Monday, 22 May 2023

BICARA TENTANG KEINGINAN DIA

  

 

Perempuan itu berjalan menyusuri ramainya ibukota. Jakarta, kota yang tidak pernah mati dan tidak pernah sunyi walaupun dimalam hari. “Untung nggak hujan, kalo hujan bisa kebasahan kita nanti.” Ucap dia kepada Tuti, seorang temannya yang juga mengikuti program beasiswa ke Kairo.

            Sambil menyedot minuman dingin yang dia beli di pedagang asongan keliling, “Iya, kalaupun hujan kan nggak ngaruh juga. Kita bisa naik mobil taksi kan.” Jawab Tuti. begitulah perbincangan mereka sambil menyusuri ramainya ibukota. Tapi tak lama setelah pembicaraan mereka selesai, mereka langusng berpisah dikarenakan telah sampai dipenginapan masing-masing.

            Akhirnya hari yang cerah dan indahpun tiba, Dia mulai keluar dari rumah bibinya itu. Dia mencari dimana kantor bapaknya, yah itulah kantor Salah satu kementerian. Dia ingin meminta izin kepada bapaknya untuk melengkapi berkas-berkas yang harus dikirim ke Kairo.

            “Udah kayak anak nyasar aku hari ini.” ucap dirinya dalam hati sambil menahan lelahnya. Dia langsung terduduk disebuah halte, sambil meminum sebotol air mineral dibawah teduhnya awan yang mulai menguris cumolonimbus. “Udah mau hujan kayaknya.” Dia berbicara sendiri, tiba-tiba dia teringat akan kenangannya denganku beberapa minggu yang lalu, “Aku harus kuat, aku nggak mau dibilang cengeng.” Gumamnya dengan memaksa perasaannya.

Dia langsung melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Angkutan Kota, “Pak ke Merdeka ya.” Sambil mulai duduk dikursi yang agak keras itu. Tak terasa beberapa menit perjalanan akhirnya dia sampai juga ke tujuan.

Dia langsung masuk kedalam kantor megah beralaskan karpet merah, “Maaf bu, Pak Redi dimana?” dia langsung bertanya kepada resepsionis yang menjaga meja tamu.

Resepsionis langsung membuka data yang ada dikomputer sambil menyebutkan, “masuk saja keruang 423 B. Silahkan mbak.” Dengan ramahnya resepsionis tersebut.

 “Kan benar-benar kayak anak hilang aku.” Dia tetap mencari bapaknya dikantor, sehingga cukup lama keliling kantor untuk mencari bapaknya membuat dia agak berputus asa. Hampir saja putus asa karena belum menemukan ruangan yang benar, dia mencoba lagi sedikit dan dia langsung mendapatkan ruangan yang benar. “Ruangan 423 B disini.” dia langsung mengetuk pintu ruangan tersebut dan mengucapkan salam, “Assalamualaikum.” Sambil membuka pintu ruangan kantor bapaknya.

Seorang laki-laki separuh abad yang duduk disebuah kursi yang ada di ujung ruangan itu langsung menjawab salamnya dan memulai percakapan. “Iya silahkan masuk nak, kamu kesini kok nggak SMS atau telpon bapak dulu.” Tanya lelaki itu kepadanya.

Sambil menarik nafas panjang dia mulai mengucapkan beberapa patah kata kepada bapaknya, “Bapak, saya mau melengkapi berkas untuk berangkat ke Kairo.” Dengan wajah yang harap-harap cemas karena deadline pengumpulan berkas besok.

Laki-laki itu langsung melepaskan kacamata bulatnya, diruangan berAC yang dingin itu dia langsung memandang foto keluarganya yang ditempelkan dididing ruangan itu. “Kamu yakin mau ke Kairo, bukankah kamu mau mewujudkan harapan ibumu? Ibu maunya kamu jadi dokter, kenapa kamu masih nakal aja mau ikut tes untuk berangkat ke Al-Azhar.

Dia langsung menjawab dengan mantapnya, “Aku yakin, aku akan sukses disana dan akan menjadi orang yang dapat membanggakan.” Dengan suara yang meyakinkan.

