Monday, 29 May 2023

Mengenal Epilepsi


 Epilepsi, tentunya kita tidak asing dengan kata epilepsi. Hal ini disebabkan oleh karena epilepsi sudah menjadi salah satu masalah kesehatan yang menonjol di masyarakat karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penyintas maupun keluarganya. Pasien epilepsi sering mendapatkan stigma dari masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penyintas epilepsi. Bagi orang awam, epilepsi dianggap sebagai penyakit menular (melalui buih yang keluar dari mulut), penyakit keturunan, menakutkan dan memalukan, meskipun anggapan tersebut tidak benar.

Kejang satu kali tidak dapat langsung dikatakan sebagai epilepsi (sekitar 10% penduduk dunia pernah mengalami satu kali kejang selama hidupnya). Epilepsi didefinisikan sebagai dua atau lebih kejang yang tidak terprovokasi. Epilepsi adalah salah satu kondisi tertua didunia, tercatat sejak 4000 tahun sebelum masehi. Ketakutan, ketidakpahaman, diskriminasi, dan stigma sosial mengelilingi epilepsi sejak berabad-abad lalu. Stigma ini terus berlanjut diberbagai negara sampai saat ini dan berdampak pada kualitas hidup penyandang dan keluarga.

Kejang merupakan salah satu kondisi yang berupa perubahan perilaku akibat episode aktivitas listrik yang abnormal di otak. Kejang merupakan gerakan tubuh yang terjadi secara mendadak dan tidak terkontrol. Kondisi ini merupakan gerakan tidak disadari atau involunter dari saraf otak. Selama kejang seseorang mengalami goncangan cepat tak terkendali dan berirama, dengan diikuti oleh kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi berulang kali.

Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja, baik laki-laki maupun wanita tanpa memandang umur dan ras. Jumlah penyintas epilepsi meliputi 1-2% populasi dunia dan secara umum diperoleh gambaran bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, dimana puncak insiden epilepsi berada pada golongan anak dan lanjut usia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab epilepsi adalah trauma kepala, tumor otak, radang otak, riwayat kehamilan jelek dan kejang demam. Sekitar 0,5-12% kejang demam berulang merupakan faktor predisposisi terjadinya epilepsi di kemudian hari.

Epilepsi merupakan gangguan kronis yang ditandai dengan bangkitan kejang berulang akibat gangguan fungsi otak. Epilepsi sesungguhnya bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang disebabkan oleh gangguan susunan saraf pusat (otak) yang dicirikan oleh terjadinya serangan kejang yang terjadi tiba-tiba dan berkala, bahkan dalam beberapa kasus ada orang yang mengalami epilepsi dengan bentuk “bengong” atau melamun dalam beberapa detik dan kemudian akan kembali sadar, yang disebut sebagai absans atau petit mall.

Epilepsi dapat menyebabkan kondisi yang sangat fatal, salah satunya adalah status epilepticus (SE) yang merupakan kondisi yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme yang bertanggung jawab dalam menghentikan kejang atau dari inisiasi mekanisme yang menyebabkan kejang berkepanjangan. Kondisi ini dapat memberikan dampak jangka panjang (terutama jika durasinya >30 menit) seperti kematian, cedera, dan perubahan jaringan otak yang tergantung pada jenis dan durasi kejang.

Seseorang dapat dikatakan epilepsi apabila telah melakukan pemeriksaan ke ahli neurologi (dokter spesialis syaraf). Penegakkan diagnosis epilepsi dapat ditentukan melalui pemeriksaan EEG atau elektro-ensefalo-grafi. Pemeriksaan EEG sendiri ditanggung oleh BPJS apabila diindikasikan oleh dokter ahli neurologi. Setelah didiagnosis epilepsi, dokter akan memberikan obat yang harus dikonsumsi secara rutin oleh pasien.

Obat-obatan antiepilepsi pada dasarnya tidak diberikan untuk tujuan menyembuhkan epilepsinya sendiri. Obat-obatan ini diberikan untuk mengontrol dan mencegah kejang terjadi. Epilepsi dapat berkurang atau menghilang dengan sendirinya setelah beberapa tahun menjalani pengobatan.

Pengobatan untuk epilepsi sendiri juga bermacam-macam, biasanya akan diawali dengan pemberian obat-obatan antiepilepsi terlebih dahulu, dan dilihat kembali respon pengobatannya. Bila tidak berespon baik terhadap obat-obatan, maka dapat dipertimbangkan metode terapi lainnya misalnya dengan stimulasi nervus vagus ataupun operasi otak. Pada beberapa orang, diet tertentu juga dapat membantu mengurangi frekuensi kejang pada penyintas epilepsi.

