Jalan panjang menuju Kota Kayu Agung, sore menjelang magrib yang diikuti oleh burung-burung bertebaran di angkasa raya. Laki-laki (bukan) homo berboncengan dengan pelukan hangat dari sang penumpang.
Semuanya dimulai sejak beberapa tahun silam. Pada saat itu
kami masih gila-gilaan berdua. Saat itu aku hanyalah seorang mahasiswa Jurusan
Gizi di salah satu Perguruan Tinggi di Palembang, sahabatku adalah seorang
mahasiswa Jurusan Farmasi satu universitas denganku.
Namaku adalah Andra, seorang laki-laki sanguinis koleris yang hobinya
kemana-mana, lompat sana lompat sini kayak kera sakti (tapi nggak selebe itu
juga lho). Mengikuti semua organisasi di kampus dan sampe-sampe dimarahin sama
anggota DPM karena memiliki status nggak jelas disemua organisasi.
Temanku dekatku bernama Faisal, seorang yang lahir, besar, dan hidup di Curup
hanya saja merantau buat kuliah di Palembang. Seseorang yang bisa tiba-tiba
berteriak nggak jelas tanpa tujuan dan harapan yang jelas. Tidak menyukai
perempuan ntah apa alasannya, tapi sering memeluk pinggangku saat kami tidur
satu kasur.
Aku sedikit depresi menunggu pengumuman SNMPTN yang tak kunjung keluar, bahkan
terkesan seperti diundur. Bagaimana deg-degannya orang yang mengikuti ujian
untuk yang kedua kalinya? Bukankah anda bisa merasakannya kan sob?
Pelampiasan emosi setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang melampiaskan emosi
stresnya dengan cara membanting barang (bukan aku), ada yang melampiaskan
dengan naik motor ngebut-ngebut (iya aku), ada juga yang makan bakso sampe tiga
mangkok (bukan,, tapi bisa juga aku), dan masih banyak cara lain. Pelampiasan
stres yang berbeda itu terkadang membuat setiap orang tidak saling mengerti.
Contohnya: ketika aku melampiaskan stresku dengan membanting barang, tetapi
temanku malah tak suka melihat orang yang membanting barang bukankah itu bisa
menjadi masalah?
Tetapi, untungnya aku dan Faisal memiliki cara melampiaskan stres yang sama.
Aku (dengan Faisal) melampiaskan stresku dengan naik motor ngebut-ngebut rute
Palembang-Kayu Agung sambil makan bakso beberapa kali dijalan. Tidak! Jangan
kau bayangkan ada dua orang laki-laki yang mengendarai motor sejauh 200an kilo
meter sambil suap-suapan bakso.
Hingga akhirnya kami kembali membuka laptop sambil memasang modem, melihat
hasil pengumuman SNMPTN yang katanya diundur satu hari. Saat kami membuka Gugel
Krom dan mengetik situs web SNMPTN, betapa terkejutnya kami berdua.
Ternata di Kayu Agung nggak ada sinyal Smartfren, hmmm... apa-apaan
ini!
Hari mulai gelap, sang mentari mulai turun tahta dan langit kita diselubungi
oleh selubung hitam yang bertabur bintang. Selepas Sholat Magrib kami
berbincang di coridor masjid.
“Sal, kayaknya kita harus pulang deh ke Palembang.” Ajakku yang memang membawa
kendaraan membonceng Faisal.
“Kenapa?” ucap Faisal dengan nada datarnya, “Gara-gara udah malem atau udah
tau?” tanya Faisal dengan nada horor kayak cerita serem yang memang nggak serem
di radio memesa.
Aku diam sejenak dan menjawab, “Bukan Sal.” Jawabku sedikit menundukkan kepala
sambil memangku tas ranselku.
“Terus, kenapa?” tanya Faisal dengan nada sok romantis.
Aku langsung berdiri mengisyaratkan untuk mengikutiku kearah tunggangan kami,
“Disini nggak ada sinyal Sal. Sedih aku Sal.”, jawabku.
Kami langsung berbalik arah kembali ke Kota Palembang untuk mencari sinyal dan
melihat pengumuman hasil SNMPTN. Beebrapa jam kemudian kami sampai ke Kota
Palembang dan mencari Warnet terdekat, maklum kami memang nggak punya modem.
Aku langsung duduk diwarnet tanpa Faisal sambil mengetik website SNMPTN. Aku
memasukkan nomor ujian dan password-nya. Setelah terbuka, aku langsung terkejut
langsung mematikan sewaku dan mendatangi kasir untuk membayar.
Aku memberikan uang limaribuan, padahal aku hanya memakai sebanyak seribu
limaratus rupiah.
“Ini kembaliannya dek.” Kata kasir sambil memberikan uang pecahan.
