali lagi.
Iseng-iseng membuka halaman media sosial milikku, tetiba aku melihat foto seseorang yang menggunakan toga, tidak ber-make up, dengan senyum khasnya, membuatku tersenyum lebar. Toga hitam dengan selendang “Dengan Pujian” yang dikenakan di pundaknya itu membuatku terpana. Bagaimana mungkin perempuan kecil disudut dinding dulu bisa menjadi seorang yang sangat hebat sekarang.
Aku melihat keatas, langit yang tinggi dan biru. Bagaimana caranya aku bisa menjulang mimpiku sepertinya. Langit-langit yang tinggi, memberikan tempat untuk mimpi kita yang harus dijangkau, mimpi yang tinggi dan mungkin berisiko untuk jatuh dengan kondisi terbanting pula. Tidak hanya satu mimpi, bahkan puluhan mimpi yang tersentak dalam satu waktu. Tapi, tetaplah bermimpi setinggi-tingginya, walau kita tahu bahwa langit tak ada pegangan.
Media canggih yang dapat mengirimkan beribu-ribu gambar dalam waktu beberapa menit, dapat menghubungkan dua orang untuk saling bercakapan dalam waktu yang sangat cepat, mengirimkan pesan secara sekejap dan memberikan informasi yang diperlukan bahkan yang tidak diperlukan memang membantu kita untuk sedikit menjadi ‘kepo’ dengan kehidupan orang lain, tanpa terkecuali.
Seperti yang aku lihat, seorang wanita berpakaian toga dengan senyum riangnya membuatku terpana. Memberikan secercah rasa tenang kepada dunia, bahwa ada seorang sarjana yang masih muda siap membangun Indonesia.
Hari itu, aula UNS dipenuhi oleh kerumunan orang yang sedang menyaksikan sebuah suka cita, anaknya wisuda menjadi seorang sarjana yang akan menjadi seorang yang dapat membuat perubahan yang besar.
Tiba-tiba handphone milik Wardah berdering, memecah suka cita kerumunan orang-orang yang sedang berkumpul disana. Dia langsung mematikan handpohonenya dan memasukkannya kedalam tas gandengnya.
“Ah... dimatikan olehnya.” Begitu ucapku yang sedang menelponnya dari sebrang pulau itu. Ntah apa yang dipikirkan oleh perempuan yang ada di sebrang sana, dengan entengnya dia mematikan telpon dariku.
Mungkin dia ada kesibukan lain, sisi lain dari perempuan berusia duapuluh tahun yang terlihat cengeng tetapi sebenarnya tegar. Tak ada perempuan setegar dia yang mempu melawan laki-laki nyeleneh seperti diriku.
Perempuan terkadang serba salah. Disaat dia berani menghadapi kenyataan dibilang sok tegar, disaat cengeng dibilang baperan. Tapi semua itu nggak penting, jadilah diri sendiri dan tak perlu mendengarkan orang-orang. Terkadang mereka hanya iri karena tidak bisa menjadi seperti dirimu.
Perempuan Cumloude itu berdiri dengan seorang laki-laki yang ada di sampingnya. Ntah kenapa mereka berfoto berdua, dengan senyum Wardah yang indah itu. Aku yang melihat foto itu dari jauh, dari jejaring sosial yang aku milikipun langsung bertanya-tanya tentang siapa dia. Memang tak pernah ku lihat Wardah berfoto dengan siapapun, bahkan denganku.
Berpositif thinking ria ajalah, jangan terlalu dibawa perasaan sampai harus mewek dan bunuh diri segala. Cukup tersenyum, dan bila ternyata dia bahagia dengan dirinya apa yang bisa aku perbuat kecuali menerima kenyataan bahwa aku harus menunggu datang sebuah keajaiban.
Eh... tunggu dulu, kenapa orangtuanya juga ikut berfoto dengan Wardah dan laki-laki itu. Apakah mereka telah direstui? Apakah mereka sudah memiliki ikatan untuk menjalani hubungan yang lebih serius nanti. Iya, aku sungguh tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku kaget dan tersentak, serasa darahku tak lagi mengalir ditubuhku. Serasa aku tak mampu berkata apa-apa, aku hanya melongo dan terdiam melihat semua yang terpampang di LCD laptopku.
Aku langsung mematikan laptopku, menerima kenyataan bahwasanya aku harus bersedih hari ini. Mendatangi teman-temanku untuk sedikit bercerita sesuatu yang sangat intim, sesuatu yang mampu membuatku bersedih. Aku berusaha agar dapat menerima semuanya dengan indah dan tenang. Tapi, untungnya aku mendapatkan teman yang mengerti akan arti sebuah kesedihan, karena kesedihan terkadang menjadi sesuatu yang tabu untuk banyak orang.
Hari selalu berkata seharian ini, “Perempuan mah banyak, nggak usah terlalu dibawa perasaan. Kan kalo jodoh nggak bakal kemana-mana juga.” Begitu ucapnya mencoba menenangkan aku.
Sedangkan teman-temanku yang bisa beryanyi dan melawak mengeluarkan semua kebolehannya untuk menghiburku. Wawww, sepertinya kegalauanku membuat mereka semua menjadi susah. Tapi, itulah yang namanya teman dan mereka siap disibukkan oleh kesedihan mendalam yang sedang dialami oleh temannya.
Tak terasa waktu sudah jam 2 malam, kami pun diusir dari cafe tempat kami nangkring untuk menghibur diriku. Bagaimana nggak diusir? Menikmati ramainya cafe dari jam delapan sampai dua malam, tetapi minumnya hanya teh dingin seharga tiga ribuan.
Hmmm... hari ini sepertinya memang cocok dihabiskan untuk menghilangkan kesedihan dan menanggis sekencang-kencangnya. Iya, karena itulah prilaku orang yang patah hati. Tapi, dibalik itu semua aku harus tetap bahagia melihat senyum indah itu terpampang pada dirinya yang mendapatkan Cumlaude.
No comments:
Post a Comment