Perempuan itu berjalan menyusuri ramainya ibukota.
Jakarta, kota yang tidak pernah mati dan tidak pernah sunyi walaupun dimalam
hari. “Untung nggak hujan, kalo hujan bisa kebasahan kita nanti.” Ucap dia kepada
Tuti, seorang temannya yang juga mengikuti program beasiswa ke Kairo.
Sambil
menyedot minuman dingin yang dia beli di pedagang asongan keliling, “Iya,
kalaupun hujan kan nggak ngaruh juga. Kita bisa naik mobil taksi kan.” Jawab Tuti.
begitulah perbincangan mereka sambil menyusuri ramainya ibukota. Tapi tak lama
setelah pembicaraan mereka selesai, mereka langusng berpisah dikarenakan telah
sampai dipenginapan masing-masing.
Akhirnya
hari yang cerah dan indahpun tiba, Dia mulai keluar dari rumah bibinya itu. Dia
mencari dimana kantor bapaknya, yah itulah kantor Salah satu kementerian. Dia
ingin meminta izin kepada bapaknya untuk melengkapi berkas-berkas yang harus
dikirim ke Kairo.
“Udah
kayak anak nyasar aku hari ini.” ucap dirinya dalam hati sambil menahan
lelahnya. Dia langsung terduduk disebuah halte, sambil meminum sebotol air
mineral dibawah teduhnya awan yang mulai menguris cumolonimbus. “Udah mau hujan
kayaknya.” Dia berbicara sendiri, tiba-tiba dia teringat akan kenangannya
denganku beberapa minggu yang lalu, “Aku harus kuat, aku nggak mau dibilang
cengeng.” Gumamnya dengan memaksa perasaannya.
Dia langsung melanjutkan perjalanan
dengan menggunakan Angkutan Kota, “Pak ke Merdeka ya.” Sambil mulai duduk
dikursi yang agak keras itu. Tak terasa beberapa menit perjalanan akhirnya dia
sampai juga ke tujuan.
Dia langsung masuk kedalam kantor
megah beralaskan karpet merah, “Maaf bu, Pak Redi dimana?” dia langsung
bertanya kepada resepsionis yang menjaga meja tamu.
Resepsionis langsung membuka data
yang ada dikomputer sambil menyebutkan, “masuk saja keruang 423 B. Silahkan
mbak.” Dengan ramahnya resepsionis tersebut.
“Kan benar-benar kayak anak hilang aku.” Dia tetap
mencari bapaknya dikantor, sehingga cukup lama keliling kantor untuk mencari
bapaknya membuat dia agak berputus asa. Hampir saja putus asa karena belum
menemukan ruangan yang benar, dia mencoba lagi sedikit dan dia langsung
mendapatkan ruangan yang benar. “Ruangan 423 B disini.” dia langsung mengetuk
pintu ruangan tersebut dan mengucapkan salam, “Assalamualaikum.” Sambil membuka
pintu ruangan kantor bapaknya.
Seorang laki-laki separuh abad yang
duduk disebuah kursi yang ada di ujung ruangan itu langsung menjawab salamnya
dan memulai percakapan. “Iya silahkan masuk nak, kamu kesini kok nggak SMS atau
telpon bapak dulu.” Tanya lelaki itu kepadanya.
Sambil menarik nafas panjang dia
mulai mengucapkan beberapa patah kata kepada bapaknya, “Bapak, saya mau
melengkapi berkas untuk berangkat ke Kairo.” Dengan wajah yang harap-harap
cemas karena deadline pengumpulan berkas besok.
Laki-laki itu langsung melepaskan
kacamata bulatnya, diruangan berAC yang dingin itu dia langsung memandang foto
keluarganya yang ditempelkan dididing ruangan itu. “Kamu yakin mau ke Kairo,
bukankah kamu mau mewujudkan harapan ibumu? Ibu maunya kamu jadi dokter, kenapa
kamu masih nakal aja mau ikut tes untuk berangkat ke Al-Azhar.
Dia langsung menjawab dengan
mantapnya, “Aku yakin, aku akan sukses disana dan akan menjadi orang yang dapat
membanggakan.” Dengan suara yang meyakinkan.
