Saturday, 13 May 2023

BICARA MASALAH PENGUNGSI ROHINGYA DI ACEH

 Hari ini hujan rintik-rintik...

Aku sedikit ragu untuk beranjak dari kasurku yang empuk ditemani dengan kipas angin yang selalu setia berputar memberikan aku kesejukan. Bangun pagi hari ini badanku sedikit menggiggil, kenapa tidak? Kabut asap yang membenamkan sang surya di angkasa ditambah dengan hujan deras dari jam satu malam tadi. Nggak kebayang gimana rasanya kalo masuk ke kamar mandi hanya buat cuci badan sampe basah kuyub.

Aku langsung berangkat berkumpul dengan teman-teman untuk menemui pengungsi Rohingya yang sudah dipindahkan ke ICS yang terletak di perbatasan Aceh Utara-Lhokseumawe dengan kondisi belum mandi. Mengendarai motor yang sudah berusia lima tahun ini dengan melawan hujan seakan-akan melawan lupa.

Ini adalah ke enam kalinya aku melakukan kegiatan Pengembangan Masyarakat alias Comdev (Community Development) yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan aplikasi hidup sehat dalam keseharian pengungsi yang baunya seakan-akan menghancurkan saraf olfactorius di hidungku.



Kondisi mereka lebih baik dari sebelumnya, ketimbang pertama aku melihatnya di Bulan Mei 2015. Saat itu mereka sangat bau, tidak seperti manusia pada umumnya yang mandi dua kali sehari dan ganti baju secara rutin. Nggak bisa dibayangkan gimana bau orang yang udah nggak mandi dan ganti baju selama tiga bulan.

Pertama aku datang kesini hanya untuk mensurvei lokasi, melihat kondisi pengungsi, memastikan ke pihak imigrasi akan status mereka kemudian meminta keterangan Kapolres mengenai pengamanan kepada sang pengungsi dan masih banyak lagi. Pertama aku melihat mereka memang sambil menutup hidung (walaupun sudah pakai masker) dengan jarak yang lumayan jauh (sekitar duapuluhan meter) dari mereka.

Kedua, aku kesini untuk melakukan assessment ulang dengan cara melihat secara langsung kondisi para pengungsi. Sudah lebih baik daripada sebelumnya, tapi pada hari ini aku melihat beberapa penyakit menular yang sudah mulai menyebar di lingkungan pengungsi. Tapi, tak apalah dari pada mereka mati dibunuh oleh pelaku genosida di negara asalnya (pikirku). Disini, aku sedikit salut ketika mengenal beberapa orang Rohingya yang dapat dengan fasihnya berbahasa Arab dan Inggris, bahkan ada dua orang yang telah hafal Al-Quran 30 Juzz. Sangat luar biasa, dalam kondisi konflik berkepanjangan mereka dapat berusaha untuk menghafal Kalam Illahi, tetapi ada pula yang tidak hafal Al-fatihah dan surat-surat pendek lainnya. Kedatanganku ketiga kalinya dengan tim dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang berasal dari Jakarta, mereka meminta bantuanku sebagai salah satu Tim Mitra untuk menangani kasus ini. Pada saat itu tim dipimpin oleh Pas Waspodo dari KPAI. Ketiga, saya kesini untuk rapat bersama Working Grup walaupun pada sesi ini agak tidak terlalu penting untuk diceritakan. Keempat, masih proses assessment. Kelima sudah mulai gladi bersih untuk pelaksanaan comdev ini.

Sekarang adalah keenam kalinya, kenapa keenam kalinya? Apakah karena kami gagal? Atau memang kami nggak becus memberikan pengarahan?

Tidak!

Banyak kendala yang kami alami. Pertama adalah kendala bahasa, kenapa? Alat komunikasi di dunia ini adalah bahasa, sedangkan mereka banyak yang tidak mengerti Bahasa Indonesia dan Inggris. Terhitung hanya empat orang yang mengerti bahasa Melayu, dan sekarang tinggal satu karena ketiganya melarikan diri. Bayangkan mulut kami udah berbuih ngomong kalo pake semfak itu dibawah, malah dipake di kepala. Kami sudah berbui-buih ngomong kalo gayung itu buat mandi, eh malah buat nampung kuah tomyam.

Permasalahan lainnya adalah peradaban mereka yang tertinggal dari kita. pernah ada kejadian dimana banyak pengungsi yang membawa gayung mandi ke dalam kamarnya untuk nampung kuah tomyam, ada juga yang menjadikan gayung sebagai tempat untuk menumbuk bumbu masakan, kemudian menjadikan ember sebagai kotak sampah lalu digunakan untuk tempat menyimpan makanan. Memang harus kita akui bahwa mereka dapat membuat benda-benda yang fungsinya hanya satu menjadi multifungsi, ini memang kreatif walaupun tidak pada tempatnya.

Jadi pada hari ini kami menyebar dari kamar ke kamar untuk menjelaskan cara mencuci tangan dengan benar, kemudian mengajarkan cara menggunakan gayung pada tempatnya (untuk mandi) memang sih ngajarin mereka gampang-gampang susah tapi Alhamdulillah mereka gampang paham dengan penjelasan kami. Tak puas dengan itu, kai melanjutkannya dengan mengajarkan cara menggunakan sapu lidi dan sapu ruangan agar mereka tau cara menyapu ruangan dan lapangan.

