Saturday, 20 May 2023

BICARA TENTANG MASUK KULIAH

 Jalan panjang menuju Kota Kayu Agung, sore menjelang magrib yang diikuti oleh burung-burung bertebaran di angkasa raya. Laki-laki (bukan) homo berboncengan dengan pelukan hangat dari sang penumpang.

Semuanya dimulai sejak beberapa tahun silam. Pada saat itu kami masih gila-gilaan berdua. Saat itu aku hanyalah seorang mahasiswa Jurusan Gizi di salah satu Perguruan Tinggi di Palembang, sahabatku adalah seorang mahasiswa Jurusan Farmasi satu universitas denganku.

            Namaku adalah Andra, seorang laki-laki sanguinis koleris yang hobinya kemana-mana, lompat sana lompat sini kayak kera sakti (tapi nggak selebe itu juga lho). Mengikuti semua organisasi di kampus dan sampe-sampe dimarahin sama anggota DPM karena memiliki status nggak jelas disemua organisasi.

            Temanku dekatku bernama Faisal, seorang yang lahir, besar, dan hidup di Curup hanya saja merantau buat kuliah di Palembang. Seseorang yang bisa tiba-tiba berteriak nggak jelas tanpa tujuan dan harapan yang jelas. Tidak menyukai perempuan ntah apa alasannya, tapi sering memeluk pinggangku saat kami tidur satu kasur.

            Aku sedikit depresi menunggu pengumuman SNMPTN yang tak kunjung keluar, bahkan terkesan seperti diundur. Bagaimana deg-degannya orang yang mengikuti ujian untuk yang kedua kalinya? Bukankah anda bisa merasakannya kan sob?

            Pelampiasan emosi setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang melampiaskan emosi stresnya dengan cara membanting barang (bukan aku), ada yang melampiaskan dengan naik motor ngebut-ngebut (iya aku), ada juga yang makan bakso sampe tiga mangkok (bukan,, tapi bisa juga aku), dan masih banyak cara lain. Pelampiasan stres yang berbeda itu terkadang membuat setiap orang tidak saling mengerti. Contohnya: ketika aku melampiaskan stresku dengan membanting barang, tetapi temanku malah tak suka melihat orang yang membanting barang bukankah itu bisa menjadi masalah?

            Tetapi, untungnya aku dan Faisal memiliki cara melampiaskan stres yang sama. Aku (dengan Faisal) melampiaskan stresku dengan naik motor ngebut-ngebut rute Palembang-Kayu Agung sambil makan bakso beberapa kali dijalan. Tidak! Jangan kau bayangkan ada dua orang laki-laki yang mengendarai motor sejauh 200an kilo meter sambil suap-suapan bakso.

            Hingga akhirnya kami kembali membuka laptop sambil memasang modem, melihat hasil pengumuman SNMPTN yang katanya diundur satu hari. Saat kami membuka Gugel Krom dan mengetik situs web SNMPTN, betapa terkejutnya kami berdua. Ternata di Kayu Agung nggak ada sinyal Smartfren, hmmm... apa-apaan ini!

            Hari mulai gelap, sang mentari mulai turun tahta dan langit kita diselubungi oleh selubung hitam yang bertabur bintang. Selepas Sholat Magrib kami berbincang di coridor masjid.

            “Sal, kayaknya kita harus pulang deh ke Palembang.” Ajakku yang memang membawa kendaraan membonceng Faisal.

            “Kenapa?” ucap Faisal dengan nada datarnya, “Gara-gara udah malem atau udah tau?” tanya Faisal dengan nada horor kayak cerita serem yang memang nggak serem di radio memesa.

            Aku diam sejenak dan menjawab, “Bukan Sal.” Jawabku sedikit menundukkan kepala sambil memangku tas ranselku.

            “Terus, kenapa?” tanya Faisal dengan nada sok romantis.

            Aku langsung berdiri mengisyaratkan untuk mengikutiku kearah tunggangan kami,

“Disini nggak ada sinyal Sal. Sedih aku Sal.”, jawabku.

            Kami langsung berbalik arah kembali ke Kota Palembang untuk mencari sinyal dan melihat pengumuman hasil SNMPTN. Beebrapa jam kemudian kami sampai ke Kota Palembang dan mencari Warnet terdekat, maklum kami memang nggak punya modem.

            Aku langsung duduk diwarnet tanpa Faisal sambil mengetik website SNMPTN. Aku memasukkan nomor ujian dan password-nya. Setelah terbuka, aku langsung terkejut langsung mematikan sewaku dan mendatangi kasir untuk membayar.

            Aku memberikan uang limaribuan, padahal aku hanya memakai sebanyak seribu limaratus rupiah.

            “Ini kembaliannya dek.” Kata kasir sambil memberikan uang pecahan.

