Saturday, 27 May 2023

BICARA MASALAH TUJUAN

 Bertemu dengan beberapa temanku menjadi ingat ketika kami masih dipanggil dengan sebutan tiga serangkai. Beberapa tahun yang lalu, ketika kami meninjau sebuah perkampungan yang mengalami gagal panen sehingga mereka kehilangan mata pencarian, hingga akhirnya kami memiliki ide untuk mengajarkan penduduk cara membuat nata de cassava. Tidak hanya omong kosong, dan ternyata hal itu membuahkan hasil berupa penghasilan baru pasca gagal panen.

Duduk bersama mereka juga mengingatkan aku bahwasanya perjuangan kami sebagai seorang pemuda belum berakhir, belum selesai, dan harus mencari orang-orang yang dapat melakukan apa yang lebih dari yang kami lakukan. Duduk bersama mereka membuatku menjadi sedikit amnesia, amnesia akan kesedihan yang sedang ku lalui tentang srikandi masa kini yang harus direlakan untuk pergi. Maka dari itu, hari ini aku sangat ingin berbicara dengan mereka untuk menghilangkan kegundahan dan kegalauanku.
Tinggalkan cinta jika belum siap menyempatkannya untuk saat ini dan fokuslah pada masa depanmu.
            Kedua laki-laki yang sedang duduk di cafe yang ada di psat kota itu langsung berdiri disaat aku datang menemui mereka, aku bersalaman dengan mereka sambil melemparkan beberapa ejekan yang dahulu pernah kami lontarkan ketika masih sering bersama.
Kami bertiga mengumpulkan semua gadget yang kami miliki ditengah-tengah sebelum memulai pembicaraan. Memang terkadang kami sangat gelisah, sangat sedih ketika melihat beberapa orang yang berkumpul disuatu tempat tetapi mereka tidak berbicara satu sama lain, kenapa? Apakah karena gadget yang kita punya telah mematikan rasa sosial dan nafsu bersosialisasi yang harusnya ada. Tetapi berbeda dengan kami bertiga, setelah mengumpulkan gadget barulah semuanya kami mulai.
Pada hari itu, suasana pancaroba dan el nina la nino yang tidak terduga terjadi dimana-mana. Kadang kita merasakan panas yang luar biasa, kadang kita merasakan dingin yang luar biasa dan bahkan sampai diguyur oleh air hujan. Kerusakan alam yang terjadi hari ini sebenarnya sudah bisa menjadi peringatan untuk kita semua akan pentingnya menjaga alam.
            Aku dan dua orang temanku, seorang lulusan diploma ahli gizi dan seorangnya lagi adalah lulusan diploma kefarmasian. Duduk bertiga sambil memesan beberapa minuman yang sedikit nikmat ketika dimakan di hari hujan ini.            
Salah satu dari temanku bernama Sandi, dia seorang ahli gizi dan sekarang sudah PNS di salah satu Kabupaten yang ada di Sumatera Selatan, satunya lagi Widi seorang asisten apoteker di Kimia Farma. Sedangkan aku mahasiswa kedokteran yang harus menjalani pendidikan yang panjang. Bagaimana tidak? Mereka hanya berkuliah selama tiga tahun, sedangkan aku berkuliah sarjana saja harus memakan waktu 4 tahun kurang, pendidikan klinik selama 2 tahun lebih. Tapi masih agak heran juga kalo melihat persentase orang yang ingin masuk fakultas kedokteran selalu lebih tinggi daripada memasuki jurusan lain di setiap institusi pendidikan kecuali ITB, IPB dan ITS ya (mungkin karena nggak ada kampus FK-nya juga).
            “Enak ya yang udah jadi PNS sekarang, apalagi yang kerja di apotek. Pasti banyak uangnya ya. Hehe.” aku memulai guyonanku ke Sandi dan Widi sambil sedikit tertawa.
            “Tapi kalo ente udah jadi dokter, awak ini apalah.” Ucap Widi memotong ucapanku dan diikuti oleh kata-kata iya yang terlontar dari Sandi.
            Terkadang orang-orang memandang ini superior dan itu superior, memandang ini lebih dan itu lebih. Padahal sebenarnya semua itu tidak benar, semuanya sama, tidak ada yang lebih hebat karena dunia membutuhkan semuanya. Hanya saja kita yang membuat anggapan sendiri bahwa ini dan itu lebih wah, maklum anggapan yang telah lama menjadi persepsi akan menjadi anggapan yang benar.
