Wednesday, 31 May 2023

BICARA TENTANG PERTEMUAN PERTAMA

 Menyusuri pusat kota sepanjang sisi trotoar, dibawah rindang pohon angsana. Malam itu aku berjalan sendiri mencari ketenangan, bias lampu yang sedikit mengusikku tak dapat lagi terusir. Walaupun mereka mengusikku, bukankah orang banyak membutuhkannya juga sebagai pelita dikala gelap.

            Dua jembatan penyebrangan yang aku lalui, selalu saja pemandangan yang sama, seperti lukisan simetris yang dipajang di sisi jalan. Sehingga kiri kanan yang kita lihat hanyalah orang-orang yang meminta-minta. Hei, bukankah agama kita memang menganjurkan untuk bersedekah! Bukankah agama kita menganjurkan untuk saling memberi. Tetapi, kebaikan agama dan penganutnya itu sering kali dimanfaatkan oleh orang-orang yang mencari makan, ups bukan! Maksudnya orang-orang yang mencari uang. Sah-sah saja memberi untuk membuatnya bertahan hidup, tetapi tidak untuk sampai membuat kontrakan dan bahkan sampe membeli mobil dan handphone yang memang itu dapat menandakan bahwa mereka adalah orang yang tak patut kita kasihani.
Di Kota ini, anak-anak dikamuflase untuk meminta-minta. Ntah siapa yang menuruhnya, tetapi memang sepertinya sangatlah kejam menyuruh anak dibawah umur untuk bekerja yang mungkin dapat merusak mental mereka, sehingga nantinya mungkin mereka akan meneruskan ‘usaha’ keluarganya tersebut.
Waktu kami, iya aku dan Wardah tingkat satu masih dekat kami sering berdiskui masalah peminta-minta atau bahasa gaholnya gepeng (gembel dan pengemis), wah sungguh bahasa yang kasar ya untuk menyebutkan sebuah ‘profesi’ untuk manusia. Ntah siapa yang pertama kali menjadi pengemis di kota ini, mungkin dialah yang membuat arus ‘urbanisasi yang negatif’ meningkat.
“Bukankah tidak baik berpanas-panasan membawa anak-anak. Apalagi anak itu masih bayi atau balita. Bukankah begitu Gus?” tanya Wardah yang sering melihat anak-anak yang digendong oleh seorang ibu yang meminta-minta dijalanan.
“Ya, kurasa juga tidak boleh. Seperti mendzolimi anak sendiri ya? Atau itu memang bukan anak mereka. Mana ada ibu yang tega mendzolimi anaknya sendiri.” Ucapku dengan tegasnya.
Memang banyak orang yang heran, kenapa anak yang dibawa oleh pengemis itu selalu diam. Bukankah anak-anak usia seperti itu sedang rewel-rewelnya dan sangat sensitif dengan sauasana yang tidak normal seperti panas, hujan, asap, debu dan lain-lain. Bahkan, ada beberapa rumor yang mengatakan bahwa anak-anak yang dibawa oleh pengemis itu telah dikasih obat penenang sejenis narkotik maupun obat pelemas, tetapi benar tidaknya itu Wallahu a’lam bisawab. Hanya Allah yang tahu, tetapi apapun alasannya itu tetap perbuatan yang tidak terpuji.
Aku duduk sendiri dibawah rembulan yang tidak dapat menemaniku, mencoba menenagkan diri sendiri meresapi apa yang telah terjadi. Berusaha melupakan semuanya sehingga yang tinggal hanyalah kenangan positif yang baik untuk dikenang. Semakin mencoba melupakan masalah dengannya, semakin aku menjadi terpikirkan olehnya.
Sesekali aku melihat handphoneku, mungkin saja ada dia yang sedang mengirimkan pesan singkat atau sekedar untuk misscall. Tetapi, aku percaya bajwa dia tidak bisa marah lebih dari tiga hari. Tunggu saja saatnya dia mengirimkan pesan singkat untuk beberapa hari kedepan, tapi bagaimana kalo tidak ada dan dia benar-benar masih marah kepadaku? Bahkan bagaimana kalo dia malah ingin melupakan dan menjauhiku. Yang aku takutkan dia malah pergi dan berpaling dengan orang lain. Memang sangat mengerikan jika kita dianggap oleh seorang wanita telah mempehapekan dia, dia akan menjadi galak segalak-galaknya. Jadi jangan suka jadi PHP, huhu. Coba kalo kita yang di PHP-in, gimana? Pasti kezel kezel juga kan.