Pasien harus menjalani terapi sesuai dengan rekomendasi dari dokter. Silahkan tanyakan kemungkinan dilakukannya diet tertentu untuk membantu mengurangi frekuensi kejang (meskipun seorang pasien epilepsi dapat menjalani diet ini, tetapi tetap harus meminum obat antiepilepsi secara rutin sesuai rekomendasi dokter anda).

Penyintas yang mengalami epilepsi ringan tetap harus mengkonsumsi obat antiepilepsi secara rutin, meskipun tidak memiliki gejala yang berarti. Namun perlu kita ketahui bahwa kejang berkepanjangan bisa meningkatkan risiko terjaidnya kerusakan otak permanen dan risiko kematian mendadak pada penyintas epilepsi. Kejang yang bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa peringatan pada penyintas epilepsi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan dan cedera tubuh.

Tidak sedikit penyintas epilepsi yang merasa terganggu dengan penyakitnya tersebut, karena gejala kejang bisa kambuh sewaktu-waktu dan tanpa penyebab. Namun, beberapa pengidap menyadari bahwa kejang terjadi dalam suatu pola, atau lebih mungkin terjadi dalam situasi tertentu. Kadang-kadang hal itu hanya kebetulan, tapi di lain waktu tidak. Nah, mengetahui faktor yang bisa memicu kejang bisa membantu mengantisipasi gejala tersebut. Kamu juga bisa mencari cara untuk mencegah atau mengurangi epilepsi kambuh di kemudian hari.

Pada beberapa pengidap epilepsi, kejang cenderung disebabkan oleh situasi tertentu. Namun, faktor pemicu pada tiap pengidap juga berbeda-beda. Mengamati faktor-faktor yang terjadi sebelum kejang bisa membantu kamu untuk mengetahui apa yang menjadi faktor pemicu epilepsi kamu kambuh.

Berikut ini faktor umum yang bisa menyebabkan epilepsi kambuh, yaitu: waktu-waktu tertentu saat pagi atau malam hari; kurang tidur, seperti kelelahan atau tidak bisa tidur dengan baik; ketika sedang sakit atau mengalami demam; lampu yang sangat terang atau lampu berkedip; penggunaan alkohol, obat-obatan, atau narkoba; melewatkan jadwal makan, sehingga kadar gula darah rendah; makanan tertentu atau kafein berlebih juga bisa memperparah kejang; stres; terkait dengan menstruasi (pada wanita) atau perubahan hormon lainnya; dan, melewatkan jadwal makan obat.

Sebagian besar aktivitas rumah dapat berisiko bagi penyintas epilepsi. Sejumlah penyintas dapat meninggal akibat tenggelam di bak mandi, sehingga bak mandi harus dangkal, pintu kamar mandi harus tetap tidak terkunci, dan seseorang di rumah harus diberi tahu jika penyintas akan mandi. Beberapa penyintas juga berisiko saat memasak mengalami luka bakar, sehingga harus benar-benar diawasi.

 Memasak dengan wajan minyak panas atau air panas harus dihindari. Penjaga untuk api terbuka, radiator, dan alat masak disarankan. Seseorang dengan epilepsi berat mungkin memiliki kekhawatiran tentang apakah orang tersebut harus tinggal sendiri, apakah akomodasi yang sesuai (tangga.), dan apakah anak-anak yang memerlukan bantuan pada posisi rentan jika kejang terjadi.

Sebagian besar pekerjaan dapat dilakukan oleh penyintas epilepsi aktif. Epilepsi termasuk dalam Disability Discrimination Act (2005) di Inggris yang mengatur diskriminasi terhadap orang dengan epilepsi saat melamar pekerjaan apa pun. Penyintas epilepsi pada umumnya harus menjauhi pekerjaan atau aktifitas yang berhubungan dengan mengemudikan kendaraan baik untuk pribadi maupun umum, bekerja di ketinggian atau dengan mesin.

Kebanyakan anak yang mengalami epilepsi dapat bersekolah di sekolah biasa dan hanya sebagian kecil yang memiliki kesulitan belajar tambahan. Hanya pasien epilepsi berat yang memerlukan pendidikan khusus. Banyak diantara penyintas epilepsi kurang berprestasi di sekolah. Sebagian besar penyebab kondisi tersebut bersifat biologis dan sebagiannya lagi bersifat sosial.

Hal ini disebabkan oleh karena epilepsi itu sendiri mungkin menjadi penyebab utama akibat rasa kantuk atau gangguan kognitif, atau dalam kasus tidak adanya kejang, tetapi secara terus-menerus mengganggu kesadaran penyintas. Guru kelas harus diberitahu agar waspada terhadap kemungkinan kekambuhan dan pem-bully-an serta mengambil tindakan untuk mengatasinya. Pendidik juga dapat membuat semacam kurikulum mengenai penanganan kejang pada anak-anak di kelas yang belajar bersama penyintas epilepsi.


No comments:

Post a Comment