Seperti biasa aku pergi kekampus
dengan kemeja lusuh serta sepasang sepatu lama yang aku dapatkan ketika aku
masih SMA. Berjalan menyusuri keramaian kota. Aku melihat daun-daun mulai
berjatuhan dari cabangnya. Begitulah laki-laki, ada kala dia harus pergi jauh
dari rumahnya untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Aku langsung berjalan dari pagi
buta agar aku dapat datang tepat waktu untuk dapat menghadiri praktik di dapur
gizi. Aku datang dengan berjalan kaki, sedangkan anak-anak populer sok kaya
menggunakan mobil milik orangtuanya. Aku hanya acuh tak acuh saja, aku tidak
iri. Tapi aku bangga, aku memakai barang-barang milikku sendiri. Aku lebih
terhormat menggunakan barang-barang jelek milikku sendiri dibandingkan memakai
barang-barang mewah milik orangtuaku.
Sebuah perjuangan hidup untuk
menempuh sebuah pendidikan yang layak. Aku adalah anak laki-laki yang terlahir
dalam keluarga sederhana dan religius. Aku selalu bingung apabila melihat
banyak orang yang merantau, hingga aku bertanya “Ayah, apakah setiap laki-laki
harus berjuang sendiri untuk menempuh hidup yang lebih enak?” aku teringat akan
pertanyaanku sekitar duabelas tahun yang lalu.
Ayahku langsung melihat kearah atas
sambil memegang dagunya, “Kalau kamu mau jadi laki-laki itu harus.” Jawab
ayahku dengan singkat sambil tersenyum dan memegang kepalaku.
Aku bukannya mengerti, malah tambah
bingung dibuat ayahku. “Apa yang ayah maksud dengan harus.” Aku berfikir
sebentar, “Harus melakukan apa ayah?” sambil meloncat-loncat untuk mengapai
pundaknya.
Ayahku langsung merendahkan
badannya agar aku bisa meraih pundaknya, “Aku tak akan beritahu, kalo aku
beritahu kan jadi gak seru lagi petualanganmu nanti.” Ayah langsung mengangkat
badanku sambil berkata, “Kalau kau lepas seperti burung yang ada dipohon itu,
kau akan mengerti.” Sambil memencet hidungku.
Aku selalu bertanya tentang
kehidupannya dahulu ketika kuliah. Aku hanya bisa bertanya tanpa diberitahu
maksud dari apa yang dia katakan. Dia selalu berkata, “Nanti kau akan tau
sendiri ketika sudah kami lepaskan.”
Aku langsung pergi dengan membawa
map merah didalam tasku ke sebuah perusahaan asuransi ternama di Dunia, ya
Prudential. Aku langsung masuk kedalam ruangan besar berAC itu. Aku langsung
diwawancarai oleh petinggi perusahaan tersebut, mungkin inilah pengalaman
kerjaku yang pertama yaitu melamar pekerjaan menjadi agen asuransi.
Setelah wawancara aku langsung
mendapatkan beberapa ujian tulis sampai tiga kali, hingga sampailah aku resmi
menjadi agen asuransi. Lika liku mencari uang sendiri tanpa bantuan orang tua
memanglah berat, tapi itu adalah pengalaman paling berharga yang tak akan
terlupakan.
Aku datang kerumah-rumah untuk
menyodorkan penawaran asuransi kepada mereka yang belum aku kenal. Tiga bulan
aku sudah menjadi agen asuransi, tapi yang aku terima hanyalah penolakan dari
pintu kepintu, karena mendapatkan banyak penolakan aku sudah mulai putus asa
dan memohon permintaan berhenti kepada atasanku. “Pak aku mau berhenti dari
pekerjaan ini, aku ditolak terus pak.”
Pak Tanto langsung membawa album
dan memberikannya kepadaku, “Gus, bapak dulu kerja di sebuah bank, gaji bapak
hanya dua juta perbulan. Terus bapak di PHK dari pekerjaan bapak.” Matanya
sudah mulai berkaca-kaca, “Bapak telah banyak melewati hari-hari yang berat,
hingga sekarang gaji bapak udah ratusan juta. Itu semua dengan usaha dan doa
yang sungguh-sungguh.”