Kini seorang pengemis kecil mendatangiku, meminta belas kasihan yang katanya untuk makan. Aku bingung, apakah memang dia tidak makan atau apakah dia memang menyetorkan uangnya ke bosss yang kayak tukang kumpul uang gitulah. Setelah memberikan uang berapa ribu, aku mengikutinya dari belakang. Selayaknya detektif Canon, aku berjalan mengikutinya agar tidak diketahui dan bahkan dia tidak menyadari keberadaanku.
Hingga akhirnya aku sampai disebuah tempat pembuangan akhir di kota itu. Aku menarik tangan anak itu sambil membalikkan badannya kearahku.
“Hey nak! Apa yang kamu lakukan disini?” tanyaku sedikit ngeri ditengah gelap tumpukkan sampah yang ada di kota ini.
Dia hanya diam tidak menjawab. Tetapi beberapa saat kemudian ada seorang ibu-ibu yang datang dan malah bertanya kepadaku, “Ada apa mas?”
“Nggak ada bu, ini adek ini sekolah dimana ya bu?” tanyaku dengan ringan dan penuh senyuman.
Trus si anak menjawab dengan menyebutkan nama salah satu sekolah dasar yang ada di Kota ini. Kemudian dia kembali diam tanpa senyuman.
Kemudian sang ibu menepuk kepala anak itu, sang anak langsung menoleh sambil tertawa. Kemudian sang ibu menimpali jawaban sang anak, “Jangan bohong! Mas ini dari Jawa, nanti di santet mau?” ucap sang ibu.
Buset deh, ane dibilang orang Jawa, trus kenapa identik banget dengan santet. Apa muka ane kayak tukang santet? Kayak boneka fodo gitu? Keterlaluan sih ibu mah. Kemudian aku yang masih heran siapa ibu yang datang tadi langsung bertanya identitas sang ibu.
“Saya tetangga dia mas, kami tinggal di gubuk sana. Anak ini nggak sekolah memang kasihan disuruh kerja sama orangtuanya. Ayah ibunya foya foya aja, anaknya disuruh ngemis. Dia nggak sekolah mas, tadi dia bohong.” Jelas sang ibu panjang lebar dengan semangat berapi-api.
Aku merasa tersentak dan terpukul mendengar penjelasan dari sang ibu. Mana mungkin, anak di negara besar yang katanya kaya Sumber Daya Alam ini malah harus kehilangan satu anak anggota generasi penerus yang seharusnya nanti dia akan bisa menjadi salah satu orang yang mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang hebat. Tetapi kenapa, bangku sekolah yang terbuat dari kayu itupun tak mampu dia cicipi? Sangat disayangkan, seharusnya dia bermain dengan anak-anak sebaya dia, belajar membaca dan berhutang (berhitung maksudnya), lari kesana lari kesini, diomeli guru, tidur dikelas dan masih banyak aktifitas anak sekolahan lain yang bisa dia nikmati untuk menunjang perkembangan karakternya.
Masih bisakah orangtuanya kita sebut dengan gelar orangtua? Ngenes broh, disaat kita adik kita atau siapapun kita masih bisa makan dan minum enak dan bahkan nggak habis karena kebanyakan, mereka terlunta-lunta anak tak bersalah ini terlunta-lunta tak tahu mau makan apa. Disaat adik kita malas pergi sekolah dan TPA, anak ini bekerja walaupun dihatinya ingin sekali belajar seperti anak-anak seusianya.
“Adik ingin sekolah?” tanyaku kepada sang adik yang baru ini aku ketahui namanya Dina.
“.......” dia hanya diam sambil mengganggukan kepalanya seperti ingin, tetapi masih takut-takut.
Beberapa bulan kemudian, aku mengajak teman-temanku untuk rutin datang kesini. Mengumpulkan semua anak-anak yang berminat belajar masalah kesehatan, baca, tulis, hitung, dan semua pelajarans serta tertawa bersama agar mereka melupakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sedang dalam kesulitan.

Laporan kami di Dinas Sosial ternyata ditanggapi dengan baik hingga akhirnya Dina dan kawan-kawannya dimasukkan kedalam panti rehabilitasi anak dan akhirnya dapat sekolah seperti anak-anak pada umumnya. Sekolah bukan hanya mengajarkan baca tulis, tetapi bagaimana cara menggali potensi diri. Karena aku percaya bahwa, “Kemalangan terbesar dalam hidup bukanlah mati muda, tetapi tidak dapat menggali potensi diri dan memanfaatkannya untuk kehidupan yang lebih baik”..

No comments:

Post a Comment