Bapaknya langsung menjadi sedikit sedih, “Tau apa kau dengan membahagiakan kami? Kami menginginkan kamu menjadi dokter nak.” Bapaknya langsung terdiam sejenak, “Dan itu adalah harapan terbesar kami untukmu nak.” Tambah bapaknya.

Dia langsung terdiam sejenak untuk berfikir, “Tapi cita-citaku untuk berangkat ke Kairo, dan aku bahagia jika dapat berkuliah disana pak.” Pintanya dengan penuh. “Tolonglah pak, kabulkan permohonanku untuk kali ini. Selama ini aku selalu menurut untuk kesini dan kesana. Tapi kali ini aku minta pak.”

Bapaknya langsung mengambil tasnya, “Bapak akan berikan kamu kesempatan berfikir untuk beberapa hari. Jika berubah fikiran tolong beritahu bapak.” Bapaknya kembali mengerjakan tugas kantornya.

Dia langsung keluar dari kantor bapaknya, perasaan kalut sedikit mewarnai dan menyelimuti hatinya, “Aku harus bagaimana?”, “Aku harus menurutkah?” seribu tanya dalam hatinya untuk menentukan pilihan terbaik. Antara cita-cita dan keinginan orangtuanya.

Dia berjalanan melewati ramainya jalanan ibukota dan menunggu datangnya angkutan umum yang akan lewat kearah rumah bibinya. “Baiklah, aku tak akan berubah fikiran. Apapun akan aku lakukan yang penting aku bisa pergi ke Kairo.”

Dia langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seorang laki-laki yang sangat dekat dengannya. “Assalamualaikum.” Dia mulai membuka pembicaraan kami dengan ucapan salam.

Aku langsung mulai berbicara, “Waalaikumsalam, kamu nggak marah lagi ya? Syukurlah.” Tanyaku isky menghela nafas sedikit karena sudah satu minggu dia tidak pernah menelponku lagi. Hal ini sangatlah membuatku senang.

Dia langsung mengeluarkan kata-kata dengan nada yang agak kelihatan bete, “Jangan bahas itu, masih ada hal yang lebih penting untuk dibahas.” Dia langsung diam sejenak dan nada suaranya langsung berubah, “Aku merasakan nggak ada yang mendukung apa yang aku lakukan. Aku merakan sendiri, aku merasakan tidak punya teman. Tak ada yang isky aku selama ini, mungkin hanya kenangan, ataukah kenangan juga akan meninggalkan aku?”

“Hmm. Begini.” Aku langsung mencoba untuk berpura-pura bijak. “Kebersamaan itu bukan tentang raga, tapi tentang mozaik-mozaik kecil yang tersusun rapi didalam dada. Percayalah walau kau dikonstelasi gelap sunyi walau sepi, kau tak pernah benar-benar sendiri. Hahahaha.” Aku langsung melanjutkan dengan tawa.

“Hehe, kamu selalu bisa aja berlagak sok bijak. Kamu selalu bisa membuat aku tenang disaat bersedih.” Dia juga langsung ikutan tertawa kecil.

“Tapi bagaimana dengan orangtuamu? Kau tak takut berpisah dengan mereka? Kan jauh.” Aku langsung bertanya bukan dengan maksud menjatuhkan mentalnya, tapi aku hanya  ingin agar dia bisa yakin yang dia pilih.

“Ehm.” Dia langsung menarik nafas dan mencoba untuk menenangkan dirinya sebelum menjawab, “Aku sudah biasa tak melihat wujud orangtuaku secara nyata dengan mataku, aku pula sudah biasa tak menyentuh orangtuaku secara nyata, tapi aku akan mencoba dan berusaha agar aku dapat merasakan kasih orangtuaku dengan kasih dan yang Allah berikan.”

Terkadang sebagai orang dewasa orangtua kita adalah orang yang paling kanak-kanak dan memaksa. Orangtua kebanyakan menuntut lebih dan meminta agar anaknya menjadi apa yang dia harapkan tanpa memperhatikan apa yang anaknya inginkan dan apa yang anaknya cita-citakan.

 

 

 

No comments:

Post a Comment