Hari ini hujan rintik-rintik...
Aku sedikit ragu untuk beranjak dari kasurku yang empuk ditemani dengan kipas angin yang selalu setia berputar memberikan aku kesejukan. Bangun pagi hari ini badanku sedikit menggiggil, kenapa tidak? Kabut asap yang membenamkan sang surya di angkasa ditambah dengan hujan deras dari jam satu malam tadi. Nggak kebayang gimana rasanya kalo masuk ke kamar mandi hanya buat cuci badan sampe basah kuyub.
Aku langsung berangkat berkumpul
dengan teman-teman untuk menemui pengungsi Rohingya yang sudah dipindahkan ke ICS
yang terletak di perbatasan Aceh Utara-Lhokseumawe dengan kondisi belum mandi.
Mengendarai motor yang sudah berusia lima tahun ini dengan melawan hujan
seakan-akan melawan lupa.
Ini adalah ke enam kalinya aku melakukan kegiatan Pengembangan Masyarakat alias Comdev (Community Development) yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan aplikasi hidup sehat dalam keseharian pengungsi yang baunya seakan-akan menghancurkan saraf olfactorius di hidungku.
Kondisi mereka lebih baik dari
sebelumnya, ketimbang pertama aku melihatnya di Bulan Mei 2015. Saat itu mereka
sangat bau, tidak seperti manusia pada umumnya yang mandi dua kali sehari dan
ganti baju secara rutin. Nggak bisa dibayangkan gimana bau orang yang udah
nggak mandi dan ganti baju selama tiga bulan.
Pertama aku datang kesini hanya
untuk mensurvei lokasi, melihat kondisi pengungsi, memastikan ke pihak imigrasi
akan status mereka kemudian meminta keterangan Kapolres mengenai pengamanan
kepada sang pengungsi dan masih banyak lagi. Pertama aku melihat mereka memang
sambil menutup hidung (walaupun sudah pakai masker) dengan jarak yang lumayan
jauh (sekitar duapuluhan meter) dari mereka.
Kedua, aku kesini untuk
melakukan assessment ulang dengan cara melihat secara langsung
kondisi para pengungsi. Sudah lebih baik daripada sebelumnya, tapi pada hari
ini aku melihat beberapa penyakit menular yang sudah mulai menyebar di
lingkungan pengungsi. Tapi, tak apalah dari pada mereka mati dibunuh oleh
pelaku genosida di negara asalnya (pikirku). Disini, aku sedikit salut ketika
mengenal beberapa orang Rohingya yang dapat dengan fasihnya berbahasa Arab dan
Inggris, bahkan ada dua orang yang telah hafal Al-Quran 30 Juzz. Sangat luar
biasa, dalam kondisi konflik berkepanjangan mereka dapat berusaha untuk
menghafal Kalam Illahi, tetapi ada pula yang tidak hafal Al-fatihah dan
surat-surat pendek lainnya. Kedatanganku ketiga kalinya dengan tim dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang berasal dari Jakarta, mereka meminta
bantuanku sebagai salah satu Tim Mitra untuk menangani kasus ini. Pada saat itu
tim dipimpin oleh Pas Waspodo dari KPAI. Ketiga, saya kesini untuk rapat
bersama Working Grup walaupun pada sesi ini agak tidak terlalu
penting untuk diceritakan. Keempat, masih proses assessment. Kelima
sudah mulai gladi bersih untuk pelaksanaan comdev ini.
Sekarang adalah keenam kalinya,
kenapa keenam kalinya? Apakah karena kami gagal? Atau memang kami nggak becus
memberikan pengarahan?
Tidak!
Banyak kendala yang kami alami.
Pertama adalah kendala bahasa, kenapa? Alat komunikasi di dunia ini adalah
bahasa, sedangkan mereka banyak yang tidak mengerti Bahasa Indonesia dan
Inggris. Terhitung hanya empat orang yang mengerti bahasa Melayu, dan sekarang
tinggal satu karena ketiganya melarikan diri. Bayangkan mulut kami udah berbuih
ngomong kalo pake semfak itu dibawah, malah dipake di kepala. Kami sudah
berbui-buih ngomong kalo gayung itu buat mandi, eh malah buat nampung kuah
tomyam.
Permasalahan lainnya adalah
peradaban mereka yang tertinggal dari kita. pernah ada kejadian dimana banyak
pengungsi yang membawa gayung mandi ke dalam kamarnya untuk nampung kuah
tomyam, ada juga yang menjadikan gayung sebagai tempat untuk menumbuk bumbu
masakan, kemudian menjadikan ember sebagai kotak sampah lalu digunakan untuk
tempat menyimpan makanan. Memang harus kita akui bahwa mereka dapat membuat
benda-benda yang fungsinya hanya satu menjadi multifungsi, ini memang kreatif
walaupun tidak pada tempatnya.
Jadi pada hari ini kami menyebar
dari kamar ke kamar untuk menjelaskan cara mencuci tangan dengan benar,
kemudian mengajarkan cara menggunakan gayung pada tempatnya (untuk mandi)
memang sih ngajarin mereka gampang-gampang susah tapi Alhamdulillah mereka
gampang paham dengan penjelasan kami. Tak puas dengan itu, kai melanjutkannya
dengan mengajarkan cara menggunakan sapu lidi dan sapu ruangan agar mereka tau
cara menyapu ruangan dan lapangan.