            Aku hanya terdiam dan menunduk lesu, “Ambil saja kembaliannya.” Ucapku kepada penjaga warnet tersebut.

            Aku mengendarai kendaraanku dengan hati sedih, menuju rumahku tepatnya rumah kontrakanku dengan Faisal. Kami mengontrak rumah berdua, kamarnya juga juga ada dua. Tetapi kami lebih suka kumpul kebo berdua diruang tengah sambil nonton tipi sampe ketiduran.

            “Assalamualaikum...” aku memasuki rumah yang tidak terkunci.

            Faisal yang melihat sikapku yang agak diam itupun langsung bertanya, “Ada apa Andra? Tidak seperti biasanya kamu kayak gini.”

            “Ayok kita keluar...” ajakku.

            “Kemana?” tanya Faisal, “Ini sudah jam 12 malam lho, Ndra.” Tegasnya.

            “Ikut saja, kita cari makan diluar.” Ucapku sambil tersenyum.

            Kami langsung mengendarai motorku menuju Benteng, disana kami duduk berdua seperti pasangan suami istri menikmati indahnya Sungai Musi. Sebenarnya kami memang sering pulang malam tiap hari, Cuma kali ini berbeda karena ada sedikit kabar yang harus aku ucapkan.

            Aku memulai pembicaraan, “Faisal, sepertinya beberapa tahun kedepan kita tidak bisa lagi berteman.”.

            “Kenapa? Apa karena kamu sudah mulai menyukai perempuan. Hahahaha.” tanya Faisal dengan nada menjengelkan.

            “Aku diterima kuliah, di Aceh. Jauh banget kan?” ucapku.

            “Hah? Trus, kenapa kita nggak bisa berteman lagi?” tanya Faisal. “Come on bro, jarak tidak dapat memutus tali persahabatan kita, kita sahabat. Diujung dunia pun kita tetap sahabat, hanya saja sekarang kita menjadi sahabat jarak jauh.” Ucap Faisal dengan tawanya. “Hanya saja kita tak bisa jalan-jalan lagi. Siapa temanku disini nanti?” lanjutnya.

Aku menyimpan kesedihan yang mendalam, hatiku sedikit terluka. “Ya, kira-kira harus aku ambil?” tanyaku lagi.

“Kawan, dulu kamu pernah bilang memang pengen kuliah di FK. Ini kesempatan kamu lho, ayok semangat. Kamu harus bangkit kawan.” Ucap Faisal. “Sejauh apapun jarak kita, kita tetaplah sahabat. Kita adalah dua orang yang tidak akan terpisahkan.”

Aku langsung terdiam, sunyinya malam ini menjadi saksi beberapa malam terakhirku di Kota ini. Banyak hal yang telah menjadi memoriku untuk kota ini, tidak sedikit cerita dengan sahabatku yang aneh ini. Tetapi, akankan angin malam yang berhembus ini akan membawa kesedihanku menjauh?

Keesokan Paginya...

“Ayah, bagaimana ini?” ucapku di telepon.

“Ya, itu terserahmu. Itu jalan hidupmu, kalo mau ambil kalo tidak jangan. Simpel kan?” jawab ayahku.

Aku melanjutkan untuk menghilangkan keraguanku, “Tapi aku ragu ayah.” Ucapku dengan nada yang melemah.

“Laki-laki itu harus berani mengambil pilihan. Jangan lemah hanya gara-gara masalah ini, terakdang nanti dimasa depan kamu akan dipaksa untuk memilih diantara dua pilihan yang berat. Jadi biasakan dirimu nak! Kuatkan dirimu! Yakinkan dirimu!” ucap ayahku dengan meledaknya.

Suasana tiba-tiba menjadi hening. Ayahku diam, aku juga diam. Tak lama kemudian ayahku melanjutkan dengan bertanya, “Tentukan pilihanmu sekarang!” kayak Choki Sitohang yang lagi bawakan filem teke me out.

“Ayah! Tiga hari lagi aku akan ke Aceh. Mohon do’anya.” aku langsung mematikan telponnya dan kembali membereskan barang-barangku.

Sebagai anak laki-laki, terkadang kita akan dihadapkan dengan pilihan yang memang berat bagi kita. Pergi meninggalkan kampung halaman, berpisah dengan teman, orangtua dan saudara memang menjadi kepahitan sendiri melebihi pahitnya kopi arabika nggak pake gula.

Tapi, yakinlah akan ada sebuah hikmah dan pelajaran yang bisa kau petik sebagai seorang yang akan menyandang gelar perantauan. Ditambah lagi, kau akan mendapatkan saudara baru di perantauan. Hmmm.... betapa aku cinta kelaurga dan tanah kelahiranku.

 

Tapi, kini semuanya baru dimulai!

No comments:

Post a Comment