Bapaknya langsung menjadi sedikit
sedih, “Tau apa kau dengan membahagiakan kami? Kami menginginkan kamu menjadi
dokter nak.” Bapaknya langsung terdiam sejenak, “Dan itu adalah harapan
terbesar kami untukmu nak.” Tambah bapaknya.
Dia langsung terdiam sejenak untuk
berfikir, “Tapi cita-citaku untuk berangkat ke Kairo, dan aku bahagia jika
dapat berkuliah disana pak.” Pintanya dengan penuh. “Tolonglah pak, kabulkan
permohonanku untuk kali ini. Selama ini aku selalu menurut untuk kesini dan
kesana. Tapi kali ini aku minta pak.”
Bapaknya langsung mengambil tasnya,
“Bapak akan berikan kamu kesempatan berfikir untuk beberapa hari. Jika berubah
fikiran tolong beritahu bapak.” Bapaknya kembali mengerjakan tugas kantornya.
Dia langsung keluar dari kantor
bapaknya, perasaan kalut sedikit mewarnai dan menyelimuti hatinya, “Aku harus
bagaimana?”, “Aku harus menurutkah?” seribu tanya dalam hatinya untuk
menentukan pilihan terbaik. Antara cita-cita dan keinginan orangtuanya.
Dia berjalanan melewati ramainya
jalanan ibukota dan menunggu datangnya angkutan umum yang akan lewat kearah
rumah bibinya. “Baiklah, aku tak akan berubah fikiran. Apapun akan aku lakukan
yang penting aku bisa pergi ke Kairo.”
Dia langsung mengeluarkan ponselnya
untuk menghubungi seorang laki-laki yang sangat dekat dengannya.
“Assalamualaikum.” Dia mulai membuka pembicaraan kami dengan ucapan salam.
Aku langsung mulai berbicara,
“Waalaikumsalam, kamu nggak marah lagi ya? Syukurlah.” Tanyaku isky menghela
nafas sedikit karena sudah satu minggu dia tidak pernah menelponku lagi. Hal
ini sangatlah membuatku senang.
Dia langsung mengeluarkan kata-kata
dengan nada yang agak kelihatan bete, “Jangan bahas itu, masih ada hal yang
lebih penting untuk dibahas.” Dia langsung diam sejenak dan nada suaranya
langsung berubah, “Aku merasakan nggak ada yang mendukung apa yang aku lakukan.
Aku merakan sendiri, aku merasakan tidak punya teman. Tak ada yang isky aku
selama ini, mungkin hanya kenangan, ataukah kenangan juga akan meninggalkan
aku?”
“Hmm. Begini.” Aku langsung mencoba
untuk berpura-pura bijak. “Kebersamaan itu bukan tentang raga, tapi tentang
mozaik-mozaik kecil yang tersusun rapi didalam dada. Percayalah walau kau
dikonstelasi gelap sunyi walau sepi, kau tak pernah benar-benar sendiri.
Hahahaha.” Aku langsung melanjutkan dengan tawa.
“Hehe, kamu selalu bisa aja
berlagak sok bijak. Kamu selalu bisa membuat aku tenang disaat bersedih.” Dia
juga langsung ikutan tertawa kecil.
“Tapi bagaimana dengan orangtuamu?
Kau tak takut berpisah dengan mereka? Kan jauh.” Aku langsung bertanya bukan
dengan maksud menjatuhkan mentalnya, tapi aku hanya ingin agar dia
bisa yakin yang dia pilih.
“Ehm.” Dia langsung menarik nafas dan
mencoba untuk menenangkan dirinya sebelum menjawab, “Aku sudah biasa tak
melihat wujud orangtuaku secara nyata dengan mataku, aku pula sudah biasa tak
menyentuh orangtuaku secara nyata, tapi aku akan mencoba dan berusaha agar aku
dapat merasakan kasih orangtuaku dengan kasih dan yang Allah berikan.”
Terkadang sebagai orang dewasa
orangtua kita adalah orang yang paling kanak-kanak dan memaksa. Orangtua
kebanyakan menuntut lebih dan meminta agar anaknya menjadi apa yang dia
harapkan tanpa memperhatikan apa yang anaknya inginkan dan apa yang anaknya
cita-citakan.
No comments:
Post a Comment