Setelah mendengar cerita dari Pak
Tanto, aku langsung mendapatkan sebuah pelajaran. Saat engkau sudah merasa
gagal dan putus asa, saat itulah engkau dekat dengan kesuksesan. Setelah itu
aku langsung kembali bekerja seperti biasa, dan hasilnya luar biasa. Aku
langsung mendapatkan seorang nasabah dalam waktu beberapa hari ini, aku belum
merasa puas. Aku selalu berfikir untuk tidak lagi bergantung pada oranngtua dan
aku berfikir bagaimana aku dapat membiayai semua biaya hidupku selama
dipalembang. Hingga akhirnya, aku terus bekerja hingga nasabahku sudah
tujuh orang. Sekarang aku sudah bisa berbelanja dengan uang pribadiku, saat
itulah aku merasakan kebanggan terbesar yang ada selama hidupku.
Pekerjaan kedua yang pernah aku
geluti adalah supir taksi dan tukang ojek dadakan, sebuah pekerjaan yang
mungkin malu dilakukan oleh mahasiswa yang berasal dari kalangan keluarga
berkecukupan. Tapi tidak untuk aku! Aku tak malu-malunya narik ojek didepan
teman-temanku, aku juga sering narik ojek di pasar sukarame demi mendapatkan
uang jajan dan uang bensin.
Sekarang aku sudah mengerti maksud
semua perkataan ayahku. Aku membaca dari semua yang aku alami dan aku pelajari
semua yang aku lakukan selama hidupku. Berikut ini adalah hasil dari pelajaran
yang aku dapatkan dijalanan:
Aku memang mengakui bahwa aku bukanlah
orang yang sangat pintar, tapi aku berusaha sukses dengan segala kobodohan yang
aku miliki. Aku memang laki-laki yang belum dewasa, tapi aku tak mau menjilat
orang dewasa demi ambisi dan tujuanku. Aku memang tak bisa membaca isi hati
orang lain, tapi aku akan selalu mencoba untuk mengerti. Aku pernah hampir mati
karena ngak punya uang makan dalam waktu satu minggu, aku berusaha mendapatkan
uang dengan tanganku dan aku tak mau merepotkan orangtuaku, karena aku
laki-laki. Aku berani mati demi prinsipku, mempertahankan prinsipku, melindungi
orang-orang yang aku sayangi. Aku berani merantau keujung sumatera tanpa satu
org temanpun, tanpa membawa nama orang tua, hanya membawa nama AGUSTIAWAN.
Karena aku laki-laki. Aku rela hidup susah, tanpa fasilitas mewah, sepatu
sobek, baju yang udah usia 3 tahun, tapi aku bangga, karena itu dari jerih
payahku sendiri. Aku tak malu bekerja sebagai jurnalis, menjadi marketing,
sales, dihina orang, dicaci orang, asalkan halal. Dulu Aku kuliah di dua tempat
Gizi dan kuliah Peradaban Islam, tak masalah bagiku, karena itu Gratis, dan
kewajiban manusia untuk mencari ilmu yang banyak. Aku sayang orangtuaku, tak
rela melihat mereka berdua menanggis karenaku, tak mau menyusahkan mereka, dan
aku yang akan menjadi orang yg akan memberikan mereka kebahagiaan, KARENA AKU
LAKI-LAKI.
Jadilah dirimu sendiri, berusahalah
bersungguh-sungguh mencari makan dengan tanganmu. Syaangi orangtuamu melebihi
kau menyayangi dirimu sendiri. Laki-laki adalah tulang punggung keluarga,
harapan bangsa, pemimpin bagi kaum hawa. Jangan utamakan kekayaan semata, tapi
juga mepedulian kepada rakyat jelata.” Itulah jawaban pertanyaanku beberapa
tahun yang lalu, yang jawabannya aku dapatkan dijalanan.
Aku duduk-duduk santai dengan
ayahku sambil melihat bulan, “Ayah, dirimu ingin aku lebih hebat dari dirimu
bukan? Apakah hanya itu yang kau mau?” sambil memandang wajah tua yang dulunya
kencang tapi sekarang telah dipenuhi oleh keriput, dan memijit bahu ayahku.