Aku hanya terdiam dan menunduk lesu, “Ambil saja kembaliannya.” Ucapku kepada
penjaga warnet tersebut.
Aku mengendarai kendaraanku dengan hati sedih, menuju rumahku tepatnya rumah
kontrakanku dengan Faisal. Kami mengontrak rumah berdua, kamarnya juga juga ada
dua. Tetapi kami lebih suka kumpul kebo berdua diruang tengah sambil nonton
tipi sampe ketiduran.
“Assalamualaikum...” aku memasuki rumah yang tidak terkunci.
Faisal yang melihat sikapku yang agak diam itupun langsung bertanya, “Ada apa
Andra? Tidak seperti biasanya kamu kayak gini.”
“Ayok kita keluar...” ajakku.
“Kemana?” tanya Faisal, “Ini sudah jam 12 malam lho, Ndra.” Tegasnya.
“Ikut saja, kita cari makan diluar.” Ucapku sambil tersenyum.
Kami langsung mengendarai motorku menuju Benteng, disana kami duduk berdua
seperti pasangan suami istri menikmati indahnya Sungai Musi. Sebenarnya kami
memang sering pulang malam tiap hari, Cuma kali ini berbeda karena ada sedikit
kabar yang harus aku ucapkan.
Aku memulai pembicaraan, “Faisal, sepertinya beberapa tahun kedepan kita tidak
bisa lagi berteman.”.
“Kenapa? Apa karena kamu sudah mulai menyukai perempuan. Hahahaha.” tanya
Faisal dengan nada menjengelkan.
“Aku diterima kuliah, di Aceh. Jauh banget kan?” ucapku.
“Hah? Trus, kenapa kita nggak bisa berteman lagi?” tanya Faisal. “Come on bro,
jarak tidak dapat memutus tali persahabatan kita, kita sahabat. Diujung dunia
pun kita tetap sahabat, hanya saja sekarang kita menjadi sahabat jarak jauh.”
Ucap Faisal dengan tawanya. “Hanya saja kita tak bisa jalan-jalan lagi. Siapa
temanku disini nanti?” lanjutnya.
Aku menyimpan kesedihan yang mendalam, hatiku sedikit
terluka. “Ya, kira-kira harus aku ambil?” tanyaku lagi.
“Kawan, dulu kamu pernah bilang memang pengen kuliah di
FK. Ini kesempatan kamu lho, ayok semangat. Kamu harus bangkit kawan.” Ucap
Faisal. “Sejauh apapun jarak kita, kita tetaplah sahabat. Kita adalah dua orang
yang tidak akan terpisahkan.”
Aku langsung terdiam, sunyinya malam ini menjadi saksi
beberapa malam terakhirku di Kota ini. Banyak hal yang telah menjadi memoriku
untuk kota ini, tidak sedikit cerita dengan sahabatku yang aneh ini. Tetapi,
akankan angin malam yang berhembus ini akan membawa kesedihanku menjauh?
Keesokan Paginya...
“Ayah, bagaimana ini?” ucapku di telepon.
“Ya, itu terserahmu. Itu jalan hidupmu, kalo mau ambil
kalo tidak jangan. Simpel kan?” jawab ayahku.
Aku melanjutkan untuk menghilangkan keraguanku, “Tapi
aku ragu ayah.” Ucapku dengan nada yang melemah.
“Laki-laki itu harus berani mengambil pilihan. Jangan
lemah hanya gara-gara masalah ini, terakdang nanti dimasa depan kamu akan
dipaksa untuk memilih diantara dua pilihan yang berat. Jadi biasakan dirimu
nak! Kuatkan dirimu! Yakinkan dirimu!” ucap ayahku dengan meledaknya.
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Ayahku diam, aku juga
diam. Tak lama kemudian ayahku melanjutkan dengan bertanya, “Tentukan pilihanmu
sekarang!” kayak Choki Sitohang yang lagi bawakan filem teke me out.
“Ayah! Tiga hari lagi aku akan ke Aceh. Mohon do’anya.”
aku langsung mematikan telponnya dan kembali membereskan barang-barangku.
Sebagai anak laki-laki, terkadang kita akan dihadapkan
dengan pilihan yang memang berat bagi kita. Pergi meninggalkan kampung halaman,
berpisah dengan teman, orangtua dan saudara memang menjadi kepahitan sendiri
melebihi pahitnya kopi arabika nggak pake gula.
Tapi, yakinlah akan ada sebuah hikmah dan pelajaran yang
bisa kau petik sebagai seorang yang akan menyandang gelar perantauan. Ditambah
lagi, kau akan mendapatkan saudara baru di perantauan. Hmmm.... betapa aku
cinta kelaurga dan tanah kelahiranku.
Tapi, kini semuanya baru dimulai!
No comments:
Post a Comment