Beberapa menit kemudian, ada seorang lelaki Rohingya mengangkat telpon. Ntah apa maksud dari kejadian ini, aku sedikit tergelitik melihat seorang pengungsi dari negara asing yang memiliki telpon genggam. Ntah apa maksudnya. Beberapa menit kemudian dia balik menelpon sang penelpon, sambil tertawa-tawa dia berbicara dengan seseorang yang ada di sebrang telpon sana. Aku yang melihatnya dari tadi hanya bisa diam termenung, kebingungan ntah apa yang sebenarnya terjadi disini. Pengungsi memiliki HP, terus nelpon sambil ketawa-ketiwi.

Kondisi kamar mereka yang sedikit bau membuatku ingin muntah, menahan muntah dan tidak menampakkannya didepan mereka. Tetapi sangat sulit, hingga akhirnya aku menyerah dan lari keluar ruangan untuk muntah (moga aja mereka nggak lihat). Aku sedikit bingung, kenapa setiap ruangan memiliki bau tak sedap, padahal tidak ada gantungan pakaian maupun kotoran di dalam ruangan. Akhirnya, aku menemukan pokok permasalahannya dimana. Dimana? Mereka nggak buka jendela sama sekali, mungkin itu yang menyebabkan udara busuk mengendap di dalam ruangan. Hingga akhirnya aku meminta kepada seluruh pengungsi untuk membuka jendela kamar masing-masing, alhasil berrrr masih tetap bau tapi nggak sesumpek sebelumnya.

Oke... aku langsung pergi keliling pengungsian. Ada sedikit pemandangan menarik yang aku lihat disini, apa? Aku melihat seorang wanita Rohingya berjualan kedai kecil-kecilan. Dia menjual pop mie, bihun, aqua dan lain-lain. Ntah apa urgensi ada orang yang jualan disini, dan pertanyaan pentingnya modalnya berasal dari mana?

Aku tergelitik melihat beberapa anak-anak yang bermain di pengungsian. Aku mengambil sebuah tempat sampah kemudian mengajak mereka mengambil sampah yang berserakan di lapangan, harapanku hanya mereka “Anak-anak polos yang masih bisa diajarin gimana cara hidup bersih dan sehat”. Tak puas dengan sampah yang ada di lapangan ini, mereka merebut kotak sampah yang aku pegang kemudian mereka bertiga membawanya sambil berlari mencari sampah. Ini mereka anggap sebuah permainan ‘ambil yang kau temukan’, sehingga mereka mengambil sampah sambil ketawa-ketiwi.

Aku yang melihat hal ini hanya bisa tersenyum sambil membantu mereka mengambil sampah yang berserakan di lapangan. Tak lama setelah itu, aku langsung bermain bersama mereka dengan cara menirukan sang ahli bela diri Donnie Yen atau Bruce Lee kemudian mengajak mereka berduel. Mereka menirukan semua gaya yang aku ajarkan hingga akhirnya mereka berkelahi sesama mereka.

Sekarang waktu sudah menunjukkan jam 12, kami langsung menuju Mushala untuk briefing dengan teman-temanku. Untuk mengakhiri comdev sesi hari ini, kemudian beberapa anak Rohingya mendatangi kami dengan gaya bak gengster, jumlahnya sekitar sepuluh atau belasan orang. Awalnya mereka hanya meminta minum dan berakhir dengan menjahili kami semua.

Aku yang duduk tertawa melihat tingkah mereka tak dapat mengelak ketika mereka semua melihatku tertawa dan seeprtinya aku akan jadi target operasi selanutnya. Mereka mendekatiku serasa menirukan gaya Wing Chun sambil memukul-mukul pundak dan kepalaku secara bersaamaan, Aku dikeroyok oleh anak-anak “Tolong akuuuu...” ucapku yang hanya direspon dengan tawa oleh teman-temanku.

Kemudian ada beberapa yang menanggis akibat saling pukul dan tendang, memang sih ini sudah agak berlebihan walaupun niat nya hanya buat main-main. Tapi aku jadi sedikit menyesal mengajarkan yang bukan-bukan kepada mereka. Tapi pada intinya mereka hanyalah anak-anak yang membutuhkan perhatian, perhatian dari kita yang mungkin mereka anggap sebagai orangtuanya sendiri.

Konflik berkepanjangan seperti di negaranya mungkin telah memberikan banyak kenangan pahit yang harus mereka lupakan. Tentang kematian orangtua mereka, saudara, kekasih, anak bahkan orang-orang terdekat lainnya yang pasti akan menimbulkan kesedihan yang berkepanjangan. Tapi mau bagaimana lagi? Inilah kepentingan abadi yang harus mereka lalui dimana mereka harus merasakan pahitnya konflik. Perdamaian, adalah hal yang paling mahal buat dua komunitas yang bertikai.

            Kita wajib berempati kepada mereka, melakukan apa yang kita bisa untuk membantu mereka. Walaupun pada akhirnya itu akan memberikan kecemburuan sosial yang telah terjadi antara kaum pribumi dan kaum pendatang. Contohnya adalah pengungsi diberikan makanan yang layak, sedangkan kaum pribumi masih ada yang belum makan. Tetapi, seenak apapun makanan yang diberikan tidak akan enak dikunyah apabila kesedihan dalam hati mereka belum terobati.



No comments:

Post a Comment