Ayahku memegang tanganku yang ada
dibahunya, “Pertanyaanmu sekarang saat kuliah sama saja dengan pertanyaanmu
waktu masih kelas dua SD.” Sambil tertawa dan meletakkan puntung rokoknya di
asbak. “Walaupun kau sudah besar kau tetaplah Agus kecil ayah, Agus kecil yang
dulu berlari-lari melewati padang rumput hingga terjatuh. Walaupun terjatuh,
kau tak pernah mengeluh kesakitan. Pegang kepalamu Gus!” perintah ayahku dengan
agak memaksa.
Aku langsung memegang kepalaku, aku
raba-raba ternyata ada bekas luka bocor dikepalaku, “Ini ada bekas luka bocor
yah, emangnya kenapa?” aku bertanya.
Ayahku langsung tertawa, “Kau sudah
lupa ya? Dulu kau pernah jatuh dan kepalamu pecah. Waktu kami mau menolongmu,
kau selalu bilang kalo nggak butuh bantuan, aku bisa berangkat sendiri dan
lain-lainlah. Apakah jiwa kanak-kanakmu belum hilang nak?” tanya ayahku dengan
seriusnya.
Aku menjawab dengan percaya diri,
“Sudah donk, kenapa? Ayah benci dengan sikap kanak-kanakku?” jawabku serius.
Ayahku langsung kembali berkata,
“Aku menyukai sifat kanak-kanakmu yang dulu, kau anakku yang pantang menyerah
dan egois dengan pendapatmu. Aku menyukainya, suka dengan sifat pantang
menyerahmu.” Ucapnya dibawah rembulan.
Aku menjadi bingung dengan ucapan
sengklak ayahku,“Tunggu eh tunggu dulu, ayah bukankah semua orangtua
menginginkan anak-anaknya menjadi dewasa?”.
Ayahku langsung membenarkan posisi
duduknya, “Gus, Gus. Semua ayah atau kebanyakan ayah ni? Kalau ayah nggak ah.”
Beliau langsung tersenyum nyengir, “Tau nggak? Nggak semua sifat kanak-kanak
itu buruk Gus.”
Tiba-tiba adik laki-lakiku yang
masih TK langsung keluar menuju kearah kami, “Yah, mau ini nggak? Tadi adek
bagi-bagi makanan sama kawan-kawan. Besok bawa banyak lagi ya Ayah. Adek mau
bagi-bagi lagi.” Dengan polosnya adik kecilku berkata seperti itu.
Aku langsung sedikit mengeluarkan
air mata dan menghilangkannya dengan baju yang aku pakai, “Ternyata yang ayah
katakan benar ya, semua sifat anak yang masih kanak-kanak itu nggak semuanya
buruk.” Sifat adikku telah menyadarkanku.
Seorang kakak laki-laki akan
menjadi pengganti ayahnya ketika ayahnya nanti tidak berkerja lagi, menghidupi
kehidupan adik-adiknya. Memberikan harapan dan cita-cita adiknya. “Kakak-kakak,
ajarin adek pakai laptop kakak.” Kata adik kecilku.
Aku langsung tertawa, “Nanti ya,
kakak lagi sibuk. Kakak banyak tugas dek.” Jawabku dengan remehnya, karena aku
anggap dia masih terlalu kecil.
Ibuku langsung angkat bicara, “Gus,
ajarin adikmu. Biar dia senang, kamu kan kakak laki-lakinya.” Sambil mencuci
piring diwashtafel yang ada didapur.
Sekarang aku menyadari kalau aku
belum menjadi kakak laki-laki yang baik untuk adik-adikku. Jika aku diberi
kesempatan untuk bertemu dengan mereka lagi, aku akan membuat mereka bahagia
walaupun hanya beberapa hari.
Aku memang telah melakukan banyak
hal yang bermanfaat bagi masyarakat, tapi aku belum dapat melakukannya kepada
adik-adikku. Ingatlah, jaga sifat kanak-kanakmu yaitu: PANTANG MENYERAH dan
BERBAGI.
No comments:
Post a Comment