            Itu bukan persoalan yang harus dipertanyakan, persoalan yang harus dipertanyakan sekarang adalah bagaimana mengkombinasikan beberapa tenaga kesehatan agar dapat tercapai kolaborasi yang sempurna (walaupun tidak ada yang sempurna di dunia ini). Setiap orang memiliki kelebihan masing-masing, memiliki kemampuan dan kemauan yang tidak dapat kita bayangkan apa yang terjadi ketika satu persatu menggabungkan kemampuannya sehingga menciptakan satu harmoni yang dapat membantu banyak orang.    
            Tiba-tiba Sandi mengeluarkan sebatang rokok dan korek api, dia menghidupkannya di depan kami berdua. Aku dan Widi yang saling melihat langsung merebut silinder beracun yang akan dihisap oleh Sandi.
            “Kalo masih mau berteman dengan kami, jangan ngerokok dong.” Ucap Widi sambil merebut rokok yang akan dihisap oleh Sandi dari tangannya.
            “Dulu pas kita masih kuliah sama-sama kok kalian nggak pernah melarang aku merokok?” Sandi bertanya memasang wajah bingung.
            “Dulu ceritanya lain San.” Ucapku sok bijaksana, “Kalo sekarang kamu udah PNS dan kamu digaji oleh negara untuk melakukan semua hal yang sedang menjadi misi negara, salah satunya Indonesia bebas rokok.”
            Walaupun kami menegurnya seperti itu, tetapi dia tidak sedikitpun tersingung. Dia sepertinya menerima tindakan kami tadi, itulah fungsinya teman menasihati untuk membawanya pada suatu hal yang lebih baik.
Teman yang baik adalah teman yang berkata benar, bukan yang membenarkan setiap perkataan.
            “San, dirimu kan ahli gizi.” Aku diam sejenak sebelum melanjutkan, “Kenapa nggak kamu coba aja buat memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang-orang yang membutuhkan? dengan uang yang biasanya kamu pakai buat beli rokok.”
            “Iya San, kamu ngerokok satu bungkus aja udah habis duapuluh ribu. Sebulan kamu udah habisin enam ratus ribu.” Ucap Widi.
            “Udah deh, dari pada ngomongin rokok mending kita ngomongin jodoh. Haha.” Guyon Sandi sambil memukul pundak kami bertiga. “Gimana Gus? Masih sama yang lama nggak?”
            “Nggak lagi.” Jawabku singkat.
            “Kok jawabnya lesu gitu? Padahal kamu orang paling bersemangat yang pernah aku kenal. Tumben-tumbennya kamu lemes kalo ditanyain soal dia.” Tanya Sandi lagi.
            “Yah, ada sedikit masalah sih dengan dia.” Jawabku.
            Widi yang awalnya hanya menjadi penonton jadi ikut-ikutan heboh bertanya-tanya, “Masalah apaan?”
            “Iya, dia mau menikah dengan laki-laki lain.” Jawabku singkat.
            “Kapan?” mereka serentak bertanya.
            “Mungkin beberapa bulan lagi. Hehe.” Jawabku sambil nyengir kuda.
            “Kenapa seperti itu?” tanya Sandi lagi.
            “Hehe, sudah sudah jangan dibahas lagi. Kalo kamu San gimana? Udah mau nikah belum sama pacarmu yang anak hukum itu.” Tanyaku singkat.
            “Sama sih, aku sudah ditinggal nikah sama dia. Hahaha.” Tawa Sandi sangat keras hingga mengalahkan bunyi hujan yang jatuh diatas genteng. “Mendingan sih, daripada Widi masih homo dan belum sembuh homonya.”
            “Aku bukan homo ya. Aku hanya mempersiapkan diriku dengan sebaik mungkin sebelum mengenal perempuan.” Bantah Widi dengan tegasnya.
            Berkumpul bersama teman, bercerita, tertawa dan bahkan menikmati hari-hari bersama rasanya lebih nyaman ketimbang berdua dengan orang yang kita anggap sebagai belahan jiwa kita. Walaupun pada hakikatnya dia belum tentu salah satu bagian dari belahan jiwa kita, tetapi anggapan yang salah itulah yang membuat semuanya menjadi sebuah kenyamanan yang abstrak berbeda dengan berkumpul dengan teman yang menjadikannya sebagai kebersamaan dan kenyamanan yang absolut.

Kesimpulannya, walaupun sudah lama kami terpisah dan berasal dari latar pendidikan yang berbeda tapi tetap saja kami memiliki nasib yang sama. Iya, belum punya pasangan dan bahkan sama ditinggal oleh orang yang telah lama dekat dengan kami. 

No comments:

Post a Comment