Hari itu, tahun 2018 pertengahan.
Kita digoncangkan oleh kabar gempa
bumi dan tsunami yang terjadi di Kota Palu dan sekitarnya, Sulawesi Tengah.
Awalnya aku yang saat itu hanyalah dokter baru tamat biasa saja dan hanya dapat
membantu lewat donasi dan sumbangan jarak jauh. Tidak ada sedikitpun niatku
untuk datang ke lokasi bencana untuk membantu para korban.
Lima hari setelah kejadian gempa,
aku mendapatkan chat yang menawarkan diriku untuk ikut pergi ke lokasi bencana.
Awalnya aku masih ragu dikarenakan aku takut naik pesawat, terlebih lagi
perjalanan pesawat dari Jakarta ke Palu cukup lama, yaitu sekitar tiga sampai
empat jam (kalau tidak salah). Selain itu aku juga harus meninggalkan praktek
apabila berpergian jauh.
Selama dua hari aku menimbang,
kira-kira aku perlu pergi atau tidak ya?
Oke, akhirnya aku nekat pergi
setelah meminta izin ke orangtuaku.
Setelah
orangtuaku mengizinkan, besoknya aku langsung berangkat ke Jakarta yang menjadi
titik kumpul relawan yang akan berangkat ke Palu.
Sesampainya
di Palu, aku melihat kondisi alam yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
Maklum, aku sering turun ke lokasi bencana dikarenakan aku kuliah di Fakultas
Kedokteran Negeri yang ada di Aceh. Setiap tahunnya kita merasakan gempa bumi,
tapi tidak memberikan kerusakan yang lebih parah daripada kejadian gempa bumi,
tsunami dan likuifaksi yang terjadi di Palu kemarin.
Tsunami di Palu merupakan salah satu
kondisi yang pada saat itu dianggap sebagai fenomena alam yang sangat hampir mustahil.
Hal ini dikarenakan tsunami itu pada umumnya terjadi di wilayah dengan lempeng
tektonik yang pada umumnya kita temukan di wilayah Samudera.
Hal ini tentunya berbeda dengan Palu
yang dikelilingi oleh laut (laut dan samudera itu berbeda, dimana laut itu
berada di antara pulau atau daratan, sedangkan samudera ada diantara benua).
Selain itu, kondisi tersebut
diperberat dengan liquifaksi. Liquifaksi merupakan kondisi dimana permukaan
daratan yang ada di atasnya masuk ke bagian dala. Hal inilah yang menjadikan
bencana di Palu menjadi semakin parah.
Liquifaksi yang terjadi di Palu
diyakini menjadi kejadian luquifaksi pertama di Indonesia. Kita dapat melihat
ada daratan yang terpotong, seolah-olah daratan yang ada di depan kita sedang
di “blendder”.
Adapun kegiatan yang kami lakukan
disana adalah melakukan penyuluhan kesehatan, mengajak anak-anak bermain, dan
bernyanyi. Hal tersebut kita lakukan agar mereka tidak merasa sendiri dan
merasa diperhatikan oleh orang yang ada di sekitarnya. Suasana tidak seperti
yang aku bayangkan.
Anak-anak dan penyintas bencana disana dalam keadaan senang, meskipun dalam keterbatasan dan kehancuran. Mereka berinteraksi sosial seperti orang yang tidak mengalami bencana. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi sosial mereka baik, meskipun dihantam oleh bencana yang begitu berat. Hal inilah kekuatan bangsa kita, dimana gotong royong itu menjadi kekuatan yang sewaktu-waktu dapat membuat satu komunitas menjadi tangguh.
Ditempat yang lain aku melaihat ada beberapa
mahasiswa yang mengatakan bahwa mereka sedang memberikan psikoterapi. Disini
yang masih aku sayangkan. Ada beberapa pemahaman yang kurang tepat mengenai
psikoterapi. Orang-orang pada umumnya mengganggap mereka yang menjadi korban
bencana harus menerima psikoterapi.
Tidak semua orang yang menjadi
penyintas bencana harus menerima psikoterapi. Apalagi di awal-awal bencana,
seperti seminggu pertama kejadian bencana. Hal ini dikarenakan rasa takut,
cemas, panik, sedih dan depresi merupakan hal yang wajar terjadi beberapa hari
atau bahkan minggu setelah terjadinya bencana. Hal ini disebabkan oleh gangguan
yang terjadi pada diri mereka akibat perubahan kondisi yang mungkin pada
awalnya mereka dapat tidur di rumah, makan enak, berkumpul dengan keluarga dan
sebagainya sampai akhirnya kondisi tersebut berubah setelah mereka mengalami
bencana.
Psikoterapi dapat diberikan apabila
mereka mengalami kondisi stres maupun depresi sampai enam bulan paska bencana.
Hal ini menjadikan mereka membutuhkan pendampingan yang dilakukan oleh ahli
psikologi maupun psikolog, sampai akhirnya apabila mereka tidak juga pulih
harus dirujuk ke psikiater untuk mendapatkan pengobatan.
Intinya, pendampingan harus
dilakukan, tetapi apabila mereka menanggis biarkanlah menanggis, apabila mereka
menjerit biarkanlah mereka menjerit, atau apabila mereka menyendiri biarkanlah
mereka menyendiri. Hingga akhirnya ketika dia mulai tenang, kita datang dan
memberikan sedikit belukan atau tepukan di bahunya sambil berkata “kalian tidak
sendirian”.
No comments:
Post a Comment