Thursday, 11 May 2023

BICARA MENGENAI GEMPA PALU

 Hari itu, tahun 2018 pertengahan.

Kita digoncangkan oleh kabar gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kota Palu dan sekitarnya, Sulawesi Tengah. Awalnya aku yang saat itu hanyalah dokter baru tamat biasa saja dan hanya dapat membantu lewat donasi dan sumbangan jarak jauh. Tidak ada sedikitpun niatku untuk datang ke lokasi bencana untuk membantu para korban.

Lima hari setelah kejadian gempa, aku mendapatkan chat yang menawarkan diriku untuk ikut pergi ke lokasi bencana. Awalnya aku masih ragu dikarenakan aku takut naik pesawat, terlebih lagi perjalanan pesawat dari Jakarta ke Palu cukup lama, yaitu sekitar tiga sampai empat jam (kalau tidak salah). Selain itu aku juga harus meninggalkan praktek apabila berpergian jauh.

Selama dua hari aku menimbang, kira-kira aku perlu pergi atau tidak ya?

            Oke, akhirnya aku nekat pergi setelah meminta izin ke orangtuaku.

            Setelah orangtuaku mengizinkan, besoknya aku langsung berangkat ke Jakarta yang menjadi titik kumpul relawan yang akan berangkat ke Palu.

            Sesampainya di Palu, aku melihat kondisi alam yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Maklum, aku sering turun ke lokasi bencana dikarenakan aku kuliah di Fakultas Kedokteran Negeri yang ada di Aceh. Setiap tahunnya kita merasakan gempa bumi, tapi tidak memberikan kerusakan yang lebih parah daripada kejadian gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang terjadi di Palu kemarin.

Tsunami di Palu merupakan salah satu kondisi yang pada saat itu dianggap sebagai fenomena alam yang sangat hampir mustahil. Hal ini dikarenakan tsunami itu pada umumnya terjadi di wilayah dengan lempeng tektonik yang pada umumnya kita temukan di wilayah Samudera.

Hal ini tentunya berbeda dengan Palu yang dikelilingi oleh laut (laut dan samudera itu berbeda, dimana laut itu berada di antara pulau atau daratan, sedangkan samudera ada diantara benua).

Selain itu, kondisi tersebut diperberat dengan liquifaksi. Liquifaksi merupakan kondisi dimana permukaan daratan yang ada di atasnya masuk ke bagian dala. Hal inilah yang menjadikan bencana di Palu menjadi semakin parah.

Liquifaksi yang terjadi di Palu diyakini menjadi kejadian luquifaksi pertama di Indonesia. Kita dapat melihat ada daratan yang terpotong, seolah-olah daratan yang ada di depan kita sedang di “blendder”.

Adapun kegiatan yang kami lakukan disana adalah melakukan penyuluhan kesehatan, mengajak anak-anak bermain, dan bernyanyi. Hal tersebut kita lakukan agar mereka tidak merasa sendiri dan merasa diperhatikan oleh orang yang ada di sekitarnya. Suasana tidak seperti yang aku bayangkan.

Anak-anak dan penyintas bencana disana dalam keadaan senang, meskipun dalam keterbatasan dan kehancuran. Mereka berinteraksi sosial seperti orang yang tidak mengalami bencana. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi sosial mereka baik, meskipun dihantam oleh bencana yang begitu berat. Hal inilah kekuatan bangsa kita, dimana gotong royong itu menjadi kekuatan yang sewaktu-waktu dapat membuat satu komunitas menjadi tangguh.






Ditempat yang lain aku melaihat ada beberapa mahasiswa yang mengatakan bahwa mereka sedang memberikan psikoterapi. Disini yang masih aku sayangkan. Ada beberapa pemahaman yang kurang tepat mengenai psikoterapi. Orang-orang pada umumnya mengganggap mereka yang menjadi korban bencana harus menerima psikoterapi.

Tidak semua orang yang menjadi penyintas bencana harus menerima psikoterapi. Apalagi di awal-awal bencana, seperti seminggu pertama kejadian bencana. Hal ini dikarenakan rasa takut, cemas, panik, sedih dan depresi merupakan hal yang wajar terjadi beberapa hari atau bahkan minggu setelah terjadinya bencana. Hal ini disebabkan oleh gangguan yang terjadi pada diri mereka akibat perubahan kondisi yang mungkin pada awalnya mereka dapat tidur di rumah, makan enak, berkumpul dengan keluarga dan sebagainya sampai akhirnya kondisi tersebut berubah setelah mereka mengalami bencana.

Psikoterapi dapat diberikan apabila mereka mengalami kondisi stres maupun depresi sampai enam bulan paska bencana. Hal ini menjadikan mereka membutuhkan pendampingan yang dilakukan oleh ahli psikologi maupun psikolog, sampai akhirnya apabila mereka tidak juga pulih harus dirujuk ke psikiater untuk mendapatkan pengobatan.

Intinya, pendampingan harus dilakukan, tetapi apabila mereka menanggis biarkanlah menanggis, apabila mereka menjerit biarkanlah mereka menjerit, atau apabila mereka menyendiri biarkanlah mereka menyendiri. Hingga akhirnya ketika dia mulai tenang, kita datang dan memberikan sedikit belukan atau tepukan di bahunya sambil berkata “kalian tidak sendirian”.

No comments:

Post a Comment