Beberapa menit kemudian, ada
seorang lelaki Rohingya mengangkat telpon. Ntah apa maksud dari kejadian ini,
aku sedikit tergelitik melihat seorang pengungsi dari negara asing yang
memiliki telpon genggam. Ntah apa maksudnya. Beberapa menit kemudian dia balik
menelpon sang penelpon, sambil tertawa-tawa dia berbicara dengan seseorang yang
ada di sebrang telpon sana. Aku yang melihatnya dari tadi hanya bisa diam termenung,
kebingungan ntah apa yang sebenarnya terjadi disini. Pengungsi memiliki HP,
terus nelpon sambil ketawa-ketiwi.
Kondisi kamar mereka yang sedikit
bau membuatku ingin muntah, menahan muntah dan tidak menampakkannya didepan
mereka. Tetapi sangat sulit, hingga akhirnya aku menyerah dan lari keluar
ruangan untuk muntah (moga aja mereka nggak lihat). Aku sedikit bingung, kenapa
setiap ruangan memiliki bau tak sedap, padahal tidak ada gantungan pakaian
maupun kotoran di dalam ruangan. Akhirnya, aku menemukan pokok permasalahannya
dimana. Dimana? Mereka nggak buka jendela sama sekali, mungkin itu yang
menyebabkan udara busuk mengendap di dalam ruangan. Hingga akhirnya aku meminta
kepada seluruh pengungsi untuk membuka jendela kamar masing-masing, alhasil berrrr
masih tetap bau tapi nggak sesumpek sebelumnya.
Oke... aku langsung pergi keliling
pengungsian. Ada sedikit pemandangan menarik yang aku lihat disini, apa? Aku
melihat seorang wanita Rohingya berjualan kedai kecil-kecilan. Dia menjual pop
mie, bihun, aqua dan lain-lain. Ntah apa urgensi ada orang yang jualan disini,
dan pertanyaan pentingnya modalnya berasal dari mana?
Aku tergelitik melihat beberapa
anak-anak yang bermain di pengungsian. Aku mengambil sebuah tempat sampah
kemudian mengajak mereka mengambil sampah yang berserakan di lapangan,
harapanku hanya mereka “Anak-anak polos yang masih bisa diajarin gimana cara
hidup bersih dan sehat”. Tak puas dengan sampah yang ada di lapangan ini,
mereka merebut kotak sampah yang aku pegang kemudian mereka bertiga membawanya
sambil berlari mencari sampah. Ini mereka anggap sebuah permainan ‘ambil yang
kau temukan’, sehingga mereka mengambil sampah sambil ketawa-ketiwi.
Aku yang melihat hal ini hanya bisa
tersenyum sambil membantu mereka mengambil sampah yang berserakan di lapangan.
Tak lama setelah itu, aku langsung bermain bersama mereka dengan cara menirukan
sang ahli bela diri Donnie Yen atau Bruce Lee kemudian mengajak mereka berduel.
Mereka menirukan semua gaya yang aku ajarkan hingga akhirnya mereka berkelahi
sesama mereka.
Sekarang waktu sudah menunjukkan jam
12, kami langsung menuju Mushala untuk briefing dengan teman-temanku. Untuk
mengakhiri comdev sesi hari ini, kemudian beberapa anak Rohingya mendatangi
kami dengan gaya bak gengster, jumlahnya sekitar sepuluh atau belasan orang.
Awalnya mereka hanya meminta minum dan berakhir dengan menjahili kami semua.
Aku yang duduk tertawa melihat
tingkah mereka tak dapat mengelak ketika mereka semua melihatku tertawa dan
seeprtinya aku akan jadi target operasi selanutnya. Mereka mendekatiku serasa
menirukan gaya Wing Chun sambil memukul-mukul pundak dan kepalaku secara
bersaamaan, Aku dikeroyok oleh anak-anak “Tolong akuuuu...” ucapku yang hanya
direspon dengan tawa oleh teman-temanku.
Kemudian ada beberapa yang
menanggis akibat saling pukul dan tendang, memang sih ini sudah agak berlebihan
walaupun niat nya hanya buat main-main. Tapi aku jadi sedikit menyesal
mengajarkan yang bukan-bukan kepada mereka. Tapi pada intinya mereka hanyalah
anak-anak yang membutuhkan perhatian, perhatian dari kita yang mungkin mereka
anggap sebagai orangtuanya sendiri.
Konflik berkepanjangan seperti di
negaranya mungkin telah memberikan banyak kenangan pahit yang harus mereka
lupakan. Tentang kematian orangtua mereka, saudara, kekasih, anak bahkan
orang-orang terdekat lainnya yang pasti akan menimbulkan kesedihan yang
berkepanjangan. Tapi mau bagaimana lagi? Inilah kepentingan abadi yang harus
mereka lalui dimana mereka harus merasakan pahitnya konflik. Perdamaian, adalah
hal yang paling mahal buat dua komunitas yang bertikai.
Kita wajib berempati kepada mereka, melakukan apa yang kita bisa untuk membantu mereka. Walaupun pada akhirnya itu akan memberikan kecemburuan sosial yang telah terjadi antara kaum pribumi dan kaum pendatang. Contohnya adalah pengungsi diberikan makanan yang layak, sedangkan kaum pribumi masih ada yang belum makan. Tetapi, seenak apapun makanan yang diberikan tidak akan enak dikunyah apabila kesedihan dalam hati mereka belum terobati.
No comments:
Post a Comment